Senin, 07 Desember 2009

MENGAPA PIRANTI KOGNITIF TIDAK BISA DIGUNAKAN SAAT UJIAN?


Tugas Media Pembelajaran Tarbiyah 2007
Oleh: Muhammad Rajab
nim : 07110037
Piranti kognitif merupakan satu alat yang dapat membantu kelancaran proses belajar siswa di sekolah. Misalnya seperi kalkulator, internet, kamus dan lain sebagainya. Namun yang menjadi permasalahan adalah kenapa piranti kognitif tersebut ketika ujian tidak boleh digunakan?
Alasan sebagian pengajar atau guru dan penguji adalah untuk menguji kemampuan kognitif siswa. Alasan ini sudah umum disampaikan oleh para guru. Bahkan di Universitas pun hal ini terjadi. Mungkin di satu sisi bias dibenarkan, karena hal itu benar-benar untuk menguji otak siswa tanpa alat bantu. Yang pada intinya lebih mengandalkan pada hafalan.
Pada hakekatnya memang evalusi dalam pembelajaran sangat penting. segala sesuatu yang di lakukan pasti mempunyai tujuan dan fungsi yang akan di capai, pastinya semua aktifitas tidak ingin hasilnya sia-sia, begitupun dengan evaluasi, ada tujuan dan fungsi yang ingin di capai, Evaluasi telah memegang peranan penting dalam pendidikan antara lain memberi informasi yang dipakai sebagai dasar untuk :
 Membuat kebijaksanaan dan keputusan
 Menilai hasil yang dicapai para pelajar
 Menilai kurikulum
 Memberi kepercayaan kepada sekolah
 Memonitor dana yang telah diberikan
 Memperbaiki materi dan program pendidikan
Dr. Muchtar Buchori Mengemukakan bahwa tujuan khusus evaluasi pendidikan ada dua yaitu :
 Untuk mengetahui kemajuan peserta didik setelah ia mengalami pendidikan selam jangka waktu tertentu
 Untuk mengetahui tingkat efisiensi metode-metode pendidikan yang dipergunakan pendidik selam jangka waktu tertentu tadi.


Fungsi evaluasi bagi siswa
Bagi siswa, evaluasi digunakan untuk mengukur pencapaian keberhasilannya dalam mengikuti pelajaran yang telah diberikan oleh guru. Dalam hal ini ada dua kemungkinan :
a. Hasil bagi siswa yang memuaskan
Jika siswa memperoleh hasil yang emuaskan, tentunya kepuasan ini ingin diperolehnya kembali pada waktu yang akan datang. Untuk ini siswa akan termotifasi untuk belajar lebih giat agar perolehannya sama bahkan meningkat pada masa yang akan datang. Namun, dapat pula terjadi sebaliknya, setelah memperoleh hasil yang memuaskan siswa tidak rajin belajar sehingga pada waktu berikutnya hasilnya menurun.
b. Hasil bagi siswa yang tidak memuaskan
Jika siswa memperoleh hasil yang tidak memuaskan, maka pada kesempatan yang akan datang dia akan berusaha memperbaikinya. Oleh karena itu, siswa akan giat belajar. Tetapi bagi siswa yang kurang motivasi atau lemah kemauannya akan menjadi putus asa

Fungsi evaluasi bagi guru
 Dapat mengetahui siswa manakah yang menguasai pelajran dan siswa mana pula yang belum. Dalam hal ini hendaknya guru memberikan perhatian kepada siswa yang belum berhasil sehingga pada akhirnya siswa mencapai keberhasilan yang diharapkan.
 Dapat mengetahui apakah tujuan dan materi pelajaran yang telah disampaikan itu dikuasai oleh siswa atau belum.
 Dapat mengetahui ketepatan metode yang digunakan dalam menyajikan bahan pelajaran tersebut.
 Bila dari hasil evaluasi itu tidak berhasil, maka dapat dijadikan bahan remidial. Jadi, evaluasi dapat dijadikan umpan balik pengajaran.
Dengan demikian, wajar kalau piranti kognitif tidak diperbolehkan digunakan ketika ujian. Sebab, dengan itu guru atau sekolah berharap benar-benar ingin mengetahui kemampuan siswa secara kognitif. Akan tetapi yang menjadi permasalahan adalah evaluasi semacam ini hanya akan menyentuh aspek kognitif saja, padahal pilar-pilar pendidikan menurut Bloom adalah kognitif, afekti, dan psikomotorik. Hal ini juga telah dijelaskan dalam Undang-Undang Sikdisnas No. 20 tahun 2003.

