Selasa, 24 November 2020

Menghormati Guru Kunci Keberkahan Ilmu


Oleh: Muhammad Rajab
*

Di dunia pesantren (islamic boarding school) ada satu istilah yang sering kita dengar yaitu keberkahan. Kata “berkah” berasal dari bahasa Arab “barakah” yang maknanya menurut Imam al-Ghazālī, ziyādah al-khair yakni bertambahnya nilai kebaikan. Ilmu yang berkah adalah ilmu yang memberikan nilai kemanfaatan dan kebaikan di dalamnya. Salah satu tandanya adalah ilmu tersebut diamalkan dan bermanfaat untuk dirinya dan orang lain serta mendatangkan kebaikan.

Oleh karena pentingnya keberkahan ilmu tersebut Imam al-Ghāzalī dalam kitabnya Ayyuhā al- Walad menasehatkan untuk para penuntut ilmu, “meskipun engkau menuntut ilmu serratus tahun, dan mengumpulkan (menghafalkan) seribu kitab engkau tidak akan bersiap sedia mendapatkan rahmat Allah kecuali dengan mengamalkannya. Sebagaimana firman Allah dalam al-Quran (QS. al-Najm: 39, al-Kahf: 110 dan 107-108, al-Taubah: 82, al-Furqān: 70) ”.

            Keberkahan ilmu harus dimulai dengan niat yang lurus dan benar. Demikian pesan Imam Az-Zarnūji (1981: 32) dalam kitab Ta’līm al-Mutallim Tharīq al-Ta’allum. Beliau mengatakan, selayaknya seorang penuntut ilmu meniatkannya untuk mencari keridhaan Allah SWT, mencari kehidupan akhirat, menghilangkan kebodohan dari dirinya sendiri dan orang-orang bodoh, menghidupkan agama dan melanggengkan Islam. Sebab kelanggengan Islam itu harus dengan ilmu, dan tidak sah kezuhudan dan ketakwaan yang didasari atas kebodohan.

            Az-Zarnūji menambahkan bahwa dalam menuntut ilmu hendaknya juga diniatkan sebagai bentuk rasa syukur atas kenikmatan akal dan sehatnya badan. Dan tidak dibenarkan meniatkannya untuk mencari kedudukan di hadapan manusia, mencari harta duniawi, atau kemuliaan di sisi penguasa dan lainnya.

             Selain niat, kebeberkahan ilmu ditentukan oleh sikap penuntut ilmu dan orang tuanya terhadap ilmu dan orang yang mengajarkan ilmu tersebut yaitu guru. Az-Zarnuji mengatakan:

اعلم أن طالب العلم لا ينال العلم ولا ينتفع به إلا بتعظيم العلم وأهله وتعظيم الأستاذ وتوقيره

“Ketahuilah, Seorang murid tidak akan memperoleh ilmu dan tidak akan dapat ilmu yang bermanfaat, kecuali ia mau mengagungkan ilmu, ahli ilmu, dan menghormati keagungan guru.”.

            Islam menempatkan posisi seorang ahli ilmu pada posisi yang mulia. Di dalam al-Quran secara tegas dijelaskan bahwa tidaklah sama antara orang yang berilmu dengan orang tidak berilmu (QS. Al-Zumar: 9). Demikian halnya juga Allah mengangkat derajat mereka (orang beriman dan berilmu) beberapa derajat (QS. al-Hujurāt: 11).

            Dalam tradisi keilmuan Islam, penghormatan (ta’dzīm) terhadap ustadz/guru benar-benar telah dipraktikkan. Dan ini menjadi kunci kejayaan peradaban Islam. Hal ini bisa kita lihat dari contoh-contoh yang telah ditunjukkan oleh orang-orang mulia. Misalnya, Sahabat Ali bin Abi Thalib, yang oleh Rasulullah SAW disebutkan sebagai “bab al ‘ilmi” atau pintu ilmu. Beliau mengatakan: 

أنا عبد من علمني حرفا واحدا، إن شاء باع وإن شاء استرق

“Saya menjadi hamba sahaya orang yang telah mengajariku satu huruf. Terserah padanya, saya mau dijual, di merdekakan ataupun tetap menjadi hambanya.”

