Selasa, 24 November 2020

Menghormati Guru Kunci Keberkahan Ilmu


Oleh: Muhammad Rajab
*

Di dunia pesantren (islamic boarding school) ada satu istilah yang sering kita dengar yaitu keberkahan. Kata “berkah” berasal dari bahasa Arab “barakah” yang maknanya menurut Imam al-Ghazālī, ziyādah al-khair yakni bertambahnya nilai kebaikan. Ilmu yang berkah adalah ilmu yang memberikan nilai kemanfaatan dan kebaikan di dalamnya. Salah satu tandanya adalah ilmu tersebut diamalkan dan bermanfaat untuk dirinya dan orang lain serta mendatangkan kebaikan.

Oleh karena pentingnya keberkahan ilmu tersebut Imam al-Ghāzalī dalam kitabnya Ayyuhā al- Walad menasehatkan untuk para penuntut ilmu, “meskipun engkau menuntut ilmu serratus tahun, dan mengumpulkan (menghafalkan) seribu kitab engkau tidak akan bersiap sedia mendapatkan rahmat Allah kecuali dengan mengamalkannya. Sebagaimana firman Allah dalam al-Quran (QS. al-Najm: 39, al-Kahf: 110 dan 107-108, al-Taubah: 82, al-Furqān: 70) ”.

            Keberkahan ilmu harus dimulai dengan niat yang lurus dan benar. Demikian pesan Imam Az-Zarnūji (1981: 32) dalam kitab Ta’līm al-Mutallim Tharīq al-Ta’allum. Beliau mengatakan, selayaknya seorang penuntut ilmu meniatkannya untuk mencari keridhaan Allah SWT, mencari kehidupan akhirat, menghilangkan kebodohan dari dirinya sendiri dan orang-orang bodoh, menghidupkan agama dan melanggengkan Islam. Sebab kelanggengan Islam itu harus dengan ilmu, dan tidak sah kezuhudan dan ketakwaan yang didasari atas kebodohan.

            Az-Zarnūji menambahkan bahwa dalam menuntut ilmu hendaknya juga diniatkan sebagai bentuk rasa syukur atas kenikmatan akal dan sehatnya badan. Dan tidak dibenarkan meniatkannya untuk mencari kedudukan di hadapan manusia, mencari harta duniawi, atau kemuliaan di sisi penguasa dan lainnya.

             Selain niat, kebeberkahan ilmu ditentukan oleh sikap penuntut ilmu dan orang tuanya terhadap ilmu dan orang yang mengajarkan ilmu tersebut yaitu guru. Az-Zarnuji mengatakan:

اعلم أن طالب العلم لا ينال العلم ولا ينتفع به إلا بتعظيم العلم وأهله وتعظيم الأستاذ وتوقيره

“Ketahuilah, Seorang murid tidak akan memperoleh ilmu dan tidak akan dapat ilmu yang bermanfaat, kecuali ia mau mengagungkan ilmu, ahli ilmu, dan menghormati keagungan guru.”.

            Islam menempatkan posisi seorang ahli ilmu pada posisi yang mulia. Di dalam al-Quran secara tegas dijelaskan bahwa tidaklah sama antara orang yang berilmu dengan orang tidak berilmu (QS. Al-Zumar: 9). Demikian halnya juga Allah mengangkat derajat mereka (orang beriman dan berilmu) beberapa derajat (QS. al-Hujurāt: 11).

            Dalam tradisi keilmuan Islam, penghormatan (ta’dzīm) terhadap ustadz/guru benar-benar telah dipraktikkan. Dan ini menjadi kunci kejayaan peradaban Islam. Hal ini bisa kita lihat dari contoh-contoh yang telah ditunjukkan oleh orang-orang mulia. Misalnya, Sahabat Ali bin Abi Thalib, yang oleh Rasulullah SAW disebutkan sebagai “bab al ‘ilmi” atau pintu ilmu. Beliau mengatakan: 

أنا عبد من علمني حرفا واحدا، إن شاء باع وإن شاء استرق

“Saya menjadi hamba sahaya orang yang telah mengajariku satu huruf. Terserah padanya, saya mau dijual, di merdekakan ataupun tetap menjadi hambanya.”

Demikian pula dengan orang tua yang seharusnya memberikan penghormatan tinggi kepada para guru anak-anaknya.  Di masa keemasan Islam,  para orang tua sangat antusias menyekolahkan anak-anak mereka kepada para guru (ulama’). Mereka memberikan dukungan penuh disertai kepercayaan dan penghormatan tinggi kepada guru anak-anak mereka.