Senin, 23 November 2009

ISLAM PEWARIS SAINS MODERN


Judul buku : Ilmuwan-Ilmuwan Muslim Pelopor Hebat di Bidang Sains Modern
Penulis : Ehsan Masood
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
Cetakan pertama : 2009
Tebal : 183 halaman

Oleh: Muhammad Rajab*
Dimuat di Harian Malang Post, 15 November 2009

Islam di abad pertengahan mengalami kemajuan peradaban yang luar biasa. Sehingga dapat dikatakan zaman tersebut adalah zaman keemasan Islam. Pasalnya, Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi saat itu menjadi kebanggaan umat Islam seluruh dunia. Bahkan tokoh Barat pun mengakui akan kemajuan peradaban Islam saat itu.
Salah satu pengakuan tersebut disampaikan oleh Pangeran Charles dalam pidatonya di Oxford University, 27 Oktober 1993. Dia mengatakan, “bila ada banyak kesalahpahaman di dunia Barat tentang hakikat Islam, maka banyak juga ketidaktahuan tentang utang kebudayaan dan peradaban kita kepada dunia Islam. Saya rasa ini adalah kegagalan yang berakar dari ditutupnya sejarah yang kita warisi selama ini”. (halaman 1)
Warisan sains Islam zaman pertengahan yang paling dikenal hingga saat ini sistem angka Arab. Sistem Angka yang juga digunakan di negara-negara barat ini mengalahkan sistem angka Romawi. Namun buku yang ditulis oleh Ehsan Masood ini menunjukkan bahwa sains Islam jauh lebih hebat dari hanya sistem Angka, dan bahkan sangat berpengaruh sehingga menjadi dasar sains Eropa Barat yang muncul belakangan.
Al-Khawarizmi, Ibnu Sina, Al-Zarqali, dan masih banyak lagi ilmuwan muslim lainnya begitu terkenal di dunia ilmiyah Eropa karena karena karya-karya mereka menjadi acuan sains Eropa. Buku al-Qanun Fi al-Thibb karya Ibnu Sina menjadi standar sejumlah universitas di Eropa selama berabad-abad. Buku al-Kitab al-Mukhtasar Fi Hisab al-Jabr Wal Muqabala karya Al-Khawarizmi menjadi dasar aljabar modern.
Dalam buku yang berjudul Science and Islam A Histoy oleh Ehsan Masood yang diterjemahkan menjadi Ilmuwan-Ilmuwan Muslim Pelopor Hebat di Bidang Sains Modern ini memperlihatkan mengapa imperium Islam berhasil memajukan sains sehingga menghasilkan karya-karya yang menakjubkan bahkan untuk ukuran masa kini. Dan lewat buku ini pula kita bisa mengetahui bahwa keyakinan agama dan ajaran agama bisa menjadi pendorong kemajuan sains Islam dalam banyak disiplin Ilmu.
Penulis buku ini memandang bahwa kemajuan Islam saat itu dipengaruhi oleh pandangan umat Islam terhadap sains modern. Yang mana ketika itu Islam mempunyai hubungan yang erat dengan sains modern. Kebutuhan agamalah yang telah membantu perkembangan pengetahuan yang baru. Dan saat berbagai sains mulai berkembang, para pemuka agamalah yang mendorong para ilmuwan pertama untuk menggunakan standar yang sama untuk membuktikan keabsahan hasil karya ilmiyahnya.
