Telah dimuat di Malang Post
Judul buku : Hatta, Si Bung yang Jujur & Sederhana
Penulis : Adhe Firmansyah
Penerbit : Garasi
House of Book
Cetakan I : April 2010
Tebal : 160
halaman
Peresensi : Muhammad
Rajab*
Jika
India memiliki Mahatma Gandhi sebagai bapak negarawan yang sederhana, santun,
bersahaja bagi rakyatnya, maka Indonesia memiliki Bung Hatta. Sepanjang
hidupnya, Bung Hatta berperilaku senantiasa menampilkan sikap yang santun
terhadap siapa pun. Baik kawan maupun lawan. Terhadap Bung Karno yang pada masa
sebelum kemerdekaan melakukan kerja sama cukup erat namun kemudian mereka tidak
dapat bekerja sama secara politik, tetapi sebagai sesama manusia, Bung Hatta masih
menghormatinya. Ketika Bung Karno sakit, Bung Hatta menengoknya. Demikian pula
sebaliknya. Kesantunan menjadi sikap dalam hidupnya untuk saling menghargai.
Saat
peringatan kemerdekaan Republik Indonesia tiba, nama tokoh kelahiran 1902 ini ramai dibicarakan.
Para wartawan sibuk mewancarai anak cucu keturuannya untuk menanyakan
kesan-pesan terhadap sang Proklamator. Sebab jika kita memperbincangkan
perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia tidak akan pernah lepas dari pembahasan
tokoh yang satu ini. Perannya dalam prokalamasi kemerdekaan sangat besar.
Keberanian
dan keteguhannya mengantarkan dirinya menjadi salah satu tokoh kunci pergerakan
bangsa. Keberaniannya nampak ketika ia menandatangani naskah proklamasi, naskah
sakti bukti pernyataan kebebasan Indonesia atas kolonialisme bersama Soekarno
yang akhirnya dijuluki Dwituggal. Mereka
berdua penanggung jawab peralihan kekuasaan dari pemerintahan kolonialisme
kepada negara merdeka yang berkesatuan.
Banyak kisah tentang Hatta
yang menyadarkan kita semua, bahwa Indonesia pernah memiliki seorang pemimpin
dan negarawan yang teramat bersahaja. Hal itu terlihat saat Bung Hatta mulai
tidak sepaham dengan Bung Karno antara lain menganggap Bung Karno sudah
ke-kiri-kirian, terlebih saat Bung Karno mencetuskan ide Nasakom, Bung Hatta yang sudah tidak sepaham lagi dengan Bung
Karno memilih mengundurkan diri 1 Desember 1956.
Buku ini berbeda dengan buku-buku
yang lain. Di dalamnya tidak hanya diceritakan bagaimana perjuangan Bung Hatta
merebut kemerdekaan bangsa Indonesia, tetapi juga dijelaskan kisah kehidupan
pribadinya. Membaca buku ini, kita disuguhi menu hidangan seorang manusia yang uncorruptable
dan sederhana.
Banyak teladan yang perlu dicontoh
dari Bung Hatta. Dia adalah sosok yang jujur karena tidak pernah melakukan
korupsi, kolusi dan nepotisme selama menjadi pejabat negara. Di juga jujur
terhadap hati nuraninya. Pada saat yang sama, dia adalah pribadi yang sederhana
dan apa adanya.
Paahlawan bangsa ini tidak pernah
tergoda dengan kekuasaan. Setelah mengundurkan diri dari pemerintahan, dia
menjadi warga negara biasa. Beberapa perusahaan menawarinya untuk menjadi
komisaris, tetapi dia menolak. Alasannya dia malu dinilai hanya mencari pangkat
dan jabatan. Dia juga tidak mau dinilai rakyat seperti orang yang mementingkan diri
sendiri dengan tidak mau memperhatikan perkembangan negeri ini.
Sikap jujur dan kesederhanaannya
juga ditunjukkan dengan menolak kenaikan uang pensiun. Bahkan dia menolak
diberi rumah tambahan yang lebih besar karena takut tidak mampu membiayai
ongkos perawatan rumah tersebut. Prinsipnya yang kokoh itu kian tampak ketika
Bank Dunia menawarkan kedudukan pada Hatta, tetapi dia tak mau menerimanya.
Penolakan itu sempat mengecewakan anak-anaknya. Halida anak bungsunya
mengatakan bahwa ia ingin kuliah ke luar negeri. Namun keinginannya itu
tertunda lantaran penolakan Hatta atas posisi yang ditawarkan Bang Dunia
tersebut.
Peristiwa menakjubkan terjadi pada
1970. Ketika itu Bung Hatta diundang berkunjung ke Irian Jaya (Papua), untuk
sekaligus meninjau tempat dia pernah dibuang pada masa penjajahan Belanda. Di
sana dia disodori amplop sebagai uang saku, tetapi dia menolaknya. Ketika
amplop itu disodorkan kepadanya, spontan dia berkata, “surat apa ini?”. Dijawab
oleh Sumarno yang mengatur kunjungan Hatta, “bukan surat Bung, uang saku buat
perjalanan Bung Hatta di sini. Bung Hatta menjawab, bukankah uang ongkos sudah
ditanggung pemerintah. Sumarno terus meyakinkan Hatta agar menerima uang itu,
tapi tetap ditolaknya dengan alasan bahwa uang itu adalah uang rakyat. (hal.
107)
Hatta juga merupakan politisi santun
dalam mengutarakan pendapatnya. Setelah tidak menjabat wakil presiden dia
tampil sebagai oposisi yang rajin menyampaikan kritik kontruktif terhadap
pemerintahan Soekarno. Dia tidak mau mengerahkan massa, memprovokasi,
memberontak, dan sebagainya. Karena dia bukanlah tipe agitator dan haus
kekuasaan. Dia rajin mengkampanyekan pentingnya mendidik rakyat secara
rasional.
Kejujuran dan kesantunan yang
diperlihatkan Bung Hatta menunjukkan sikap kesatria negarawan yang patut
dihargai dan dicontoh. Dalam hubungannya dengan Soekarno misalnya, dia
menunjukkan kerja sama yang kritis (critical cooperation) terhadap
Soekarno. Bahkan adakalanya Hatta memberikan masukan langsung datang istana
selain menulis surat atau menelpon. Soekarno pun tetap menganggap Hatta sebagai
teman dan bukan musuh yang harus dilumpuhkan.
Pada intinya, buku ini memberikan
suguhan sosok teladan kepada para pemimpin untuk tidak melakukan praktik
politik kotor, seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme. Sehingga buku ini sangat
cocok dibaca oleh para pemimpin khususnya dan masyarakat pada umumnya, supaya
bisa mengambil pelajaran bagaimna sikap kesantunan dan kejujuran Bung Hatta dalam
berpolitik dan memimpin.
*Peresensi
adalah
Penulis Buku dan Peneliti di Pusat
Studi Islam Unmuh Malang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
kOMENTAR ANDA