Oleh: Muhammad Rajab*
Di dunia
pesantren (islamic boarding school) ada satu istilah yang sering kita dengar yaitu “keberkahan”. Kata “berkah” berasal dari bahasa Arab “barakah” yang maknanya
menurut Imam al-Ghazālī, ziyādah al-khair yakni bertambahnya nilai
kebaikan. Ilmu yang
berkah adalah ilmu yang memberikan nilai kemanfaatan dan kebaikan di dalamnya. Salah
satu tandanya adalah ilmu tersebut diamalkan dan bermanfaat untuk dirinya dan
orang lain serta mendatangkan kebaikan.
Oleh karena pentingnya keberkahan ilmu tersebut Imam al-Ghāzalī dalam
kitabnya Ayyuhā al- Walad menasehatkan untuk para
penuntut ilmu, “meskipun engkau menuntut ilmu serratus tahun, dan mengumpulkan
(menghafalkan) seribu kitab engkau tidak akan bersiap sedia mendapatkan rahmat
Allah kecuali dengan mengamalkannya. Sebagaimana firman Allah dalam al-Quran
(QS. al-Najm: 39, al-Kahf: 110 dan 107-108, al-Taubah: 82, al-Furqān: 70) ”.
Keberkahan ilmu harus dimulai dengan
niat yang lurus dan benar. Demikian pesan Imam Az-Zarnūji (1981: 32) dalam kitab Ta’līm al-Mutallim Tharīq al-Ta’allum. Beliau
mengatakan, selayaknya seorang penuntut ilmu
meniatkannya untuk mencari keridhaan Allah SWT, mencari kehidupan akhirat,
menghilangkan kebodohan dari dirinya sendiri dan orang-orang bodoh,
menghidupkan agama dan melanggengkan Islam. Sebab kelanggengan Islam itu harus dengan
ilmu, dan tidak sah kezuhudan dan ketakwaan yang didasari atas kebodohan.
Az-Zarnūji menambahkan bahwa dalam
menuntut ilmu hendaknya juga diniatkan sebagai bentuk rasa syukur atas
kenikmatan akal dan sehatnya badan. Dan tidak dibenarkan meniatkannya untuk
mencari kedudukan di hadapan manusia, mencari harta duniawi, atau kemuliaan di
sisi penguasa dan lainnya.
Selain niat, kebeberkahan ilmu ditentukan oleh
sikap penuntut ilmu dan orang tuanya terhadap ilmu dan orang yang mengajarkan
ilmu tersebut yaitu guru. Az-Zarnuji mengatakan:
اعلم أن طالب العلم لا ينال العلم ولا ينتفع به إلا بتعظيم العلم وأهله وتعظيم الأستاذ وتوقيره
“Ketahuilah,
Seorang murid tidak akan memperoleh ilmu dan tidak akan dapat ilmu yang
bermanfaat, kecuali ia mau mengagungkan ilmu, ahli ilmu, dan menghormati
keagungan guru.”.
Islam menempatkan posisi seorang ahli ilmu pada posisi yang mulia. Di
dalam al-Quran secara tegas dijelaskan bahwa tidaklah sama antara orang yang
berilmu dengan orang tidak berilmu (QS. Al-Zumar: 9). Demikian halnya juga
Allah mengangkat derajat mereka (orang beriman dan berilmu) beberapa derajat (QS.
al-Hujurāt: 11).
Dalam tradisi keilmuan Islam, penghormatan (ta’dzīm) terhadap ustadz/guru benar-benar telah dipraktikkan. Dan ini menjadi kunci kejayaan peradaban Islam. Hal ini bisa kita lihat dari contoh-contoh yang telah ditunjukkan oleh orang-orang mulia. Misalnya, Sahabat Ali bin Abi Thalib, yang oleh Rasulullah SAW disebutkan sebagai “bab al ‘ilmi” atau pintu ilmu. Beliau mengatakan:
أنا عبد من علمني حرفا واحدا، إن شاء باع وإن شاء استرق
“Saya
menjadi hamba sahaya orang yang telah mengajariku satu huruf. Terserah padanya,
saya mau dijual, di merdekakan ataupun tetap menjadi hambanya.”
Demikian pula dengan orang tua yang seharusnya memberikan penghormatan
tinggi kepada para guru anak-anaknya. Di
masa keemasan Islam, para orang tua
sangat antusias menyekolahkan anak-anak mereka kepada para guru (ulama’).
Mereka memberikan dukungan penuh disertai kepercayaan dan penghormatan tinggi kepada
guru anak-anak mereka.