Hal ini kemudian dibuktikan dengan kemajuan Islam yang dahsyat saat itu dalam bidang sains modern yang saat ini banyak dikembangkan oleh Barat. Sebagai contoh adalah ahli fisika yang tinggal di Kairo bernama Ibnu al-Nafis telah menemukan sirkulasi paru-paru, pada abad ke-13. Insinyur Andalusia Abbas bin Firnas telah menemukan teori penerbangan dan diyakini telah melakukan percobaan terbang yang sukses enam abad sebelum Leonardo menciptakan ornitopternya yang terkenal. Dan di Kufah, Irak, Jabir bin Hayyan (dilatinkan menjadi Geber) adalah seorang yang meletakkan dasar-dasar ilmu kimia sekitar 900 tahun sebelum Boyle.
Lalu ada juga Hasan Ibnu al-Haitsam ahli fisika eksperimental abad ke-11 yang memperbaharui pemahaman kita mengenai indera penglihatan dan diakui menjadi pelopor penciptaan alat penangkap gambar (camera obscura) selain menulis dan meneliti pergerakan planet.
Selain itu, dalam buku yang diterjemahkan oleh Fahmy Yamani ini kita juga akan bertemu dengan para pelindung atau yang mendorong para ilmuwan tersebut untuk berkarya. Kalifah dan gubernur seperti Al-Ma’mun dan Dinasti Abbasiyah Sunni dan Al-Hakim dari Dinasti Fatimiyah Syi’ah yang memerintah Kairo mulai tahun 996 samapai 1021 M. Dan masih banyak lagi penguasa yang memperkerjakan para penasehat sains pribadi, membangun perpustakaan dan observatorium dan bahkan secara langsung mengambil bagian dalam berbagai percobaan sains.
Tenryata tidak hanya di bidang sains Islam berkembang saat itu, Islam juga mengalami kemajuan dalam hal pemikiran yang semuanya sebenarnya memberikan pengaruh terhadap pemikian umat Islam sehingga umat Islam bisa maju di berbagai aspek. Misalnya, muncul pemikir dan ahli agama bernama Abu Hamid Al-Gazali yang menulis polemik sangat terkenal, Tahafut al-Falasifah (Kerancuan Para Filsuf). Dan banyak lagi pemikir Islam seperi Ibnu Rusyd, Alfarabi, Ibnu Khaldun dan lain sebagainya.
Buku yang ditulis oleh Ehsan Masood ini hakekatnya membongkar hutang Barat terhadap dunia Islam yang berupa sains modern. Pasalnya, pasca perang Salib buku-buku umat Islam dihancurleburkan oleh kaum Kristiani kemudian mereka mengambil buku-buku yang terkait dengan ilmu pengetahuan dan sains dan dikembangkan di dunia Eropa.
Selain itu, buku ini juga berusaha memberi pencerahan kepada umat Islam sekarang, bahwa Islam sebenarnya sangat akrab dengan ilmu pengetahuan. Pasalnya, umat Islam saat ini banyak yang memandang sebelah mata terhadap ilmu pengetahuan dan sains modern. Mereka lebih senang kalau hanya berdiam diri di masjid beribadah kepada Allah daripada melakukan penelitian-penelitian yang memberikan pencerahan kepada seluruh manusia. Padahal ibadah tidak hanya diam di masjid, melakukan penelitian pun yang dilakukan untuk kepentingan masyarakat termasuk dari bagian ibadah.
Menariknya, buku yang menjelaskan gambaran keemasan imperium Islam abad pertengahan ini disertai denga bukti-bukti gambar atau foto sejarah yang menjadi penguat pembahasannya. Dan Pembaca akan lebih dalam lagi mengetahui akan kejayaan Islam dengan menelaah buku ini secara komprehensip. Sehingga, sudah selayaknya buku ini menjadi konsumsi umat Islam sekarang, baik dari kalangan akademisi atau masyarakat luas.