Suatu ketika Sulaiman bin Abdul Malik bersama pengawal dan anak-anaknya mendatangi Atha’ bin Abi Rabah untuk bertanya dan belajar sesuatu yang belum diketahui jawabannya. Walau ulama dan guru ini fisiknya tak menarik dan miskin, tapi dia menjadi tinggi derajatnya karena ilmu yang dimiliki dan diajarkannya. Di hadapan anak-anaknya ia memberi nasihat, “Wahai anak-anakku! bertawalah kepada Allah, dalamilah ilmu agama, demi Allah belum pernah aku mengalami posisi serendah ini, melainkan di hadapan hamba ini (Atha’) (Al-Qarny, Rūh wa Rayhān: 296).

Penghormatan terhadap seorang guru juga telah dicontohkan oleh Harun Ar Rasyid. Khalifah yang dikenal sebagai pemimpin yang sangat perhatian terhadap pendidikan anaknya. Dikisahkan, suatu saat beliau mengirim salah satu putranya kepada Imam al-Ashmā’ī, salah satu imam dalam ilmu nahwu untuk belajar ilmu dan adab. Ketika mengunjungi putranya, Khalifah menyaksikan al-Ashmā’ī sedang berwudhu dan membasuh kaki beliau sedangkan putranya menuangkan air ke kaki sang guru. Melihat hal itu, Khalifah pun tidak menerima dan mengatakan kepada Imam al-Ashmā’ī,”Sesungguhnya aku mengirim putraku pedamu agar engkau mengajarkan adab kepadanya. Kenapa engkau tidak memerintahkannya untuk menuangkan air dengan salah satu tangannya sedangkan tangan lainnya membersihkan kakimu?.”.

            Ini menunjukkan betapa terhormatnya guru atau orang yang berilmu. Sampai-sampai sekelas khalifah atau kepala negara masa itu harus mendatanginya untuk mendapatkan ilmu serta menasihati anak-anaknya untuk belajar dan menghormati guru. Sebagai orangtua, Harun Ar-Rasyid mempercayakan pendidikan anaknya kepada guru. Biaya yang dikeluarkan oleh beliau juga tak sedikit untuk memuliakan guru. Terlebih, guru juga diberi wewenang untuk mendidik anaknya sebagaimana anak-anak lain, tanpa harus sungkan karena mendidik anak khalifah.

             Contoh lain penghormatan kepada guru adalah apa yang dilakukan Sultan Muhammad Al-Fatih, Sang Penakluk Konstantinopel. Sang Sultan sangat mencitai dan menghormati gurunya Syeikh Aaq Syamsuddin dengan kecintaan yang tinggi. Sang guru mempunyai kedudukan yang khusus dan istimewa di hati Sultan.

            As-Shalābī (2006: 117) menyebutkan dalam kitabnya, Fātih al-Qasthinthīniyah, al-Sulthān Muhammad al-Fātih, suatu ketika, gurunya Syeikh Āq Syamsuddin masuk ke istana. Saat itu Muhammad al-Fatih sedang bermusyawarah dengan para pembesarnya. Melihat kedatangan gurunya, al-Fatih bangun dan menyambut gurunya dengan penuh hormat. Kemudian beliau berkata kepada perdana menteri Utsmaniyah, Mahmud Pasya, “perasaan hormatku kepada Syeikh Āq Syamsuddin sangat mendalam. Apabila orang-orang lain berada di sisiku tangan mereka akan bergetar. Sebaliknya apabila aku melihatnya (Syeikh Āq Syamsuddin) tangan aku yang bergetar.

            Ini adalah sunnatullah tidak ada keberhasilan orang-orang besar dalam sejarah peradaban Islam kecuali di sampingnya ada seorang guru yang hebat yang ditempatkan pada posisi yang mulia.

Syeikh Bakr Abu Zaid Hafidzahullah memberikan nasehat kepada para penuntut ilmu dalam kitabnya, Hilyah Thālib al-‘Ilmi, pada dasarnya mengambil ilmu pertama kali bukanlah dari buku, tetapi harus dari guru yang engkau percayai memiliki kunci-kunci pembuka ilmu, agar engkau terbebas dari bahaya dan ketergelinciran. Oleh karena itu engkau harus menjaga kehormatan gurumu, karena itu adalah tanda keberhasilan, kemenangan, pencapaian ilmu, dan kesuksesan. Hendaknya gurumu menjadi sosok yang engkau hormati, engkau muliakan, engkau hargai, dan engkau perlakukan dengan santun.

            Di antara salah satu bentuk penghormatan kepada guru adalah jika terlihat kesalahan dari gurumu atau kekeliruan, janganlah engkau menganggapnya jatuh harga dirinya dalam pandanganmu, karena yang seperti itu akan menjadi sebab terhalanginya dirimu dari mendapat ilmunya. Siapakah yang bisa terbebas secara total dari kesalahan?. (Abu Zaid, 2002: 36) 


 

Jumat, 20 November 2020

Peluang Kebaikan


Oleh: Muhammad Rajab

Dimuat di Harian Republika, 04 November 2020

https://republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/qj8ul510025000/peluang-kebaikan

            Pandemi covid-19 hingga saat ini masih juga belum selesai. Hal ini tentu telah banyak merubah sendi-sendi kehidupan masyarakat, mulai dari kehidupan sosial, politik, ekonomi mapun pendidikan. Bahkan dalam cara beragama pun membutuhkan ijtihad-ijtihad baru sebagai respon terhadap perubahan yang terjadi. Di balik semua itu sebenarnya terdapat peluang yang besar untuk melakukan kebaikan.