Demikian pula dengan orang tua yang seharusnya memberikan penghormatan tinggi kepada para guru anak-anaknya.  Di masa keemasan Islam,  para orang tua sangat antusias menyekolahkan anak-anak mereka kepada para guru (ulama’). Mereka memberikan dukungan penuh disertai kepercayaan dan penghormatan tinggi kepada guru anak-anak mereka.

Suatu ketika Sulaiman bin Abdul Malik bersama pengawal dan anak-anaknya mendatangi Atha’ bin Abi Rabah untuk bertanya dan belajar sesuatu yang belum diketahui jawabannya. Walau ulama dan guru ini fisiknya tak menarik dan miskin, tapi dia menjadi tinggi derajatnya karena ilmu yang dimiliki dan diajarkannya. Di hadapan anak-anaknya ia memberi nasihat, “Wahai anak-anakku! bertawalah kepada Allah, dalamilah ilmu agama, demi Allah belum pernah aku mengalami posisi serendah ini, melainkan di hadapan hamba ini (Atha’) (Al-Qarny, Rūh wa Rayhān: 296).

Penghormatan terhadap seorang guru juga telah dicontohkan oleh Harun Ar Rasyid. Khalifah yang dikenal sebagai pemimpin yang sangat perhatian terhadap pendidikan anaknya. Dikisahkan, suatu saat beliau mengirim salah satu putranya kepada Imam al-Ashmā’ī, salah satu imam dalam ilmu nahwu untuk belajar ilmu dan adab. Ketika mengunjungi putranya, Khalifah menyaksikan al-Ashmā’ī sedang berwudhu dan membasuh kaki beliau sedangkan putranya menuangkan air ke kaki sang guru. Melihat hal itu, Khalifah pun tidak menerima dan mengatakan kepada Imam al-Ashmā’ī,”Sesungguhnya aku mengirim putraku pedamu agar engkau mengajarkan adab kepadanya. Kenapa engkau tidak memerintahkannya untuk menuangkan air dengan salah satu tangannya sedangkan tangan lainnya membersihkan kakimu?.”.

            Ini menunjukkan betapa terhormatnya guru atau orang yang berilmu. Sampai-sampai sekelas khalifah atau kepala negara masa itu harus mendatanginya untuk mendapatkan ilmu serta menasihati anak-anaknya untuk belajar dan menghormati guru. Sebagai orangtua, Harun Ar-Rasyid mempercayakan pendidikan anaknya kepada guru. Biaya yang dikeluarkan oleh beliau juga tak sedikit untuk memuliakan guru. Terlebih, guru juga diberi wewenang untuk mendidik anaknya sebagaimana anak-anak lain, tanpa harus sungkan karena mendidik anak khalifah.

             Contoh lain penghormatan kepada guru adalah apa yang dilakukan Sultan Muhammad Al-Fatih, Sang Penakluk Konstantinopel. Sang Sultan sangat mencitai dan menghormati gurunya Syeikh Aaq Syamsuddin dengan kecintaan yang tinggi. Sang guru mempunyai kedudukan yang khusus dan istimewa di hati Sultan.

            As-Shalābī (2006: 117) menyebutkan dalam kitabnya, Fātih al-Qasthinthīniyah, al-Sulthān Muhammad al-Fātih, suatu ketika, gurunya Syeikh Āq Syamsuddin masuk ke istana. Saat itu Muhammad al-Fatih sedang bermusyawarah dengan para pembesarnya. Melihat kedatangan gurunya, al-Fatih bangun dan menyambut gurunya dengan penuh hormat. Kemudian beliau berkata kepada perdana menteri Utsmaniyah, Mahmud Pasya, “perasaan hormatku kepada Syeikh Āq Syamsuddin sangat mendalam. Apabila orang-orang lain berada di sisiku tangan mereka akan bergetar. Sebaliknya apabila aku melihatnya (Syeikh Āq Syamsuddin) tangan aku yang bergetar.

            Ini adalah sunnatullah tidak ada keberhasilan orang-orang besar dalam sejarah peradaban Islam kecuali di sampingnya ada seorang guru yang hebat yang ditempatkan pada posisi yang mulia.