*Peresensi adalah
Peneliti di Pusat Studi Islam FORSIFA Universitas Muhammadiyah Malang

Kamis, 05 November 2009

SYAIR KHALIL GIBRAN

"...pabila cinta memanggilmu... ikutilah dia walau jalannya berliku-liku... Dan, pabila sayapnya merangkummu... pasrahlah serta menyerah, walau pedang tersembunyi di sela sayap itu melukaimu..." (Kahlil Gibran)

"...kuhancurkan tulang-tulangku, tetapi aku tidak membuangnya sampai aku mendengar suara cinta memanggilku dan melihat jiwaku siap untuk berpetualang" (Kahlil Gibran)

"Tubuh mempunyai keinginan yang tidak kita ketahui. Mereka dipisahkan karena alasan duniawi dan dipisahkan di ujung bumi. Namun jiwa tetap ada di tangan cinta... terus hidup... sampai kematian datang dan menyeret mereka kepada Tuhan..." (Kahlil Gibran)

"Jangan menangis, Kekasihku... Janganlah menangis dan berbahagialah, karena kita diikat bersama dalam cinta. Hanya dengan cinta yang indah... kita dapat bertahan terhadap derita kemiskinan, pahitnya kesedihan, dan duka perpisahan" (Kahlil Gibran)
"Aku ingin mencintaimu dengan sederhana... seperti kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu... Aku ingin mencintaimu dengan sederhana... seperti isyarat yang tak sempat dikirimkan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada..." (Kahlil Gibran)
"Jika cinta tidak dapat mengembalikan engkau kepadaku dalam kehidupan ini... pastilah cinta akan menyatukan kita dalam kehidupan yang akan datang" (Kahlil Gibran)

"Apa yang telah kucintai laksana seorang anak kini tak henti-hentinya aku mencintai... Dan, apa yang kucintai kini... akan kucintai sampai akhir hidupku, karena cinta ialah semua yang dapat kucapai... dan tak ada yang akan mencabut diriku dari padanya" (Kahlil Gibran)

"Kemarin aku sendirian di dunia ini, kekasih; dan kesendirianku... sebengis kematian... Kemarin diriku adalah sepatah kata yang tak bersuara..., di dalam pikiran malam. Hari ini... aku menjelma menjadi sebuah nyanyian menyenangkan di atas lidah hari. Dan, ini berlangsung dalam semenit dari sang waktu yang melahirkan sekilasan pandang, sepatah kata, sebuah desakan dan... sekecup ciuman" (Kahlil Gibran)

“KITAB KUNING” BERBICARA SEKS


Judul buku : Fiqh Seksualitas; Panduan Islam dalam Berhubungan Intim Menurut
Kitab Kuning
Penulis : Abdul Wahid Shomad
Penerbit : Insan Madani
Cetakan : Agustus 2009
Tebal : 222 halaman