Suatu ketika Sulaiman bin Abdul Malik bersama pengawal dan anak-anaknya
mendatangi Atha’ bin Abi Rabah untuk bertanya dan belajar sesuatu yang belum
diketahui jawabannya. Walau ulama dan guru ini fisiknya tak menarik dan miskin,
tapi dia menjadi tinggi derajatnya karena ilmu yang dimiliki dan diajarkannya. Di
hadapan anak-anaknya ia memberi nasihat, “Wahai anak-anakku! bertawalah kepada
Allah, dalamilah ilmu agama, demi Allah belum pernah aku mengalami posisi
serendah ini, melainkan di hadapan hamba ini (Atha’) (Al-Qarny, Rūh wa Rayhān:
296).
Penghormatan terhadap seorang guru juga telah dicontohkan oleh Harun Ar Rasyid. Khalifah yang
dikenal sebagai pemimpin yang sangat perhatian
terhadap pendidikan anaknya. Dikisahkan, suatu saat beliau mengirim salah satu putranya kepada
Imam al-Ashmā’ī, salah satu imam dalam ilmu nahwu untuk belajar ilmu dan adab.
Ketika mengunjungi putranya, Khalifah menyaksikan al-Ashmā’ī sedang berwudhu
dan membasuh kaki beliau sedangkan putranya menuangkan air ke kaki sang guru.
Melihat hal itu, Khalifah pun tidak menerima dan mengatakan kepada Imam al-Ashmā’ī,”Sesungguhnya
aku mengirim putraku pedamu agar engkau mengajarkan adab kepadanya. Kenapa
engkau tidak memerintahkannya untuk menuangkan air dengan salah satu tangannya
sedangkan tangan lainnya membersihkan kakimu?.”.
Ini menunjukkan betapa terhormatnya
guru atau orang yang berilmu. Sampai-sampai sekelas khalifah atau kepala negara
masa itu
harus mendatanginya untuk mendapatkan ilmu serta menasihati anak-anaknya untuk
belajar dan menghormati guru. Sebagai orangtua, Harun Ar-Rasyid mempercayakan pendidikan anaknya
kepada guru. Biaya yang dikeluarkan oleh beliau juga tak sedikit untuk
memuliakan guru. Terlebih, guru juga diberi wewenang untuk mendidik anaknya
sebagaimana anak-anak lain, tanpa harus sungkan karena mendidik anak khalifah.
Contoh lain penghormatan kepada guru adalah apa yang dilakukan Sultan
Muhammad Al-Fatih, Sang Penakluk Konstantinopel. Sang Sultan sangat mencitai
dan menghormati gurunya Syeikh Aaq Syamsuddin dengan kecintaan yang tinggi.
Sang guru mempunyai kedudukan yang khusus dan istimewa di hati Sultan.
As-Shalābī (2006: 117) menyebutkan dalam kitabnya, Fātih al-Qasthinthīniyah, al-Sulthān Muhammad al-Fātih, suatu ketika, gurunya Syeikh Āq Syamsuddin
masuk ke istana. Saat itu Muhammad al-Fatih sedang bermusyawarah dengan para
pembesarnya. Melihat kedatangan gurunya, al-Fatih bangun dan menyambut gurunya
dengan penuh hormat. Kemudian beliau berkata kepada perdana menteri Utsmaniyah,
Mahmud Pasya, “perasaan hormatku kepada Syeikh Āq Syamsuddin
sangat mendalam. Apabila orang-orang lain berada di sisiku tangan mereka akan
bergetar. Sebaliknya apabila aku melihatnya (Syeikh Āq
Syamsuddin) tangan aku yang bergetar.
Ini adalah sunnatullah tidak
ada keberhasilan orang-orang besar dalam sejarah peradaban Islam kecuali di
sampingnya ada seorang guru yang hebat yang ditempatkan pada posisi yang mulia.
Syeikh Bakr Abu Zaid Hafidzahullah memberikan nasehat kepada para
penuntut ilmu dalam kitabnya, Hilyah Thālib al-‘Ilmi,
pada dasarnya mengambil ilmu pertama kali
bukanlah dari buku, tetapi harus dari guru yang engkau percayai memiliki
kunci-kunci pembuka ilmu, agar engkau terbebas dari bahaya dan ketergelinciran.
Oleh karena itu engkau harus menjaga kehormatan gurumu, karena itu adalah tanda
keberhasilan, kemenangan, pencapaian ilmu, dan kesuksesan. Hendaknya gurumu
menjadi sosok yang engkau hormati, engkau muliakan, engkau hargai, dan engkau
perlakukan dengan santun.
Di antara salah satu bentuk
penghormatan kepada guru adalah jika terlihat kesalahan dari gurumu atau
kekeliruan, janganlah engkau menganggapnya jatuh harga dirinya dalam
pandanganmu, karena yang seperti itu akan menjadi sebab terhalanginya dirimu
dari mendapat ilmunya. Siapakah yang bisa terbebas secara total dari kesalahan?.
(Abu Zaid, 2002: 36)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
kOMENTAR ANDA