            Dalam setiap sendi kehidupan kita terdapat banyak peluang kebaikan. Mulai dari kehidupan individu, keluarga hingga masyarakat. Peluang-peluang kebaikan tersebut merupakan salah satu dari sekian rahmat Allah yang diberikan kepada hamba-Nya yang beriman.

            Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW bersabda: “Setiap anggota badan manusia diwajibkan bersedekah setiap harinya selama matahari masih terbit. Kamu mendamaikan antara dua orang yang berselisih adalah sedekah, kamu menolong seseorang naik ke atas kendaraannya atau mengangkat barang bawaannya ke atas kendaraannya adalah sedekah, setiap langkah kakimu menuju tempat sholat juga dihitung sedekah, dan menyingkirkan duri dari jalan adalah sedekah.” (HR Bukhari dan Muslim).

Imam Nawawi menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan sedekah di sini adalah sedekah yang dianjurkan, bukan sedekah wajib. Ibnu Bathal dalam Syarah Shahih al-Bukhari menambahkan bahwa manusia dianjurkan untuk senantiasa menggunakan anggota tubuhnya untuk kebaikan. Hal ini sebagai bentuk rasa syukur terhadap nikmat yang diberikan oleh Allah SWT.

Sesungguhnya kebaikan yang kita lakukan adalah manifestasi keimanan, sekecil apapun kebaikan itu.  Sebab wilayah keimanan mencakup segala sesuatu yang besar dan juga yang kecil. Cabangnya pun tidak sedikit. Rasulullah SWT bersabda: “Iman itu ada tujuh puluh atau enam puluh cabang lebih, yang paling utama adalah ucapan ‘Laa ilaaha illallah’, sedangkan yang paling rendah adalah menyingkirkan sesuatu yang mengganggu dari jalan, dan malu itu salah satu cabang keimanan” (HR. Bukhari dan Muslim)

Karena itu, seyogyanya bagi seorang muslim untuk bersegera melakukan kebaikan, sekecil apapun kebaikan tersebut. Karena dengan konsistensi (istiqamah) dalam melakukan kebaikan walupun kecil akan memantik ampunan dan rahmat dari Allah SWT. Allah telah memerintahkan para hamba-Nya untuk senantiasa menjemput ampunan dan rahmat-Nya dengan memperbanyak amal kebajikan (QS. Ali Imron: 133-134).

Komitmen untuk melakukan kebaikan tersebut dapat dimulai dengan niat yang baik. Niat yang baik inilah yang akan senantiasa mengantarkan seseorang berada dalam jalur kebaikan. Seorang Ulama’ Ahmad bin Hanbal pernah mengatakan, “berniatlah untuk melakukan kebaikan karena sesungguhnya engkau akan senantiasa berada dalam kebaikan selama meniatkan diri untuk melakukan kebaikan.”

Kondisi pandemi Covid-19 seperti yang saat ini sedang kita alami tidaklah menjadi penghalang untuk kita melakukan kebaikan demi kebaikan. Justru kondisi demikian menjadi peluang bagi seorang mukmin untuk mendapatkan rahmat dan ampunan Allah SWT. Bahkan bersabar terhadap musibah itu sendiri adalah sebuah kebaikan yang bisa mendatangkan pahala di sisi Allah SWT.

 

Keberkahan Ilmu

Oleh: Muhammad Rajab*

Dimuat di Harian Republika 22 Juli 2020

https://republika.co.id/berita/qdudcx5725000/keberkahan-ilmu

Pembelajaran di tahun ajaran baru resmi telah dimulai, walaupun sebagian besar masih dilakukan secara daring. Walaupun demikian tentu harapan kita semua adalah tidak menghilangkan keberkahan ilmu yang diajarkannya. Kata “berkah” berasal dari bahasa Arab “barakah” yang maknanya menurut Imam al-Ghazālī, ziyādah al-khair yakni bertambahnya nilai kebaikan. Ilmu yang berkah adalah ilmu yang memberikan nilai kemanfaatan dan kebaikan di dalamnya. Salah satu tandanya adalah ilmu tersebut diamalkan dan bermanfaat untuk dirinya dan orang lain serta mendatangkan kebaikan.

