Oleh: Muhammad Rajab*
Dimuat di Harian Republika 22 Juli 2020
https://republika.co.id/berita/qdudcx5725000/keberkahan-ilmu
Pembelajaran di
tahun ajaran baru resmi telah dimulai, walaupun sebagian besar masih dilakukan
secara daring. Walaupun demikian tentu harapan kita semua adalah tidak
menghilangkan keberkahan ilmu yang diajarkannya. Kata “berkah” berasal dari
bahasa Arab “barakah” yang maknanya menurut Imam al-Ghazālī, ziyādah
al-khair yakni bertambahnya nilai kebaikan. Ilmu yang berkah adalah ilmu yang memberikan nilai
kemanfaatan dan kebaikan di dalamnya. Salah satu tandanya adalah ilmu tersebut
diamalkan dan bermanfaat untuk dirinya dan orang lain serta mendatangkan
kebaikan.
Oleh karena pentingnya keberkahan ilmu tersebut Imam al-Ghāzalī dalam
kitabnya Ayyuhā al- Walad menasehatkan untuk para
penuntut ilmu, “meskipun engkau menuntut ilmu serratus tahun, dan mengumpulkan
(menghafalkan) seribu kitab engkau tidak akan bersiap sedia mendapatkan rahmat
Allah kecuali dengan mengamalkannya. Sebagaimana firman Allah dalam al-Quran
(QS. al-Najm: 39, al-Kahf: 110 dan 107-108, al-Taubah: 82, al-Furqān: 70) ”.
Keberkahan ilmu harus dimulai dengan
niat yang lurus dan benar. Demikian pesan Imam Az-Zarnūji (1981: 32) dalam kitab Ta’līm al-Mutallim Tharīq al-Ta’allum. Beliau
mengatakan, selayaknya seorang penuntut ilmu
meniatkannya untuk mencari keridhaan Allah SWT, mencari kehidupan akhirat,
menghilangkan kebodohan dari dirinya sendiri dan orang-orang bodoh,
menghidupkan agama dan melanggengkan Islam. Sebab kelanggengan Islam itu harus dengan
ilmu, dan tidak sah kezuhudan dan ketakwaan yang didasari atas kebodohan.
Selain niat, kebeberkahan ilmu
ditentukan oleh sikap penuntut ilmu dan orang tuanya terhadap ilmu dan orang
yang mengajarkan ilmu tersebut yaitu guru. Az-Zarnuji mengatakan:
“Ketahuilah,
Seorang murid tidak akan memperoleh ilmu dan tidak akan dapat ilmu yang
bermanfaat, kecuali ia mau mengagungkan ilmu, ahli ilmu, dan menghormati
keagungan guru.”.
Dalam tradisi keilmuan Islam,
penghormatan (ta’dzīm) terhadap ustadz/guru benar-benar telah
dipraktikkan. Dan ini menjadi kunci kejayaan peradaban Islam. Hal ini bisa kita
lihat dari contoh-contoh yang telah ditunjukkan oleh orang-orang mulia.
Misalnya, Sahabat Ali bin Abi Thalib, yang oleh Rasulullah SAW disebutkan
sebagai “bab al ‘ilmi” atau pintu ilmu. Beliau mengatakan: “Saya
menjadi hamba sahaya orang yang telah mengajariku satu huruf. Terserah padanya,
saya mau dijual, di merdekakan ataupun tetap menjadi hambanya.”
Demikian pula dengan orang tua yang seharusnya memberikan penghormatan
tinggi kepada para guru anak-anaknya. Di
masa keemasan Islam, para orang tua
sangat antusias menyekolahkan anak-anak mereka kepada para guru (ulama’).
Mereka memberikan dukungan penuh disertai kepercayaan dan penghormatan tinggi
kepada guru anak-anak mereka.
As-Shalābī (2006: 117)
menyebutkan dalam kitabnya, Fātih al-Qasthinthīniyah,
al-Sulthān Muhammad al-Fātih, suatu ketika, guru Sang Sultan Syeikh Āq Syamsuddin
masuk ke istana. Saat itu Muhammad al-Fatih sedang bermusyawarah dengan para pembesarnya.
Melihat kedatangan gurunya, al-Fatih bangun dan menyambut gurunya dengan penuh
hormat. Kemudian beliau berkata kepada perdana menteri Utsmaniyah, Mahmud
Pasya, “perasaan hormatku kepada Syeikh Āq Syamsuddin sangat mendalam. Apabila
orang-orang lain berada di sisiku tangan mereka akan bergetar. Sebaliknya
apabila aku melihatnya (Syeikh Āq Syamsuddin) tangan aku yang bergetar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
kOMENTAR ANDA