Syeikh Bakr Abu Zaid Hafidzahullah memberikan nasehat kepada para penuntut ilmu dalam kitabnya, Hilyah Thālib al-‘Ilmi, pada dasarnya mengambil ilmu pertama kali bukanlah dari buku, tetapi harus dari guru yang engkau percayai memiliki kunci-kunci pembuka ilmu, agar engkau terbebas dari bahaya dan ketergelinciran. Oleh karena itu engkau harus menjaga kehormatan gurumu, karena itu adalah tanda keberhasilan, kemenangan, pencapaian ilmu, dan kesuksesan. Hendaknya gurumu menjadi sosok yang engkau hormati, engkau muliakan, engkau hargai, dan engkau perlakukan dengan santun.

            Di antara salah satu bentuk penghormatan kepada guru adalah jika terlihat kesalahan dari gurumu atau kekeliruan, janganlah engkau menganggapnya jatuh harga dirinya dalam pandanganmu, karena yang seperti itu akan menjadi sebab terhalanginya dirimu dari mendapat ilmunya. Siapakah yang bisa terbebas secara total dari kesalahan?. (Abu Zaid, 2002: 36) 


 

Jumat, 20 November 2020

Peluang Kebaikan


Oleh: Muhammad Rajab

Dimuat di Harian Republika, 04 November 2020

https://republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/qj8ul510025000/peluang-kebaikan

            Pandemi covid-19 hingga saat ini masih juga belum selesai. Hal ini tentu telah banyak merubah sendi-sendi kehidupan masyarakat, mulai dari kehidupan sosial, politik, ekonomi mapun pendidikan. Bahkan dalam cara beragama pun membutuhkan ijtihad-ijtihad baru sebagai respon terhadap perubahan yang terjadi. Di balik semua itu sebenarnya terdapat peluang yang besar untuk melakukan kebaikan.

            Dalam setiap sendi kehidupan kita terdapat banyak peluang kebaikan. Mulai dari kehidupan individu, keluarga hingga masyarakat. Peluang-peluang kebaikan tersebut merupakan salah satu dari sekian rahmat Allah yang diberikan kepada hamba-Nya yang beriman.

            Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW bersabda: “Setiap anggota badan manusia diwajibkan bersedekah setiap harinya selama matahari masih terbit. Kamu mendamaikan antara dua orang yang berselisih adalah sedekah, kamu menolong seseorang naik ke atas kendaraannya atau mengangkat barang bawaannya ke atas kendaraannya adalah sedekah, setiap langkah kakimu menuju tempat sholat juga dihitung sedekah, dan menyingkirkan duri dari jalan adalah sedekah.” (HR Bukhari dan Muslim).

Imam Nawawi menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan sedekah di sini adalah sedekah yang dianjurkan, bukan sedekah wajib. Ibnu Bathal dalam Syarah Shahih al-Bukhari menambahkan bahwa manusia dianjurkan untuk senantiasa menggunakan anggota tubuhnya untuk kebaikan. Hal ini sebagai bentuk rasa syukur terhadap nikmat yang diberikan oleh Allah SWT.

Sesungguhnya kebaikan yang kita lakukan adalah manifestasi keimanan, sekecil apapun kebaikan itu.  Sebab wilayah keimanan mencakup segala sesuatu yang besar dan juga yang kecil. Cabangnya pun tidak sedikit. Rasulullah SWT bersabda: “Iman itu ada tujuh puluh atau enam puluh cabang lebih, yang paling utama adalah ucapan ‘Laa ilaaha illallah’, sedangkan yang paling rendah adalah menyingkirkan sesuatu yang mengganggu dari jalan, dan malu itu salah satu cabang keimanan” (HR. Bukhari dan Muslim)

Karena itu, seyogyanya bagi seorang muslim untuk bersegera melakukan kebaikan, sekecil apapun kebaikan tersebut. Karena dengan konsistensi (istiqamah) dalam melakukan kebaikan walupun kecil akan memantik ampunan dan rahmat dari Allah SWT. Allah telah memerintahkan para hamba-Nya untuk senantiasa menjemput ampunan dan rahmat-Nya dengan memperbanyak amal kebajikan (QS. Ali Imron: 133-134).

Komitmen untuk melakukan kebaikan tersebut dapat dimulai dengan niat yang baik. Niat yang baik inilah yang akan senantiasa mengantarkan seseorang berada dalam jalur kebaikan. Seorang Ulama’ Ahmad bin Hanbal pernah mengatakan, “berniatlah untuk melakukan kebaikan karena sesungguhnya engkau akan senantiasa berada dalam kebaikan selama meniatkan diri untuk melakukan kebaikan.”

