Judul
buku : Malaysia Macan Asia
Penulis : Khoridatul Anissa
Penerbit : Garasi
Cetakan
I : November 2009
Tebal : 243 halaman
Peresensi : Muhammad
Rajab*
Hubungan antara Indonesia
dan Malaysia
beberapa kali mengalami pasang surut. Pada tahun 1963, terjadi konfrontasi antara Indonesia
dan Malaysia. Perang ini berawal dari keinginan Malaysia untuk menggabungkan Brunei, Sabah dan Sarawak
dengan Persekutuan Tanah
Melayu pada tahun 1961.
Sebenarnya hubungan Indonesi dengan Malaysia pada awalnya
berjalan damai harmonis, khususnya dalam bidang pndidikan. Kerjasama antara
Indonesia dengan negeri jiran itu dalam
bidang pendidikan berjalan dengan baik. Kenangan sejarah masa lalu turut
mnguatkan anggapan itu. Ketika itu tahun 1970-an guru-guru Indonesia mendidik
anak-anak Malaysia dalam mata pelajaran sains dan matmatika.
Kenangan masa lalu tersebut
memang patut dibanggakan. Namun, jika melihat realitas saat ini maka boleh
dikatakan su,dah berbalik. Reputasi Indonsia di bidang pendidikan di masa lalu
itu tentu saja sudah menghilang, terutama setelah Malaysia mengalami kemajuan
yang luar biasa jauh meninggalkan Indonesia yang terpuruk. Yang pada akhirnya
Indonesia sendiri justru kian terbelakang di bidang pendidikan.
Sekarang ini bukan lagi
guru yang dikirimkan ke Malaysia, tetapi para TKI legal dan illegal. Selain
ekonomi dan pembanguan, pendidikan Malaysia sendiri tampaknya lebih mengalami
kemajuan dibanding dengan Indonesia. Bahkan, mulai 2007 Kerajaan Malaysia
secara resmi telah membuka peluang kepada pelajar Indonesia untuk melanjutkan pendidikan tingkat sarjana
di Malaysia.
Sebuah hubungan akan melibatkan
minimal dua belah pihak. Ketika dihadapkan pada berbagai kepntingan, jalinan
tersebut tidak selalu dapat mnjaga keharmonisannya. Begitu pula yang terjadi
pada Indonesia dan Malaysia. Politik Ganyang Malaysia, konflik pulau Sipidan
Ligitan, sngketa Ambalat, pembalakan hutan, klaim seni budaya adalah sekian
masalah yang terjadi di antara dua Negara bertetangga, Indonesia dan Malaysia.
Berbagai masalah
tersebut telah menutupi kenangan manis hubungan antara Indonesia dan Malaysia
yang pernah terjalin di masa lalu. Seperti dalam bidang pendidikan, pertukaran
pelajar, hingga kerjasama politik baik bilateral maupun kawasan (misalnya
ASEAN). Bahkan tidak sedikit yang mengingatkan kembali ketika Indonesia menjadi
salah satu negara yang tidak menyetujui kelahiran Malaysia sebagai negara
boneka penjajah Barat (Inggris).
Pada 2000-2002 hubungan
antara Indonesia dan Malaysia dapat dikatakan memanas karena masalah pulau Sipadan
dan Ligitan. Kedua pulau ini secara geografis merupakan bagian dari kepulauan
Indonesia, tetapi kasus ini berakhir dengan lepasnya kedua pulau ini dari
Indonesia. Mahkamah Internasional menyatakan bahwa pihak Indonesia tidak
menunjukkan keinginan untuk menguasai kedua pulau tersebut dan menyerahkan
kedaulatan dua pulau tersebut kepada Malaysia yang telah dianggap melakukan
penanganan efektif.
Hubungan
kedua Negara tersebut semakin memanas ketika Malaysia mengklaim laut Ambalat
sebagai bagian dari wilayahnya. Malaysia mendasarkan klaim lautnya pada peta
yang dikeluarkan pada 1979. Keberadaan Blok Ambalat sebagai bagian dari wilayah
Malaysia diukur berdasarkan peta 1979. Menurut penulis buku ini, peta tersebut
dikeluarkan secara sepihak atau unilateral sehingga tidak mempunyai implikasi
hokum, tetapi mempunyai implikasi politis. Dalam peta tersebut telah tergambar
klaim Malaysia, termasuk masalah-masalah batas laut. (hal. 197)
Tidak cukup pada klaim
wilayah perbatasan negara, permasalahan terjadi juga pada rakyat Indonesia yang
menjadi TKI di Malaysia dikejar-kejar pasukan RELA, dicambuki, ditangkap dan
dipulangkan serta diejek sebagai
orang-orang yang tidak mampu diurusi negaranya. Negara yang pimpinannya korup
serta memikirkan dirinya sendiri. Perempuan-perempuan kita menjadi babu di
keluarga-keluarga Malaysia yang kadang disiksa dan dianiaya. Misalnya,
penganiayaan yang terjadi pada akhir Juni 2009 lalu. Penganiayaan menimpa
Modesta Rengga Kaka (27) asal Ngamba Deta, Sumba Barat, yang bekerja pada
seorang majikan bernama Choo Pelling di Kuala Lumpur. Akibat penganiayaan itu,
Modesta menderita luka akibat pukulan rotan di sekujur tubuh. (hal. 217)
Buku
ini bukan hanya mengulas konflik-konflik tersebut, melainkan juga mengulas
tentang latar belakang terbentuknya Negara Malaysia. Mulai dari sejarah, proses
kelahiran, dan perkembangan masing-masing negara bagian Malaysia. Selain itu,
dengan bahasan yang kompreshensif buku ini juga menjelaskan tentang bagaimana
Malaysia mengelola sumber daya alam yang melimpah dan bagaimana strategi negeri
jiran tersebut mnghadapi krisis tahun 2007 yang melanda Asia dan krisis global
yang terjadi belakangan ini. Yang pada intinya buku ini layak dijadikan
referensi bagi masyarakat yang ingin mengetahui seluk beluk Malaysia secara
detail dan komprehensif serta dinamika hubungannya dengan Indonesia.
*Peresensi
adalah
Peneliti di Pusat Studi Islam (Forsifa) Unmuh Malang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
kOMENTAR ANDA