Oleh: Muhammad Rajab*
Artikel ini dimuat di Harian Duta Masyarakat, 9 Desember 2020
Tidak dapat
diragukan lagi bahwa pesantren telah banyak memberikan kontribusi dalam
perjuangan dan peradaban bangsa Indonesia. Hal ini dapat dilihat kemunculan beberapa
tokoh besar bangsa yang lahir dari rahim pesantren. Eksistensinya sebagai bagian
utama dari sistem pendidikan Islam Indonesia telah membuktikan bahwa lembaga
model seperti ini mampu memberikan warna perubahan bagi bangsa Indonesia.
Dalam
perjalanannya pesantren terus menunjukkan eksistensinya di tengah berbagai
ancaman dan tantangan yang dihadapinya. Pasalnya pesantren tidak hanya
mengajarkan ilmu pengetahuan dan kitab saja, tapi lebih dari itu lembaga yang
satu ini menekankan pada pendidikan nilai (value education) dan adab. Di
pesantren salaf (tradisional) pengajian adab menjadi prioritas utama (the
first priority). Mereka harus mengkhatamkan kitab Ta’lim al-Muta’allim sebagai
bekal supaya mereka benar-benar menghormati guru dan ilmu. Sebab
kecintaan dan penghaormatan kepada guru ilmu dan guru menjadi kunci utama untuk
mendapatkan kemanfaatan dari pada ilmu itu sendiri. Bagi mereka ilmu tanpa amal
dan kemanfaatan yang jelas ibarat pohon yang tak berbuah.
Di era globalisasi ini pesantren dihadapkan pada tantangan baru dengan
munculnya kemajuan teknologi informasi
dan komunikasi. Kemajuan ini telah menciptakan ruang baru yang kita kenal
dengan istilah globalisasi. Kondisi
masyarakat global (global viilage) sudah barang tentu memberikan dampak
dan perubahan signifikan dalam pemikiran, budaya dan perilaku masyarakatnya.
Ini memberikan tantangan tersendiri bagi pendidikan Islam secara umum dan
pesantren secara khusus. Tantangan yang paling berat adalah hilangnya
nilai-nilai kemanusian dan akhlaq al-karimah. Untuk menjawabnya, lembaga
pendidikan berbasis pesantren perlu ditata kembali untuk melakukan transformasi
sehingga mampu memberikan pemahaman tentang fungsi agama menjadi lebih jelas
dan lebih berperan.
Pesantren dituntut untuk melakukan transformasi secara holistik
agar tetap memiliki eksistensi yang kuat di tengah-tengah masayarakat global.
Tentu dengan tetap menjaga nilai-nilai kepesantrenannya. Prinsip al
muhafadzah ‘alal qadimisshalih wal akhdzu bil jadidil ashlah, menjaga
tradisi pesantren yang sudah baik dan mengambil sesuatu yang baru yang lebih
baik perlu diimplementasikan kembali. Hal ini sebagai pondasi awal dalam
rangka melakukan perubahan ke arah yang lebih sempurna.
Transformasi tersebut dapat diimplementasikan
dalam berbagai macam aspek. Harapannya adalah pesantren mampu menjawab
tantangan globalisasi serta sebagai wadah terhadap kebutuhan masyarakat
kontemporer. Hal ini bisa dimulai dengan visi pesantren yang global sebagai
manifestasi dari Islam yang rahmatan lil’alamin. Dari visi tersebut
kemudian dapat diterjemahkan dalam sistem pendidikan yang ada di dalamnya,
seperti sumber daya manusia (SDM), santri, manajemen, kurikulum, sistem
pendanaan, jalinan kerjasama dan program-programnya. Ada istilah lain penting
diperhatikan untuk melakukan tranformasi yaitu the universal principle
(prinsip-prinsip universal) yang terdiri dari tiga komponen utama. Tiga
tersebut adalah Human Potencial Development (HPD), Curriculum (kurikulum)
dan Material (kebutuhan materi dan sarpras).