Kondisi pandemi Covid-19 seperti yang saat ini sedang kita alami tidaklah menjadi penghalang untuk kita melakukan kebaikan demi kebaikan. Justru kondisi demikian menjadi peluang bagi seorang mukmin untuk mendapatkan rahmat dan ampunan Allah SWT. Bahkan bersabar terhadap musibah itu sendiri adalah sebuah kebaikan yang bisa mendatangkan pahala di sisi Allah SWT.

 

Keberkahan Ilmu

Oleh: Muhammad Rajab*

Dimuat di Harian Republika 22 Juli 2020

https://republika.co.id/berita/qdudcx5725000/keberkahan-ilmu

Pembelajaran di tahun ajaran baru resmi telah dimulai, walaupun sebagian besar masih dilakukan secara daring. Walaupun demikian tentu harapan kita semua adalah tidak menghilangkan keberkahan ilmu yang diajarkannya. Kata “berkah” berasal dari bahasa Arab “barakah” yang maknanya menurut Imam al-Ghazālī, ziyādah al-khair yakni bertambahnya nilai kebaikan. Ilmu yang berkah adalah ilmu yang memberikan nilai kemanfaatan dan kebaikan di dalamnya. Salah satu tandanya adalah ilmu tersebut diamalkan dan bermanfaat untuk dirinya dan orang lain serta mendatangkan kebaikan.

Oleh karena pentingnya keberkahan ilmu tersebut Imam al-Ghāzalī dalam kitabnya Ayyuhā al- Walad menasehatkan untuk para penuntut ilmu, “meskipun engkau menuntut ilmu serratus tahun, dan mengumpulkan (menghafalkan) seribu kitab engkau tidak akan bersiap sedia mendapatkan rahmat Allah kecuali dengan mengamalkannya. Sebagaimana firman Allah dalam al-Quran (QS. al-Najm: 39, al-Kahf: 110 dan 107-108, al-Taubah: 82, al-Furqān: 70) ”.

            Keberkahan ilmu harus dimulai dengan niat yang lurus dan benar. Demikian pesan Imam Az-Zarnūji (1981: 32) dalam kitab Ta’līm al-Mutallim Tharīq al-Ta’allum. Beliau mengatakan, selayaknya seorang penuntut ilmu meniatkannya untuk mencari keridhaan Allah SWT, mencari kehidupan akhirat, menghilangkan kebodohan dari dirinya sendiri dan orang-orang bodoh, menghidupkan agama dan melanggengkan Islam. Sebab kelanggengan Islam itu harus dengan ilmu, dan tidak sah kezuhudan dan ketakwaan yang didasari atas kebodohan.

            Selain niat, kebeberkahan ilmu ditentukan oleh sikap penuntut ilmu dan orang tuanya terhadap ilmu dan orang yang mengajarkan ilmu tersebut yaitu guru. Az-Zarnuji mengatakan:

“Ketahuilah, Seorang murid tidak akan memperoleh ilmu dan tidak akan dapat ilmu yang bermanfaat, kecuali ia mau mengagungkan ilmu, ahli ilmu, dan menghormati keagungan guru.”.

            Dalam tradisi keilmuan Islam, penghormatan (ta’dzīm) terhadap ustadz/guru benar-benar telah dipraktikkan. Dan ini menjadi kunci kejayaan peradaban Islam. Hal ini bisa kita lihat dari contoh-contoh yang telah ditunjukkan oleh orang-orang mulia. Misalnya, Sahabat Ali bin Abi Thalib, yang oleh Rasulullah SAW disebutkan sebagai “bab al ‘ilmi” atau pintu ilmu. Beliau mengatakan: “Saya menjadi hamba sahaya orang yang telah mengajariku satu huruf. Terserah padanya, saya mau dijual, di merdekakan ataupun tetap menjadi hambanya.”

Demikian pula dengan orang tua yang seharusnya memberikan penghormatan tinggi kepada para guru anak-anaknya.  Di masa keemasan Islam,  para orang tua sangat antusias menyekolahkan anak-anak mereka kepada para guru (ulama’). Mereka memberikan dukungan penuh disertai kepercayaan dan penghormatan tinggi kepada guru anak-anak mereka.