Oleh karena pentingnya keberkahan ilmu tersebut Imam al-Ghāzalī dalam kitabnya Ayyuhā al- Walad menasehatkan untuk para penuntut ilmu, “meskipun engkau menuntut ilmu serratus tahun, dan mengumpulkan (menghafalkan) seribu kitab engkau tidak akan bersiap sedia mendapatkan rahmat Allah kecuali dengan mengamalkannya. Sebagaimana firman Allah dalam al-Quran (QS. al-Najm: 39, al-Kahf: 110 dan 107-108, al-Taubah: 82, al-Furqān: 70) ”.

            Keberkahan ilmu harus dimulai dengan niat yang lurus dan benar. Demikian pesan Imam Az-Zarnūji (1981: 32) dalam kitab Ta’līm al-Mutallim Tharīq al-Ta’allum. Beliau mengatakan, selayaknya seorang penuntut ilmu meniatkannya untuk mencari keridhaan Allah SWT, mencari kehidupan akhirat, menghilangkan kebodohan dari dirinya sendiri dan orang-orang bodoh, menghidupkan agama dan melanggengkan Islam. Sebab kelanggengan Islam itu harus dengan ilmu, dan tidak sah kezuhudan dan ketakwaan yang didasari atas kebodohan.

            Selain niat, kebeberkahan ilmu ditentukan oleh sikap penuntut ilmu dan orang tuanya terhadap ilmu dan orang yang mengajarkan ilmu tersebut yaitu guru. Az-Zarnuji mengatakan:

“Ketahuilah, Seorang murid tidak akan memperoleh ilmu dan tidak akan dapat ilmu yang bermanfaat, kecuali ia mau mengagungkan ilmu, ahli ilmu, dan menghormati keagungan guru.”.

            Dalam tradisi keilmuan Islam, penghormatan (ta’dzīm) terhadap ustadz/guru benar-benar telah dipraktikkan. Dan ini menjadi kunci kejayaan peradaban Islam. Hal ini bisa kita lihat dari contoh-contoh yang telah ditunjukkan oleh orang-orang mulia. Misalnya, Sahabat Ali bin Abi Thalib, yang oleh Rasulullah SAW disebutkan sebagai “bab al ‘ilmi” atau pintu ilmu. Beliau mengatakan: “Saya menjadi hamba sahaya orang yang telah mengajariku satu huruf. Terserah padanya, saya mau dijual, di merdekakan ataupun tetap menjadi hambanya.”

Demikian pula dengan orang tua yang seharusnya memberikan penghormatan tinggi kepada para guru anak-anaknya.  Di masa keemasan Islam,  para orang tua sangat antusias menyekolahkan anak-anak mereka kepada para guru (ulama’). Mereka memberikan dukungan penuh disertai kepercayaan dan penghormatan tinggi kepada guru anak-anak mereka.

            As-Shalābī (2006: 117) menyebutkan dalam kitabnya, Fātih al-Qasthinthīniyah, al-Sulthān Muhammad al-Fātih, suatu ketika, guru Sang Sultan Syeikh Āq Syamsuddin masuk ke istana. Saat itu Muhammad al-Fatih sedang bermusyawarah dengan para pembesarnya. Melihat kedatangan gurunya, al-Fatih bangun dan menyambut gurunya dengan penuh hormat. Kemudian beliau berkata kepada perdana menteri Utsmaniyah, Mahmud Pasya, “perasaan hormatku kepada Syeikh Āq Syamsuddin sangat mendalam. Apabila orang-orang lain berada di sisiku tangan mereka akan bergetar. Sebaliknya apabila aku melihatnya (Syeikh Āq Syamsuddin) tangan aku yang bergetar.

 

Rabu, 18 November 2020

Transformasi Pesantren Menghadapi Era Globalisasi

Oleh: Muhammad Rajab*

Artikel ini dimuat di Harian Duta Masyarakat, 9 Desember 2020       

     Tidak dapat diragukan lagi bahwa pesantren telah banyak memberikan kontribusi dalam perjuangan dan peradaban bangsa Indonesia. Hal ini dapat dilihat kemunculan beberapa tokoh besar bangsa yang lahir dari rahim pesantren. Eksistensinya sebagai bagian utama dari sistem pendidikan Islam Indonesia telah membuktikan bahwa lembaga model seperti ini mampu memberikan warna perubahan bagi bangsa Indonesia.

            Dalam perjalanannya pesantren terus menunjukkan eksistensinya di tengah berbagai ancaman dan tantangan yang dihadapinya. Pasalnya pesantren tidak hanya mengajarkan ilmu pengetahuan dan kitab saja, tapi lebih dari itu lembaga yang satu ini menekankan pada pendidikan nilai (value education) dan adab. Di pesantren salaf (tradisional) pengajian adab menjadi prioritas utama (the first priority). Mereka harus mengkhatamkan kitab Ta’lim al-Muta’allim sebagai bekal supaya mereka benar-benar menghormati guru dan ilmu. Sebab kecintaan dan penghaormatan kepada guru ilmu dan guru menjadi kunci utama untuk mendapatkan kemanfaatan dari pada ilmu itu sendiri. Bagi mereka ilmu tanpa amal dan kemanfaatan yang jelas ibarat pohon yang tak berbuah.