Untuk melakukan
peningkatkan mutu dan kualitas pesantren tentu dibutuhkan refleksi dan evaluasi
terhadap pendidikan pesantren secara menyeluruh (holistic) dengan
mengacu pada tiga komponen di atas. Human Potencial Development (HPD)
yang meliputi semua orang yang menggerakkan pesantren tersebut apakah sudah
benar-benar mempunyai kompetensi yang sesuai dengan bidangnya
masing-masing. Guru misalnya sekarang
tidak cukup hanya dengan kemampuan pedagogik saja tapi juga harus mempunyai kecakapan
teknologi. Setidaknya guru harus mampu mempunyai minimal lima skill yaitu teaching,
training, practicing, coaching, dan mentoring. Lebih dari
itu, guru dituntut untuk menjadi contoh (uswah) dan inspirasi kebaikan
bagi para santri. Sebab ini adalah ruh yang akan menggerakkan jiwa dan
perilaku anak didiknya. Ada sebuah pepatah Arab memangatakan, al-thariqah
ahammu minal madah, wal mudarrisu ahammu minat thoriqah, wa ruhul mudarris
ahammu minal mudarris nafsuhu. Artinya metode itu lebih penting dari pada
materi pembelajaran, guru itu lebih penting dari metode tersebut, dan ruh
seorang guru jauh lebih penting daripada guru itu sendiri.
Prinsip kedua adalah Curriculum (kurikulum)
yang meliputi segala bentuk program dan rancangan pembelajaran yang ada di dalam
pesantren. Kurikulum harus
didesain secara holistik yang memadukan tiga konsep dasar pendidikan, tarbiyah
ruhiyah, tarbiyah aqliyah dan tarbiyah jasadiyah. Pemahaman
kurikulum klasik yang menitikberakan pada aspek pelajaran di kelas perlu
direkontruksi dalam bentuk yang lebih kreatif dan bermakna (meaningful). Kurikulum
mencakup semua aspek program dan kegiatan, misalnya ada core curriculum (kurikulum
inti), co curriculum dan extra curriculum. Co curriculum contohnya
kegiatan enrichment seperti olahraga dan seni yang bisa melatih hard
and soft skill anak didik. extra curriculum contohnya
kegiatan sosial kemasyarakatan yang bisa menumbuhkan jiwa empati dan kepedulian
sosial anak.
Prinsip ketiga adalah material yang meliputi penyiapan infrastruktur harus
memadai dan mendukung proses pendidikan. Infrastruktur terdiri atas dua elemen,
yaitu hardware (perangkat keras) dan pendanaan. Dalam konteks ini, hardware
merupakan fasilitas fisik yang menunjang proses penyelenggaraan pendidikan.
Fasilitas ini mencakup masjid, gedung, laboratorium, perpustakaan, kendaraan
sekolah, hingga ruang kelas. Kelengkapan fasilitas dalam sebuah lembaga menjadi
salah satu kunci untuk menyelenggarakan pembelajaran yang berkualitas dan
optimal. Adapun pendanaan lembaga haruslah memiliki komponen pendanaan yang
kuat untuk menggerakkan semua lini. Namun, pendanaan ini tidaklah semata-mata
bisa didapatkan dari pembayaran biaya pesantren. Pendanaan bisa diperoleh dari
unit bisnis, investasi, hingga charity.
Semua bentuk transformasi tersebut perlu didukung dengan modal kepemimpinan yang baik serta manajemen yang kuat. Maka peran pemimpin pesantren sebagai komandan utama dalam melakukan perubahan tersebut sangat besar. Dengan ini, pesantren diharapkan mampu lebih jauh lagi mengambil peran strategis dalam menyiapkan generasi yang kuat. Kuat secara mental spiritual, moral, adab dan akhlak serta mempunyai wawasan luas dan keterampilan yang mumpuni sehingga bisa terus eksis dan bersaing di tengah arus globaliasi.
*Penulis adalah
Director of Ma’had and Islamic Studies, Pesantren Tazkia International Islamic Boarding School Malang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
kOMENTAR ANDA