            As-Shalābī (2006: 117) menyebutkan dalam kitabnya, Fātih al-Qasthinthīniyah, al-Sulthān Muhammad al-Fātih, suatu ketika, guru Sang Sultan Syeikh Āq Syamsuddin masuk ke istana. Saat itu Muhammad al-Fatih sedang bermusyawarah dengan para pembesarnya. Melihat kedatangan gurunya, al-Fatih bangun dan menyambut gurunya dengan penuh hormat. Kemudian beliau berkata kepada perdana menteri Utsmaniyah, Mahmud Pasya, “perasaan hormatku kepada Syeikh Āq Syamsuddin sangat mendalam. Apabila orang-orang lain berada di sisiku tangan mereka akan bergetar. Sebaliknya apabila aku melihatnya (Syeikh Āq Syamsuddin) tangan aku yang bergetar.

 

Rabu, 18 November 2020

Transformasi Pesantren Menghadapi Era Globalisasi

Oleh: Muhammad Rajab*

Artikel ini dimuat di Harian Duta Masyarakat, 9 Desember 2020       

     Tidak dapat diragukan lagi bahwa pesantren telah banyak memberikan kontribusi dalam perjuangan dan peradaban bangsa Indonesia. Hal ini dapat dilihat kemunculan beberapa tokoh besar bangsa yang lahir dari rahim pesantren. Eksistensinya sebagai bagian utama dari sistem pendidikan Islam Indonesia telah membuktikan bahwa lembaga model seperti ini mampu memberikan warna perubahan bagi bangsa Indonesia.

            Dalam perjalanannya pesantren terus menunjukkan eksistensinya di tengah berbagai ancaman dan tantangan yang dihadapinya. Pasalnya pesantren tidak hanya mengajarkan ilmu pengetahuan dan kitab saja, tapi lebih dari itu lembaga yang satu ini menekankan pada pendidikan nilai (value education) dan adab. Di pesantren salaf (tradisional) pengajian adab menjadi prioritas utama (the first priority). Mereka harus mengkhatamkan kitab Ta’lim al-Muta’allim sebagai bekal supaya mereka benar-benar menghormati guru dan ilmu. Sebab kecintaan dan penghaormatan kepada guru ilmu dan guru menjadi kunci utama untuk mendapatkan kemanfaatan dari pada ilmu itu sendiri. Bagi mereka ilmu tanpa amal dan kemanfaatan yang jelas ibarat pohon yang tak berbuah.

Di era globalisasi ini pesantren dihadapkan pada tantangan baru dengan  munculnya kemajuan teknologi informasi dan komunikasi. Kemajuan ini telah menciptakan ruang baru yang kita kenal dengan istilah globalisasi. Kondisi masyarakat global (global viilage) sudah barang tentu memberikan dampak dan perubahan signifikan dalam pemikiran, budaya dan perilaku masyarakatnya. Ini memberikan tantangan tersendiri bagi pendidikan Islam secara umum dan pesantren secara khusus. Tantangan yang paling berat adalah hilangnya nilai-nilai kemanusian dan akhlaq al-karimah. Untuk menjawabnya, lembaga pendidikan berbasis pesantren perlu ditata kembali untuk melakukan transformasi sehingga mampu memberikan pemahaman tentang fungsi agama menjadi lebih jelas dan lebih berperan.

Pesantren dituntut untuk melakukan transformasi secara holistik agar tetap memiliki eksistensi yang kuat di tengah-tengah masayarakat global. Tentu dengan tetap menjaga nilai-nilai kepesantrenannya. Prinsip al muhafadzah ‘alal qadimisshalih wal akhdzu bil jadidil ashlah, menjaga tradisi pesantren yang sudah baik dan mengambil sesuatu yang baru yang lebih baik perlu diimplementasikan kembali. Hal ini sebagai pondasi awal dalam rangka melakukan perubahan ke arah yang lebih sempurna.

             Transformasi tersebut dapat diimplementasikan dalam berbagai macam aspek. Harapannya adalah pesantren mampu menjawab tantangan globalisasi serta sebagai wadah terhadap kebutuhan masyarakat kontemporer. Hal ini bisa dimulai dengan visi pesantren yang global sebagai manifestasi dari Islam yang rahmatan lil’alamin. Dari visi tersebut kemudian dapat diterjemahkan dalam sistem pendidikan yang ada di dalamnya, seperti sumber daya manusia (SDM), santri, manajemen, kurikulum, sistem pendanaan, jalinan kerjasama dan program-programnya. Ada istilah lain penting diperhatikan untuk melakukan tranformasi yaitu the universal principle (prinsip-prinsip universal) yang terdiri dari tiga komponen utama. Tiga tersebut adalah Human Potencial Development (HPD), Curriculum (kurikulum) dan Material (kebutuhan materi dan sarpras).   

