Judul buku : Tradisi Pesantren; Studi Pandangan
Hidup Kyai dan Visinya Mengenai Masa
Depan Indonesia.
Penulis : Zamakhsyari Dhofier
Penerbit : LP3ES
Cetakan : September 2011
Tebal : ix + 307 halaman
Harga : Rp. 48.500,-
Peresensi : Muhammad Rajab*
Telah
diakui bersama bahwa pesantren memiliki peran besar dalam perkembangan sosial-politik
Indonesia. Terbukti sejak munculnya hingga sekarang pesantren masih eksis dan
terus mengadakan perubahan untuk menjawab tantangan Indonesia sesuai dengan
perkembangan zaman. Tokoh-tokoh inspirasional
dalam kancah sosial dan politik Indonesia banyak yang lahir dari pesantren,
seperti Gus Dur, Hidayat Nur Wahid, Syafii Ma’arif, Din Syamsuddin, Nurcholis
Majid, dan lainnya.
Pesantren
menjadi fondasi dan tiang penyangga paling penting bangunan peradaban dan
sosial-politik Indonesia sejak tahun 1200. Kemudian, mulai tahun 1999 pesantren
meningkatkan perannya dalam pembangunan peradaban Indonesia hingga memasuki
millennium ketiga. Sejak tahun 1999 itu para kyai meningkatkan aktivitasnya
agar lebih mampu mewarnai perjalanan sejarah bangsa Indonesia ke masa depan. Tradisi
pesantren, sesuai dengan azas ahlu sunnah wal jama’ah yang dianutnya
meningkatkan kembali ajakannya agar masyarakat dan bangsa Indonesia tidak hanya
pandai bertikai, tetapi bersikap arif dan mampu mendahulukan kebersamaan,
kesatuan, dan pemerataan keadilan bagi masyarakat luas dalam hal keagamaan,
kebudayaan, ekonomi, sosial dan politik.
Buku
yang ditulis oleh Zamakhsyari Dhofier ini berusaha menguatkan kembali peran
pesantren yang oleh sebagian kalangan dianggap tidak mampu menjawab tantangan
zaman. Tradisi pesantren yang menurut mereka adalah kolot, statis, dan sentralistik
dibantah dalam buku ini. Buku ini sebenarnya sudah lama terbit, pertama
diterbitkan sekitar tahun 1980-an di USA. Kemudian terjemahannya dalam bahasa
Jepang terbit di Tokyo tahun 1984. Buku hasil disertasi doktor antropologi
sosial di The Asutralian National University (ANU) ini terbit dalam bahasa
Indonesia tahun 1982. Buku yang sekarang hadir kembali di tengah-tengah kita
ini merupakan edisi revisi yang sudah banyak mengalami penambahan bab menyesuaikan dengan
perkembangan kehidupan kebudayaan, sosial, ekonomi, dan politik bangsa
Indonesia.
Buku yang ditulis berdasarkan studi
lapangan atas lembaga pesantren Tegalsari dan Tebuireng ini bermaksud
menggambarkan dan mengamati perubahan-perubahan yang terjadi dalam lingkungan
pesantren dan Islam yang dianut oleh para kyai di Indonesia yang dalam
Indonesia modern tetap menunjukkan vitalitasnya sebagai kekuatan sosial, kultural
dan keagamaan dan aktif membentuk
bangunan kebudayaan Indonesia modern. Karena itu, dalam kancah politik
pun pesantren tetap sangat diperhitungkan.
Keberhasilan
para kyai dalam menghimpun kekuatan yang besar di Indonesia dewasa ini bukan
semata-mata karena jumlah pengikutnya lebih banyak daripada Islamnya, tetap
juga karena kuatnya hubungan sosial, kultural dan emosional antara sesama kyai
dan dengan para pengikutnya. Dalam situasi peralihan ke sistem pemerintahan
demokrasi dewasa ini, organisasi sosial, keagamaan, dan politik yang didukung
oleh para kyai memang masih mengalami sejumlah kelemahan, namun ikatan
emosional, sosial, dan kultural mereka sangat kuat. Pengikut kyai pada umumnya
masyarakat miskin dan mereka itu merupakan kelompok mayoritas. Oleh karena itu,
para kyai cenderung dan dapat membagi-bagi suara dominan pengikutnya itu untuk
memilih calon-calon DPR atau DPRD yang sesuai dengan kepentingan masyarakat
lokal dan pesantrennya masing-masing (halaman 9).
Kyai dan
Politik
Para
sarjana yang mempelajari kebudayaan dan politik Indonesia pada umumnya
mengakui, bahwa Islam di zaman penjajahan Belanda merupakan faktor pemersatu
bagi kelompok-kelompok suku bangsa yang tinggal terpencar-pencar di berbagai
kepulauan. Bahkan di luar negeri pun, koloni Indonesia di Mekkah (Jawa
Community) juga merupakan wadah yang sangat efektif bagi percampurbauran
kelompok suku bangsa tersebut.
Sebagai
pusat dakwah pengembangan Islam pesantren dengan kepemimpinan seorang Kyai telah
mampu membangkitkan ruh persatuan dan kesatuan umat Islam. Karena itu, sampai
dengan permulaan tahun 1920-an yang silam, Islam menjadi pendorong tumbuhnya
gerakan nasionalisme. Setelah gerakan nasionalisme meluas hingga meliputi
kelompok-kelompok suku bangsa yang tidak beragama Islam, seperti di Manado,
Maluku, Sumatera Utara, Bali, dan Nusa Tenggara Timur, maka gerakan
nasionalisme dijiwai oleh unsur baru yaitu perasaan bersatu sebagai satu bangsa
Indonesia. Islam tetap menjadi unsure pemersatu yang sangat kuat bagi kelompok
suku bangsa Indonesia yang beragama Islam –yang merupakan sekitar 88 persen
penduduk Indonesia –yang dapat mengurangi perasaan ekslusivisme kesukuan. Ini
semua tidak bisa dilepaskan dari perjalanan sejarah pesantren yang selama berabad-abad
telah menumbuhkan perasaan solidaritas bersama sebagai penghuni wilayah
nusantara.
Kini
mereka tetap membenahi dirinya untuk tetap memiliki peranan dalam membangun masa
depan Indonesia. Mereka tidak mendambakan, apalagi melindungi pandangan hidup
tradisional menjadi suatu sistem yang tertutup dan memalingkan diri dari proses
modernisasi.
Pendek
kata, buku ini ingin menggambarkan semangat Islam para kyai pimpinan pesantren
yang dikenal dengan benteng pertahanan umat Islam dan pusat penyebaran Islam.
Oleh karena itu, Dhofier di sini berusaha menyoroti sejarah kedua pesantren
yang diteliti, terutama mengenai perannya dalam pelestarian dan pengembangan
Islam ahlusunnah wal jama’ah di Indonesia kira-kira 1875, sampai dengan
masyarakat Indonesia memasuki periode millennium ketiga.
*Peresensi
adalah
Penikmat buku
dan Penggiat Kajian di PSIF Unmuh Malang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
kOMENTAR ANDA