Di era globalisasi ini pesantren dihadapkan pada tantangan baru dengan  munculnya kemajuan teknologi informasi dan komunikasi. Kemajuan ini telah menciptakan ruang baru yang kita kenal dengan istilah globalisasi. Kondisi masyarakat global (global viilage) sudah barang tentu memberikan dampak dan perubahan signifikan dalam pemikiran, budaya dan perilaku masyarakatnya. Ini memberikan tantangan tersendiri bagi pendidikan Islam secara umum dan pesantren secara khusus. Tantangan yang paling berat adalah hilangnya nilai-nilai kemanusian dan akhlaq al-karimah. Untuk menjawabnya, lembaga pendidikan berbasis pesantren perlu ditata kembali untuk melakukan transformasi sehingga mampu memberikan pemahaman tentang fungsi agama menjadi lebih jelas dan lebih berperan.

Pesantren dituntut untuk melakukan transformasi secara holistik agar tetap memiliki eksistensi yang kuat di tengah-tengah masayarakat global. Tentu dengan tetap menjaga nilai-nilai kepesantrenannya. Prinsip al muhafadzah ‘alal qadimisshalih wal akhdzu bil jadidil ashlah, menjaga tradisi pesantren yang sudah baik dan mengambil sesuatu yang baru yang lebih baik perlu diimplementasikan kembali. Hal ini sebagai pondasi awal dalam rangka melakukan perubahan ke arah yang lebih sempurna.

             Transformasi tersebut dapat diimplementasikan dalam berbagai macam aspek. Harapannya adalah pesantren mampu menjawab tantangan globalisasi serta sebagai wadah terhadap kebutuhan masyarakat kontemporer. Hal ini bisa dimulai dengan visi pesantren yang global sebagai manifestasi dari Islam yang rahmatan lil’alamin. Dari visi tersebut kemudian dapat diterjemahkan dalam sistem pendidikan yang ada di dalamnya, seperti sumber daya manusia (SDM), santri, manajemen, kurikulum, sistem pendanaan, jalinan kerjasama dan program-programnya. Ada istilah lain penting diperhatikan untuk melakukan tranformasi yaitu the universal principle (prinsip-prinsip universal) yang terdiri dari tiga komponen utama. Tiga tersebut adalah Human Potencial Development (HPD), Curriculum (kurikulum) dan Material (kebutuhan materi dan sarpras).   

Untuk melakukan peningkatkan mutu dan kualitas pesantren tentu dibutuhkan refleksi dan evaluasi terhadap pendidikan pesantren secara menyeluruh (holistic) dengan mengacu pada tiga komponen di atas. Human Potencial Development (HPD) yang meliputi semua orang yang menggerakkan pesantren tersebut apakah sudah benar-benar mempunyai kompetensi yang sesuai dengan bidangnya masing-masing.  Guru misalnya sekarang tidak cukup hanya dengan kemampuan pedagogik saja tapi juga harus mempunyai kecakapan teknologi. Setidaknya guru harus mampu mempunyai  minimal lima skill yaitu teaching, training, practicing, coaching, dan mentoring. Lebih dari itu, guru dituntut untuk menjadi contoh (uswah) dan inspirasi kebaikan bagi para santri. Sebab ini adalah ruh yang akan menggerakkan jiwa dan perilaku anak didiknya. Ada sebuah pepatah Arab memangatakan, al-thariqah ahammu minal madah, wal mudarrisu ahammu minat thoriqah, wa ruhul mudarris ahammu minal mudarris nafsuhu. Artinya metode itu lebih penting dari pada materi pembelajaran, guru itu lebih penting dari metode tersebut, dan ruh seorang guru jauh lebih penting daripada guru itu sendiri.

            Prinsip kedua adalah Curriculum (kurikulum) yang meliputi segala bentuk program dan rancangan pembelajaran yang ada di dalam pesantren. Kurikulum harus didesain secara holistik yang memadukan tiga konsep dasar pendidikan, tarbiyah ruhiyah, tarbiyah aqliyah dan tarbiyah jasadiyah. Pemahaman kurikulum klasik yang menitikberakan pada aspek pelajaran di kelas perlu direkontruksi dalam bentuk yang lebih kreatif dan bermakna (meaningful). Kurikulum mencakup semua aspek program dan kegiatan, misalnya ada core curriculum (kurikulum inti), co curriculum dan extra curriculum. Co curriculum contohnya kegiatan enrichment seperti olahraga dan seni yang bisa melatih hard and soft skill anak didik. extra curriculum contohnya kegiatan sosial kemasyarakatan yang bisa menumbuhkan jiwa empati dan kepedulian sosial anak.

