Telah dimuat di Malang Post
Judul buku : Damai
Bersama Gusdur
Editor : Rumadi
Penerbit : Kompas
Cetakan I : Februari
2010
Tebal : xxxiv +
158 hlm.
Peresensi : Muhammad
Rajab*
Ketokohan
seseorang menonjol ketika yang bersangkautan meninggal. Begitu yang terjadi
pada KH. Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. Pejuang kemanunisiaan yang meninggal
30 Desember 2009 ini telah banyak mencurahkan pikiran-pikiran bahkan tenaganya
untuk bangsa. Maka tak salah kalau banyak masyarakat memberinya gelar sebagai
seorang pahlawan karena jasa-jasanya yang begitu banyak terhadap bangsa.
Salah satu yang menonjol dari Gus
Dur adalah perannya sebagai penyeimbang gerakan keagamaan dan politik di
Indonesia. Ia tidak pernah berada di satu ekstrem ke ekstrem lainnya. Dengan
sadar ia menentang arus besar dengan mental dan legitimasi yang kuat. Ditambah
dengan garis keturunan dari keluarganya telah mewariskan kemampuan intelektual
dan modal kepemimpinan yang membuat ia bertahan.
Gus Dur merupakan sosok yang sangat
gigih memperjuangkan perdamaian melalui gerakan pluralismenya. Sebelum meninggal ia berpesan, “saya ingin di
kuburan saya ada tulisan; di sinilah dikubur seorang pluralis”, (hal. 69). Mantan
Ketua Permusyawaratan Rakyat Amin Rais sangat setuju apabila Gus Dur
dianugerahi gelar pahlawan nasional. Amin Rais menilai Gusdur adalah ikon
pluralisme. Ia berpendapat, Gus Dur merupakan tokoh yang diterima segenap
bangsa Indonesia.
Buku “Damai Bersama Gus Dur” ini
memuat kumpulan berita, artikel, tajuk rencana, hasil jejak pendapat, dan
analisis yang dimuat harian Kompas. Buku ini merupakan lanjutan dari buku “Gus
Dur: Santri Par Excellence” yang sudah terbit pertengahan Januari. Buku setebal
158 halaman ini menggoreskan benang merah; Gus Dur yang tampil merakyat dan
memiliki obsesi perdamain, kepeninggalannya meninggalkan rasa hampa dan sepi
bagi bangsa.
Ruh perdamaian yang diperjuangkan
Gus Dur melalui ide-ide pluralismenya merupakan tindakan tepat untuk kondisi
masyarakat Indonesia yang plural. Walaupun menurut pandangan Nahdlatul Ulama
(NU), pluralisme yang diperjuangkan adalah pluralisme dalam perspektif
sosiologis, bukan pluralisme dalam perspektif teologis. Karena menurut Ketua
Umum PBNU, K.H. Hasyim Muzadi, pluralisme teologis justru dapat merugikan
teologi semua agama karena hanya akan menghasilkan keimanan dan keyakinan
beragama yang campur aduk.
Wafatnya Gus Dur merupakan
kehilangan besar bagi NU dan bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia menurut Hasyim,
kehilangan dua hal besar dan mahal dengan kepergian Gsu Dur, yaitu demokrasi
dan humanisme. Humanisme Gus Dur benar-benar berangkat dari nilai-nilai Islam
yang paling dalam, tetapi melintasi agama, etnis, teritorial dan negara.
Umat Islam yang menjadi mayoritas
kelompok agama di Indonesia difasilitasi dan didorong agar mampu melaksanakan
otontesitas ajaran agamanya yang menyeru kepada perdamaian yang menjadi
kekuatan yang mengayomi kebhinekaan bangsa. Sementara yang mereka menebar
kebencian atas nama agama, dibatasi atau bahkan dihentikan geraknya.
Tasarruful imam ala ar-ra’iyah
manuutun bil mashlahah, kebijakan seorang pemimpin haruslah mengacu pada
kesejahteraan rakyat yang dipimpinnya. Itulah kaedah fiqih yang dipergunakan
Gus Dur dalam mengibarkan sayap perdamaian di tengah-tengah masyarakat plural
Indonesia.
Man of peace
Buku ini adalah sebuah kesaksian
tertulis untuk sang pahlawan pluralisme. Dengan sangat komprehensif, buku ini menyajikan
sebuah bukti pengakuan dari berbagai tokoh nasional bahwa Gus Dur adalah sosok man
of peace (pencinta damai) juga sebagai bapak pluralisme dan
multikulturalisme. Bagi perdamaian, keikhlasan dan kejujuranlah pahlawan
kelahiran Jombang ini mempersembahkan seluruh hidupnya. Kecintaan pada bangsa
ini mengatasi kecintaannya pada pada dirinya, sehingga dalam kondisi fisik yang
sudah sangat rapuh pun ia masih saja berpikir untuk rakyat dan bangsa
Indonesia.
Winston Churchil salah satu tokoh
favorit Gus Dur, pernah mengatakan, history will be kind to me for I intend
to write it, sejarah akan berlaku baik kepadaku karena akulah yang akan
menuliskannya. Sepanjang hidupnya Gus Dur telah melukiskan sejarahnya sendiri,
dan tulisan di makamnya hanyalah untuk mengabadikan apa yang selama ini telah
disaksikan, bahwa Gus Dur adalah orang yang sepanjang hidupnya berjuang untuk
kemanusiaan.
Menjadi orang yang berjuang untuk
kemanusiaan, memang seolah garis yang sudah ditetapkan untuknya. Seluruh
hidupnya, ia mengabadikan dirinya untuk membela mereka yang papa dan
terpinggirkan. Sejak pukul lima pagi, rumahnya sudah terbuka untuk semua. Mulai
dari warga yang teraniaya datang mengadukan nasibnya, atau mereka yang datang
meminta doa, tak kurang pula yang datang mengharap lebih dari sapa. Semua
dibantu dengan terbuka. Bahkan menurut pengakuan anaknya Yenny Zannuda Wahid,
tak jarang membuat iri anak-anaknya sendiri. (hal. xv)
Keberagaman bangsa Indonesia
diyakini oleh Gus Dur akan mendatangkan kemaslahatan bangsa, bukan memecah
bangsa. Karena baginya perbedaan adalah rahmat. Dalam sebuah wawancara untuk
penyususnan disertasi Benyamin F. Intan di Boston College, Gus Dur menandaskan
perlunya tiga nilai universal, yaitu kebebasan, keadilan dan musyawarah untuk
menghadirkan pluralisme sebagai agen pemaslahatan bangsa dan terciptanya
perdamaian di tengah perbedaan hidup.
Buku ini merupakan jawaban bagi yang
ingin mengetahui lebih mendalam mengapa begitu banyak orang yang mencintai Gus
Dur?, apa saja yang telah ia lakukan dalam memperjuangkan nasib bangsa,
terutama mereka yang lemah, tertindas dan tersingkirkan?, apa saja bentuk
penghargaan yang telah diberikan masyarakat kepadanya?.
*Peresensi adalah
Penulis Buku
dan Peneliti di Pusat Studi Islam
Universitas
Muhammadiyah Malang