Oleh: Muhammad Rajab*

Buku yang ditulis oleh Abdul Wahid Shomad ini merupakan sebuah jawaban terhadap perkembangan permasalahan kehidupan, khususnya dalam bidang seksualitas. Penulis di sini lebih memaknai seks bukan hanya pada hubungan intim suami isteri saja, akan tetapi lebih pada bagaimana hubungan antara dua gender yang berbeda yakni antara laki-laki dan perempuan pra dan pasca menikah.
“Kitab kuning” yang selama ini diidentikkan dengan pembahasan masalah-masalah klasik, seperti ritualitas seorang hamba dalam hubungannya dengan Tuhan-Nya, ternyata anggapan tersebut tidak bisa dikatakan benar secara utuh. Pasalnya, “kitab kuning” juga ternyata berbicara tentang hubungan seseorang dengan lawan jenis. Buku ini berusaha mengungkap sebuah data yang didapat melalui kajian pustaka oleh penulis tentang pandangan “kitab kuning” tentang seks.
Permasalahan seks merupakan sebuah permasalahan yang sekarang menjadi hangat di telinga masyarakat. Pasalnya, Indonesia sering kali dihadapkan dengan kasus-kasus perilaku asusila yang dilakukan pra nikah oleh para remaja. Free sex sudah menjadi hal yang tidak asing lagi di tengah-tengah mereka.
Salah satu yang menjadi pembahasan buku ini adalah bagaimana idealnya hubungan seseorang pra nikah. Kaitannya dengan pacaran maka buku ini memandang bahwa pacaran bisa boleh dan bisa juga tidak boleh, bergantung pada bagaimana seseorang memaknai pacaran. Kalau pacaran dimaknai hanya dengan ungkapan cinta atau kasih sayang tanpa melakukan tindakan-tindakan yang melanggar aturan agama, seperti pegangan tangan, berpelukan dan semacamnya, maka pacaran dalam konteks ini boleh-boleh saja. Akan tetapi jika pacaran dimaknai atau dilaksanakan dalam bentuk luapan cinta yang diungkapkan melalui pegangan tangan, ciuman, pelukan, atau bahkan hubungan seksual (intim) maka yang demikian itu adalah yang tidak diharamkan.
Sebelum melakukan ikatan pernikahan, Islam menganjurkan para pemeluknya untuk melihat (nadhar) terhadap calon pasangannya. Seorang laki-laki yang hendak ingin menikah dengan wanita, maka laki-laki tersebut dianjurkan untuk melihat si wanita calonnya tersebut. Walaupun batasan melihat di sini terdapat banyak perbedaan pendapat.
Bagi laki-laki yang sudah siap untuk melakukan pernikahan, maka Islam sangat menganjurkannya untuk segera menikah. Pasalnya, hal itu akan dapat membentengi dirinya dari perbuatan zina. Dalam hal ini penulis buku ini mengklasisfikasikan zina itu ada dua macam, yaitu zina kering dan zina basah. Zina kering adalah perbutan zina yang dilakukan oleh seseorang melalui pandangan anggota badannya selain dengan kehormatannya. Sedangkan zina basah adalah zina yang dilakukan dengan hubungan intim sebelum melakukan ikatan pernikahan.
Ulama mengklasifikan hukum nikah kepada beberapa bagian. Nikah bisa menjadi wajib, sunnah, makruh atau bahkan haram, tergantung pada kondisi seseorang tersebut. Namun, pada dasarnya hukum nikah adalah mubah (boleh). Menurut Prof. Dr. Muhammad Abu Zahroh, mubah adalah sesuatu yag pada asalnya tidak berkonsekuensi pahala atau dosa bila dikerjakan atau tidak dikerjakan. Akan tetapi kembali ke awal, jika dilihat dari aspek eksternal nikah bisa berubah hukum seperti di atas.
Terlepas dari beberapa hukum nikah di atas, ada beberapa hikmah atau manfaat yang bisa diambil dari adanya ikatan pernikahan. Secara umum hikmah menikah adalah melestarikan bumi (regenerasi manusia), dalam Islam regenerasi manusia harus diwujudkan melalui pernikahan. Namun secara khusus hikmah menikah menurut Abdul Wahid adalah pertama, meningkatkan populasi manusia yang akan mempermudah proses pemenuhan kebutuhan hidup dan pembangunan di muka bumi dengan semangat kebersamaan hidup.
Kedua, untuk mempermudah pembangunan dan pelestarian planet bumi, karena menikah manusia dapat berkembang biak. Ketiga, Mempermudah dalam mengatur kehidupan keluarga yang merupakan asal dari kehidupan masyarakat di seluruh dunia. Keempat, Membantu manusia dalam memenuhi kebutuhan biologisnya, agar bisa berbagi rasa menumpahkan rasa cinta bersama lawan jenisnya. Kelima, Menjaga keturunan manusia, yang di dalamnya juga menjaga hak waris karena agama tidak suka jika ada orang yang tidak diketahui keturunan atau asal usulnya. (halaman 59)
Buku Fiqh Seksualitas; Panduan Hubungan Islam dalam Berhubungan Intim Menurut Kitab Kuning ini juga tak hanya membahas hubungan antarlawan jenis pra nikah. Akan tetapi lebih detail lagi menjelaskan tentang huungan suami-isteri. Aspek seksualitas merupakan sorotan utama buku ini dalam menjalankan hubungan rumah tangga. Tentunya yang dijelaskan di sini adalah prespektif Islam.
Misalnya, buku ini memandang bahwa hubungan seksual (hubungan intim) antara suami isteri merupakan salah satu bagian yang menjadikan hubungan suami isteri tersebut harmonis. Pasalnya, banyak perselingkuhan terjadi hanya gara-gara tidak mendapatkan kenyamanan di antara suami isteri.
Ada juga pembahasan penting yang mungkin ini sebagai bentuk tambahan wawasan bagi para pembaca yaitu hukum nikah beda agama. Buku ini menyajikan perbedaan pendapat para ulama, baik ulama klasik maupun ulama kontemporer tentang nikah beda agama. Untuk lebih konprehensif dalam memhami permasalahan-permasalahan di atas, Anda bisa membaca buku ini lebih mendalam. Yang pada intinya buku ini mengajak kita untuk memahami bahwa ternyata Islam mengatur semua aspek kehidupan, termasuk di dalamnya masalah seks. Sehingga buku ini sangat cocok untuk dibaca oleh setiap kalangan, khususnya bagi mereka yang ingin menjalankan hubungan rumah tangga.