 Prinsip ketiga adalah material yang meliputi penyiapan infrastruktur harus memadai dan mendukung proses pendidikan. Infrastruktur terdiri atas dua elemen, yaitu hardware (perangkat keras) dan pendanaan. Dalam konteks ini, hardware merupakan fasilitas fisik yang menunjang proses penyelenggaraan pendidikan. Fasilitas ini mencakup masjid, gedung, laboratorium, perpustakaan, kendaraan sekolah, hingga ruang kelas. Kelengkapan fasilitas dalam sebuah lembaga menjadi salah satu kunci untuk menyelenggarakan pembelajaran yang berkualitas dan optimal. Adapun pendanaan lembaga haruslah memiliki komponen pendanaan yang kuat untuk menggerakkan semua lini. Namun, pendanaan ini tidaklah semata-mata bisa didapatkan dari pembayaran biaya pesantren. Pendanaan bisa diperoleh dari unit bisnis, investasi, hingga charity.

Semua bentuk transformasi tersebut perlu didukung dengan modal kepemimpinan yang baik serta manajemen yang kuat. Maka peran pemimpin pesantren sebagai komandan utama dalam melakukan perubahan tersebut sangat besar. Dengan ini, pesantren diharapkan mampu lebih jauh lagi mengambil peran strategis dalam menyiapkan generasi yang kuat. Kuat secara mental spiritual, moral, adab dan akhlak serta mempunyai wawasan luas dan keterampilan yang mumpuni  sehingga bisa terus eksis dan bersaing di tengah arus globaliasi.

*Penulis adalah

Director of Ma’had and Islamic Studies, Pesantren Tazkia International Islamic Boarding School Malang

 

 

 

Jumat, 10 Agustus 2012

Menapak Jejak Kepahlawanan Sang Kyai

 Telah dimuat di Malang Post
Judul buku        : Damai Bersama Gusdur
Editor               : Rumadi
Penerbit            : Kompas
Cetakan I         : Februari 2010
Tebal                : xxxiv + 158 hlm.
Peresensi          : Muhammad Rajab*  
            Ketokohan seseorang menonjol ketika yang bersangkautan meninggal. Begitu yang terjadi pada KH. Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. Pejuang kemanunisiaan yang meninggal 30 Desember 2009 ini telah banyak mencurahkan pikiran-pikiran bahkan tenaganya untuk bangsa. Maka tak salah kalau banyak masyarakat memberinya gelar sebagai seorang pahlawan karena jasa-jasanya yang begitu banyak terhadap bangsa.
            Salah satu yang menonjol dari Gus Dur adalah perannya sebagai penyeimbang gerakan keagamaan dan politik di Indonesia. Ia tidak pernah berada di satu ekstrem ke ekstrem lainnya. Dengan sadar ia menentang arus besar dengan mental dan legitimasi yang kuat. Ditambah dengan garis keturunan dari keluarganya telah mewariskan kemampuan intelektual dan modal kepemimpinan yang membuat ia bertahan.
            Gus Dur merupakan sosok yang sangat gigih memperjuangkan perdamaian melalui gerakan pluralismenya.  Sebelum meninggal ia berpesan, “saya ingin di kuburan saya ada tulisan; di sinilah dikubur seorang pluralis”, (hal. 69). Mantan Ketua Permusyawaratan Rakyat Amin Rais sangat setuju apabila Gus Dur dianugerahi gelar pahlawan nasional. Amin Rais menilai Gusdur adalah ikon pluralisme. Ia berpendapat, Gus Dur merupakan tokoh yang diterima segenap bangsa Indonesia.
            Buku “Damai Bersama Gus Dur” ini memuat kumpulan berita, artikel, tajuk rencana, hasil jejak pendapat, dan analisis yang dimuat harian Kompas. Buku ini merupakan lanjutan dari buku “Gus Dur: Santri Par Excellence” yang sudah terbit pertengahan Januari. Buku setebal 158 halaman ini menggoreskan benang merah; Gus Dur yang tampil merakyat dan memiliki obsesi perdamain, kepeninggalannya meninggalkan rasa hampa dan sepi bagi bangsa.
            Ruh perdamaian yang diperjuangkan Gus Dur melalui ide-ide pluralismenya merupakan tindakan tepat untuk kondisi masyarakat Indonesia yang plural. Walaupun menurut pandangan Nahdlatul Ulama (NU), pluralisme yang diperjuangkan adalah pluralisme dalam perspektif sosiologis, bukan pluralisme dalam perspektif teologis. Karena menurut Ketua Umum PBNU, K.H. Hasyim Muzadi, pluralisme teologis justru dapat merugikan teologi semua agama karena hanya akan menghasilkan keimanan dan keyakinan beragama yang campur aduk.
            Wafatnya Gus Dur merupakan kehilangan besar bagi NU dan bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia menurut Hasyim, kehilangan dua hal besar dan mahal dengan kepergian Gsu Dur, yaitu demokrasi dan humanisme. Humanisme Gus Dur benar-benar berangkat dari nilai-nilai Islam yang paling dalam, tetapi melintasi agama, etnis, teritorial dan negara.
            Umat Islam yang menjadi mayoritas kelompok agama di Indonesia difasilitasi dan didorong agar mampu melaksanakan otontesitas ajaran agamanya yang menyeru kepada perdamaian yang menjadi kekuatan yang mengayomi kebhinekaan bangsa. Sementara yang mereka menebar kebencian atas nama agama, dibatasi atau bahkan dihentikan geraknya.
            Tasarruful imam ala ar-ra’iyah manuutun bil mashlahah, kebijakan seorang pemimpin haruslah mengacu pada kesejahteraan rakyat yang dipimpinnya. Itulah kaedah fiqih yang dipergunakan Gus Dur dalam mengibarkan sayap perdamaian di tengah-tengah masyarakat plural Indonesia.