Untuk melakukan peningkatkan mutu dan kualitas pesantren tentu dibutuhkan refleksi dan evaluasi terhadap pendidikan pesantren secara menyeluruh (holistic) dengan mengacu pada tiga komponen di atas. Human Potencial Development (HPD) yang meliputi semua orang yang menggerakkan pesantren tersebut apakah sudah benar-benar mempunyai kompetensi yang sesuai dengan bidangnya masing-masing.  Guru misalnya sekarang tidak cukup hanya dengan kemampuan pedagogik saja tapi juga harus mempunyai kecakapan teknologi. Setidaknya guru harus mampu mempunyai  minimal lima skill yaitu teaching, training, practicing, coaching, dan mentoring. Lebih dari itu, guru dituntut untuk menjadi contoh (uswah) dan inspirasi kebaikan bagi para santri. Sebab ini adalah ruh yang akan menggerakkan jiwa dan perilaku anak didiknya. Ada sebuah pepatah Arab memangatakan, al-thariqah ahammu minal madah, wal mudarrisu ahammu minat thoriqah, wa ruhul mudarris ahammu minal mudarris nafsuhu. Artinya metode itu lebih penting dari pada materi pembelajaran, guru itu lebih penting dari metode tersebut, dan ruh seorang guru jauh lebih penting daripada guru itu sendiri.

            Prinsip kedua adalah Curriculum (kurikulum) yang meliputi segala bentuk program dan rancangan pembelajaran yang ada di dalam pesantren. Kurikulum harus didesain secara holistik yang memadukan tiga konsep dasar pendidikan, tarbiyah ruhiyah, tarbiyah aqliyah dan tarbiyah jasadiyah. Pemahaman kurikulum klasik yang menitikberakan pada aspek pelajaran di kelas perlu direkontruksi dalam bentuk yang lebih kreatif dan bermakna (meaningful). Kurikulum mencakup semua aspek program dan kegiatan, misalnya ada core curriculum (kurikulum inti), co curriculum dan extra curriculum. Co curriculum contohnya kegiatan enrichment seperti olahraga dan seni yang bisa melatih hard and soft skill anak didik. extra curriculum contohnya kegiatan sosial kemasyarakatan yang bisa menumbuhkan jiwa empati dan kepedulian sosial anak.

 Prinsip ketiga adalah material yang meliputi penyiapan infrastruktur harus memadai dan mendukung proses pendidikan. Infrastruktur terdiri atas dua elemen, yaitu hardware (perangkat keras) dan pendanaan. Dalam konteks ini, hardware merupakan fasilitas fisik yang menunjang proses penyelenggaraan pendidikan. Fasilitas ini mencakup masjid, gedung, laboratorium, perpustakaan, kendaraan sekolah, hingga ruang kelas. Kelengkapan fasilitas dalam sebuah lembaga menjadi salah satu kunci untuk menyelenggarakan pembelajaran yang berkualitas dan optimal. Adapun pendanaan lembaga haruslah memiliki komponen pendanaan yang kuat untuk menggerakkan semua lini. Namun, pendanaan ini tidaklah semata-mata bisa didapatkan dari pembayaran biaya pesantren. Pendanaan bisa diperoleh dari unit bisnis, investasi, hingga charity.

Semua bentuk transformasi tersebut perlu didukung dengan modal kepemimpinan yang baik serta manajemen yang kuat. Maka peran pemimpin pesantren sebagai komandan utama dalam melakukan perubahan tersebut sangat besar. Dengan ini, pesantren diharapkan mampu lebih jauh lagi mengambil peran strategis dalam menyiapkan generasi yang kuat. Kuat secara mental spiritual, moral, adab dan akhlak serta mempunyai wawasan luas dan keterampilan yang mumpuni  sehingga bisa terus eksis dan bersaing di tengah arus globaliasi.

*Penulis adalah

Director of Ma’had and Islamic Studies, Pesantren Tazkia International Islamic Boarding School Malang