*Peresensi adalah
Peneliti pada Pusat Studi Islam (FORSIFA) dan
Kabid Keilmuan IMM FAI Unmuh Malang

Senin, 02 November 2009

CARA BUAT POWER POINT YANG BAIK


Membuat power point dalam presentasi harus menarik, tipsnya adalah:
1. Buka power powint dengan mengklik STAR + MICROSOF OFFICE + MICROSOF POWER POINT
2. Membuat slide dalam power point yang variatif dan tidak monotone
3. Menambah gambar-gambar yang sesuai dengan tema yang akan dipresentasikan
4. Menandai kata-kata penting dengan menggunakan warna yang berbeda dengan warna tulisan lainnya, atau dengan memblok atau huruf kapital sendiri. Intinya dibedakan dari bentuk tulisan yang lain.
5. Menambah dengan musik yang sesuai dengan tema yang disampaikan
6. kalau perlu beri hiburan-hiburan seperti film klib yang bisa menyegarkan suasana dalam presentasi.

Minggu, 01 November 2009

PENDIDIKAN DAN EKONOMI BANGSA


Oleh: Muhammad Rajab*
Profesor Toshiko Konisuta, guru besar Waseda Unibersity Jepang, dalam suatu kesempatan bergengsi mengemukaakan, bahwa sember daya manusia (SDM) Indonesia sangat lemah untuk mendukung perkembangan ekonomi dan indutri. Hal ini disebabkan karena pendidikan tidak diletakkan sebagai panglima. Selama ini dari para polikus dan masyarakat awam hanya berorentasi untuk memperkaya diri sendiri dan tidak pernah berpikir panjang. (Sismono: 2006)
Kritikan tersebut tak mungkin dikemukakan tanpa sebab yang jelas. Karena pada kenyataannya Indonesia benar-benar mengalami krisis multidimensional. Krisis yang sudah bertahun-tahun menggerogoti bangsa. Yang berawal dari krisis moneter hingga akhirnya menjalar ke seluruh aspek kehidupan bangsa Indonesia. Bahkan krisis moral pun sudah mulai merajalela di berbagai penjuru Indonesia.
Padahal Indonesia terkenal dengan kekayaan sumber daya alam (SDA). Akan tetapi hal itu menjadi percuma jika Indonesia tidak mempunyai SDM yang bagus dan mumpuni. Sebab untuk mengelola SDA yang ada tersebut dibutuhkan manusia yang benar-benar kompeten dan professional dan mempunyai kemampuan yang mantap. Sementara SDM yang ada di Indonesia saat ini sangat lemah.
Maka jika ada yang bertanya, di manakah letak kekuatan suatu bangsa?. Maka tak salah jika sebagian ada yang mengatakan, kekuatan terbesar terletak pada kualitas SDM nya. Khususnya di era globalisasi yang selalu penuh dengan persaingan antarnegara. Karena saat itu wilayah bukanlah pembatas seseorang untuk mengakses berbagai macam informasi dan semua mempunyai kebebasan untuk mengembangkan potensi dirinya di manapun berada.
Indonesia selama ini masih terbelakang di beberapa bidang di berbagai Negara. Lihatlah laporan Human Development Index (HDI) Indonesia yang dibuat oleh United Nation Development Programme (UNDP) tahun 2005 yang dikutip Sismono, Indonesia ditempatkan pada peringkat 110 dari 177 negara, di bawah Vietnam, Filipina, Thailand, Malaysia, Brunai dan Singapore yang sesame Negara ASEAN. Vietnam berada di urutan 108, Filipina urutan ke-84, Thailand urutan ke-73, Malaysia urutan ke-61, Brunai Darussalam urutan ke-33, dan Singapore urutan ke-25.