Man of peace
            Buku ini adalah sebuah kesaksian tertulis untuk sang pahlawan pluralisme. Dengan sangat komprehensif, buku ini menyajikan sebuah bukti pengakuan dari berbagai tokoh nasional bahwa Gus Dur adalah sosok man of peace (pencinta damai) juga sebagai bapak pluralisme dan multikulturalisme. Bagi perdamaian, keikhlasan dan kejujuranlah pahlawan kelahiran Jombang ini mempersembahkan seluruh hidupnya. Kecintaan pada bangsa ini mengatasi kecintaannya pada pada dirinya, sehingga dalam kondisi fisik yang sudah sangat rapuh pun ia masih saja berpikir untuk rakyat dan bangsa Indonesia.
            Winston Churchil salah satu tokoh favorit Gus Dur, pernah mengatakan, history will be kind to me for I intend to write it, sejarah akan berlaku baik kepadaku karena akulah yang akan menuliskannya. Sepanjang hidupnya Gus Dur telah melukiskan sejarahnya sendiri, dan tulisan di makamnya hanyalah untuk mengabadikan apa yang selama ini telah disaksikan, bahwa Gus Dur adalah orang yang sepanjang hidupnya berjuang untuk kemanusiaan.
            Menjadi orang yang berjuang untuk kemanusiaan, memang seolah garis yang sudah ditetapkan untuknya. Seluruh hidupnya, ia mengabadikan dirinya untuk membela mereka yang papa dan terpinggirkan. Sejak pukul lima pagi, rumahnya sudah terbuka untuk semua. Mulai dari warga yang teraniaya datang mengadukan nasibnya, atau mereka yang datang meminta doa, tak kurang pula yang datang mengharap lebih dari sapa. Semua dibantu dengan terbuka. Bahkan menurut pengakuan anaknya Yenny Zannuda Wahid, tak jarang membuat iri anak-anaknya sendiri. (hal. xv)
            Keberagaman bangsa Indonesia diyakini oleh Gus Dur akan mendatangkan kemaslahatan bangsa, bukan memecah bangsa. Karena baginya perbedaan adalah rahmat. Dalam sebuah wawancara untuk penyususnan disertasi Benyamin F. Intan di Boston College, Gus Dur menandaskan perlunya tiga nilai universal, yaitu kebebasan, keadilan dan musyawarah untuk menghadirkan pluralisme sebagai agen pemaslahatan bangsa dan terciptanya perdamaian di tengah perbedaan hidup.           
            Buku ini merupakan jawaban bagi yang ingin mengetahui lebih mendalam mengapa begitu banyak orang yang mencintai Gus Dur?, apa saja yang telah ia lakukan dalam memperjuangkan nasib bangsa, terutama mereka yang lemah, tertindas dan tersingkirkan?, apa saja bentuk penghargaan yang telah diberikan masyarakat kepadanya?.
*Peresensi adalah
Penulis Buku dan Peneliti di Pusat Studi Islam
Universitas Muhammadiyah Malang

Berdamai di Tengah Perbedaan

Judul buku        : Merajut Kebersamaan dalam Keragaman
Editor               : Denny Mizhar dan Hasnan Bachtiar
Penerbit            : ReSIS Literacy
Cetakan I         : Maret 2010
Tebal                : 191 halaman
Peresensi          : Muhammad Rajab

