Telah dimuat di Okezone.com 4 Januari '12
Judul buku : 1453;
Detik-Detik Jatuhnya Konstantinopel ke Tangan Muslim
Penulis : Roger
Crowley
Penerjemah : Ridwan Muzir
Penerbit : Pustaka
Alvabet
Cetakan I : 2011
Tebal : 408
halaman
Peresensi : Muhammad
Rajab*
Membaca buku sejarah yang ditulis
Roger Crowley ini seperti membaca sebuah novel. Dengan bahasa yang mengalir dan
penuh metafora, diskripsi latar, alur, dan penokohan cerita sejarah disajikan
secara mendetail dan gamblang. Ketika
saya membacanya seakan-akan saya betul-betul menyaksikan secara langsung
rentetan peristiwa yang dipaparkan di dalamnya. Walaupun
demikian, buku ini tetap menjaga aspek metodologis dalam penulisan sejarah
sehingga tidak kehilangan nilai-nilai ilmiahnya.
Buku
ini merupakan catatan ilmiah atas rentetan peristiwa penaklukan dramatis yang
dilakukan oleh pasukan Muslim Arab, khususnya Turki Utsmani hingga
Konstantinopel jatuh ketangan kaum Muslimin. Dia juga akan menyentuh berbagai
aspek lain dari sebuah dunia yang tengah berada di titik puncak perubahan,
seperti perkembangan meriam, seni perang pengepungan, taktik perang samudera,
keyakinan religious, mitos, dan takhayul-takhayul Abad Tengah.
Buku
setebal 408 halaman ini mengisahkan peristiwa besar dalam sejarah dunia yang tak terlupakan, yakni jatuhnya Konstantinopel ke tangan bangsa muslim Turki Utsmani
pada 1453. Sebelumnya, selama lebih dari seribu tahun, Konstantinopel telah menjadi
pusat peradaban Dunia Barat sekaligus pertahanan Kristen terhadap Islam. Hal
itu tidak lain, lantaran Byzantium dikenal sebagai pewaris terakhir kekaisaran
Romawi kuno sekaligus menjadi bangsa Kristen pertama. Kota yang berpenduduk sekitar 15 juta jiwa ini sangat luar biasa,
berbentuk segitiga yang agak menengadah ke timur dan kedua sisinya dilindungi
lautan. Di sebelah utara terdapat teluk kecil dengan air yang dalam, Golden
Horn. Sementara di sebelah selatan diapit Laut Marmara yang membentang ke barat
sampai ke Laut Mediterania lewat Dardanella.
Kota
yang penuh ramalan dan takhayul ini memiliki tembok besar bernama Theodosius
yang berusia seribu tahun, pertahanan paling kokoh pada Abad Tengah. Orang
Turki Ustmani pada abad ke-14 dan ke-15 menamakannya sebagai “tulang yang
menyilang di tenggorokan Allah,” yaitu sebuah hambatan psikologis yang
mengganjal ambisi mereka dan yang menghalangi mereka tentang penaklukan.
Karena
lokasinya yang sangat strategis yaitu antara batas Eropa dan Asia dan sebagai pusat peradaban dunia yang menjadi
simbol atas penguasaan dunia, maka tak heran jika Konstantinopel menjadi rebutan
para penguasa di penjuru dunia, baik Timur maupun Barat. Bahkan dikisahkan
dalam buku ini umat Islam sejak 800 tahun tergiur untuk menaklukkannya (hlm. 5).
Penyerangan demi penyerangan terus dilakukan terhadap kota ini. Setiap tahun
antara musim semi dan musim gugur, musuh-musuh mengepung tembok kota dan
menyerang laut di selat-selat kecil yang mengakibatkan pertempuran
habis-habisan dengan armada Byzantium. Selama 1.123 tahun sejak awal berdirinya
330 M sampai 1453 M, kota ini mengalami 23 kali pengepungan.
Penyerangan
demi penyerangan itu pun seringkali berakhir dengan kegagalan, hal ini tidak
lain karena pertahanan tembok Kontantinopel begitu kuat. Hingga akhirnya
datanglah Sang Penakluk, Sultan Ustmani, Mehmet II, pemuda 21 tahun yang cinta kemuliaan, berhasil melewati tembok pertahanan kota dengan bala tentaranya yang
sangat besar. Berbekal persenjataan baru dan canggih, pada hari Jum’at, 6 April
1453, sebanyak 80.000 pasukan muslim memulai serangan mereka terhadap 8.000
pasukan Kristen di bawah pimpinan Konstantin XI, kaisar Byzantium ke-57.
Pertempuran
berlangsung selama 55 hari, sepanjang waktu Mehmet memusatkan pasukannya di
tiga tempat; di utara antara Istana Balacernae dan Gerbang Charisan, di bagian
tengah di sekitar Sungai Lycus, dan di selatan dekat Laut Marmara di Gerbang
Mileter Ketiga (hlm. 265). Hingga pada dini hari di atas jam 02.00 waktu
setempat, 29 Mei 1453, pimpinan Konstantin dikelilingi para pengawalnya –Theopilus,
Palailogos, John Dalmata, Don Francisco dari Toledo– mati ditebas saat
menghalangi prajurit Mahmet. Dengan itu. jatuhlah Konstantinopel ke tangan kaum
muslimin, dan berkibarlah bendera Islam sebagai titik awal kejayaan peradaban Islam
atas dunia. (hlm. 281) Atas dasar inilah
Piliph Mansel menilai bahwa buku ini merupakan sebuah petunjuk untuk mengetahui
mengapa Istambul menjadi kota Muslim.
Di
sisi lain, buku yang ditulis oleh alumnus Cambridge University ini menampilkan
konstestasi dua tokoh inpspirasional, Sultan Mahmet II dan Kaisar Konstantin
XI, yang berjuang demi keyakinan agama dan kekaisaran. Lewat buku ini kita bisa
mempelajari seni memipin kedua tokoh pemimpin dunia tersebut. Singkat kata,
buku ini mengajak kita untuk berpikir betapa besarnya nilai sebuah peradaban
sehingga harus diperjuangkan dengan berbagai pengorbanan, baik harta, waktu,
bahkan jiwa. Selamat membaca.
*Peresensi
adalah
Penikmat Buku
dan Penggiat Kajian di Pusat Studi Islam dan Filsafat (PSIF) Unmuh Malang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
kOMENTAR ANDA