Judul buku : Soe Hok-Gie….Sekali
Lagi
Editor : Rudi
Badil
Penerbit : KPG
(Kepustakaan Populer Gramedia)
Cetakan I : Desember
2009
Tebal : 512
halaman
Peresensi : Muhammad
Rajab*
Soe
Hok-Gie adalah seorang cendekiawan muda yang hidup di masa Orde Lama. Dialah
yang meneruskan karakter independensi para cendekia lama. Pikirannya bak air
bah yang tak terbendung . Semuanya mengalir bebas tanpa pernah menenguk berbagai
batasan, baik politik, sosial, ekonomi, maupun budaya. Saat dia masih remaja
canggung misalnya, dia sudah menunjukkan independensi melalui tulisan yang
cukup berani untuk pemuda seusianya. Dia mengkritik kesenjangan ekonomi yang
semakin lebar pada masa Orde Lama. Gie kesal dengan perilaku para pemimpin saat
itu.
Gie memang sosok yang keras baik
dalam sikap intelektual dan politik. Hal itu tidak dapat dilepaskan dari
petualangan intelektual yang dilakukan secara otodidak. Buku-buku dari hasil
pujangga dunia mulai dari Albert Camus sampai Paramoedya Ananta Toer habis
dilahapnya. Surat kabar kritis seperti Indonesia Raya dan Pedoman pun
menjadi sarapan paginya.
Aktivis yang meninggal di puncak
Semeru ini pun semakin tertarik masuk dalam pusaran politik Republik. Posisi
politik Gie sangat jelas yakni demokrasi. Hal tersebut ditunjukkan dalam sikap
kritisnya terhadap rezim Orde Lama yang membungkam kebebasan ekspresi secara
semena-mena. Pembelaan politik Gie terhadap demokrasi demikian kuat bahkan terhadap posisi ideologis
yang memiliki persoalan dengan demokrasi.
Selain seorang pemikir Gie juga adalah seorang aktivis, man in
the action. Selain gelisah dan terus menggugat Gie adalah seorang
demonstran. Dia aktivis angkatan 66, arsitek Long March mahasiswa dari
Rawamangun ke Salemba yang menuntut
harga bensin turun. Dia jarang pulang ke rumah di Kebun Jeruk. Hampir seluruh
waktunya ada di kampus atau di jalan. Di kampus selain mengikuti kuliah, juga
merencanakan, mengorganisasi demonstrasi dan menghimpun kekuatan.
Dalam
buku yang diedit oleh Rudy Badil ini dicantumkan beberapa catatan kritis Gie terhadap
pemerintah yang pernah dimuat di beberapa media atau koran saat itu. Salah
satunya adalah tulisan yang berjudul, ‘Orang-orang Indonesia di Amerika
Serikat’, dimuat di Koran Sinar Harapan (13/03/1969). Dalam tulisannya
ia mengkritik kebiasaan para pembesar Indonesia di Amerika Serikat. Dia menulis
guyonan salah seorang temannya yang bertanya kepadanya, “Soe kamu mau naik kuda
putih?” teman itu tertawa terbahak-bahak. Pasalnya, dahulu kalau
pembesar-pembesar Indonesia datang ke Amerika Serikat mereka selalu mencari
“kuda putih”. Mumpung di Amerika mereka mau merasakan nikmatnya
menunggangi “kuda putih”. Dan mereka selalu mencari orang Indonesia yang tahu
keadaan setempat. (hal. 496)
Catatan lainnya yang daya kritisnya
lebih dalam lagi adalah ‘Pelacuran Intelektual’. Saat itu kebebasan untuk
berpendapat sangat dikekang. Pemikir-pemikir Indonesia kemudian dihadapkan pada
keadaan yang sangat buruk sehingga mereka dituntut untuk mengambil sikap dalam
menghadapi situasi pemerintahan saat itu.
Pada intinya, buku ini merupakan
sebuah kesaksian tentang catatan kritis seorang aktivis yang hidup di masa Orde
Lama. Buku ini sangat layak dibaca oleh mahasiswa dan masyarakat luas,
khususnya bagi mereka yang ingin benar-benar menjadi aktivis yang ingin
mempunyai idealisme yang kuat.
dijual bukunya?
BalasHapus