Tidak dapat dipungkiri bahwa Indonesia adalah sebuah negara yang terdiri dari berbagai macam etnis, bahasa, budaya, golongan bahkan agama. Atau singkatnya bisa  disebut sebagai negara multikultur. Keragaman tersebut tak jarang menimbulkan respon dan sikap negatif di tengah-tengah masyarakat. Sehingga memacu terjadinya berbagai macam konflik, baik konflik batin maupun konflik fisik.
Indonesia yang sangat kaya dengan budaya tersebu memang sangat rentan terhadap konflik dalam proses intraksi budaya, jika pemahaman akan keragaman tidak tertanam sejak dini. Karena dalam kenyataannya yang obyektif, perbedaan warna kulit sering menjadi pemicu kesalahpahaman. Tidak hanya permasalahan warna kulit, persoalan bahasa, kesukuan, budaya juga menambah komleksitas fakta keragaman.
Munculnya berbagai macam respon sikap atas keragaman ini memang sudah sangat mungkin terjadi dalam masyarakat. Karena memang, sifat dan karakter seseorang berbeda dengan orang lain. Namun demikian, bukan berarti sikap negatif tersebut tidak bisa dikendalikan. Banyak cara yang bisa digunakan untuk merajut sebuah kebersamaan dan persatuan. Salah satunya menurut buku ini adalah dengan melalui pendidikan.
Atas dasar itulah, nilai-nilai toleransi atas keragaman identitas itu penting untuk ditanamkan pada masyarakat. Proses penanaman nilai ini bisa dilakukan melalui melalui agenda pendidikan lintas budaya (multikultur). Karena melalui pendidikan, pembentukan manusia bermula. Dalam pendidikan, anak didik diupayakan benar-benar mengerti betapa Islam merupakan agama yang rahmatan lil’alamin. (hal.ix)
Yonki Karman menilai pendidikan lintas budaya merupakan sebuah konsep cemerlang untuk meredam konflik dan memupuk perdamaian. Pendidikan lintas budaya tersebut merupakan sebuah pendidikan yang menanamkan nilai-nilai kebersamaan dan persatuan kepada peserta didik. Bukan pendidikan yang mengajarkan kebanggaan terhadap golongannya sendiri-sendiri dan menjelekkan golongan lain yang berbeda dengan dirinya. Pasalnya, tak jarang kita menemukan lembaga pendidikan yang terlalu mengajarkan fanatisme terhadap golongannya.
Pendidikan memiliki peran penting dalam mentransormasikan nilai-nilai kebersamaan, toleransi, saling menghargai, lebih-lebih pendidikan agama. Karena agama adalah kepercayaan yang dianut dan diyakini menjadi landasan hidup dalam bermasyarakat. Pendidikan agama dapat dijadikan sebagai media penyebaran strategis demi terciptanya harmoni dalam perbedaan.
Asumsi mendasar buku ini menjelaskan mengapa pendidikan memegang peranan penting adalah bahwa anak merupakan investasi masa depan yang akan meneruskan perjuangan bangsa. Untuk itu nilai-nilai kebersamaan dan toleransi dalam bermasyarakat perlu ditekankan kepada seluruh peserta didik, baik itu dalam keluarga maupun sekolah.
Tidak salah kalau Ki Hajar Dewantara mengatakan, bahwa salah satu asas pendidikan adalah asas kemerdekaan. Pemaknaan kemerdekaan dalam konteks ini adalah bagaimana sebuah bangsa tidak memperjuangkan kepentingan-kepentingan pribadi maupun golongan.
Menurut Paulo Freire, bahwa tujuan pendidikan sebenarnya adalah memanusiakan manusia. Artinya bagaimana seorang manusia diharapkan melalui pendidikan bisa melihat dan menilai manusia sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan. Tidak pandang apakah manusia tersebut berbeda dengan kita, baik secara budaya, bahasa, bahkan agama.
Penanaman akan pentingnya kebersamaan dalam perbedaan hendaknya menjadi prioritas pendidikan saat ini. Pasalnya, saat ini Indonesia benar-benar membutuhkan generasi yang benar-benar mampu menghadapi banyaknya perbedaan. Karena arus globalisasi tidak menutup kemungkinan akan membawa dampak terhadap munculnya berbagai macam paham dan golongan.
Buku ini berusaha menjelaskan bagaimana menanamkan nilai-nilai toleransi dan kebersamaan kepada peserta didik. Menariknya, buku yang diedit oleh Denny Mizhar dan Hasnan Bachtiar ini juga memuat kisah-kisah inspiratif yang bisa dijadikan contoh penerapan kebersamaan dan persatuan dalam keberagaman hidup.
Pada intinya buku ini kita untuk melihat perbedaan dan keragaman secara positif, seperti sebuah taman, akan terasa indah jika dihuni oleh bumi beraneka warna. Demikian pula kehidupan. Di luar perbedaan itu semua manusia adalah sama. Sejumlah cerita yang telah disajikan buku ini terkadang membuat kita tersenyum dan merenung.  Sehingga buku ini sudah selayaknya menjadi rujukan para guru khususnya dan masyarakat pada umumnya.