Data HDI ini diukur dari indeks pendidikan, indeks kesehatan dan indeks perekonomian. Artinya bahwa faktor pendidikan menjadi faktor tepenting yang menentukan HDI Indonesia. Memang benar pendidikan di Indonesia sangat memprihatinkan. Misalnya data Depdiknas tahun 2005 tentang angka putus sekolah yang mencapai 1.122.742 anak dan angka buta aksara di Indonesia mencapai 15.414.211 orang.
Data di atas menunjukkan akan lemahnya pendidikan Indonesia. Yang jelas hal itu akan membawa pengaruh terhadap peradaban bangsa Indonesia itu sendiri, khususnya dalam perubahan moral sosial dan ekonomi masyarakatnya. Menurut Arifin (2007), pendidikan merupakan faktor yang paling efektif untuk perubahan sosial manakala pendidikan masyarakat tersebut ditingkatkan, diefektifkan, dikonstruksi dengan baik. John Dewey juga mengungkapkan hal yang sama, pendidikan adalah metode fundamental untuk memajukan dan memperbarui masyarakat.

Penentu ekonomi
Bukan berarti orang yang berijazah tinggi di sini akan memperoleh ekonomi yang layak. Akan tetapi yang dimaksud pendidikan di sini, pendidikan yang bermakna luas, baik pendidikan formal, non formal maupun informal dan bukan hanya terbatas pada pendidikan di sekolah. Hal ini memang perlu dipahamkan kepada masyarakat, karena selama ini banyak orang yang menganggap pendidikan hanya terbatas pada pendidikan formal di sekolah saja. Padahal pendidikan formal tidak terlalu signifikan dalam menentukan tarif ekonomi yang layak ketika sudah kerja.
Kebanyakan masyarakat yang sukses dalam memnempuh kariernya dalam bisnis adalah mereka yang benar-benar banyak memanfaatkan waktu luangnya untuk belajar di luar sekolah. Sebab, untuk membangun ekonomi yang baik tidak terlalu mengandalkan kecerdasan intelgensi (IQ), akan tetapi lebih banyak pada kecerdasan emosionalnya (EQ).
Dalam teori pendidikan juga disebutkan bahwa ranah pendidikan bukan hanya pada pengembangan IQ saja. Seperti yang diungkapkan oleh Bloom, bahwa ada tiga ranah yang perlu dicapai oleh pendidik, yaitu kognitif, afektif dan psikomotorik. Teori yang sama juga dikatakan oleh Ary Ginanjar, ada tiga kecerdasan manusia yang perlu dikembangkan dan masing-masing mempunyai peran yang signifikan dalam pengembangan potensi dirinya, yaitu kecerdasan intelektual (IQ), kecerdasan emosional (EQ) dan kecerdasan spiritual (SQ).
Dalam dunia kerja, kecerdasan IQ bukanlah andalan satu-satunya yang dibutuhkan. Akan tetapi lebih pada penkeanan kecerdasan emosional dan spiritualnya. Dalam hal ini seseorang dituntut untuk mempunyai pengalaman yang banyak dalam hal bisnis (berdagang) demi membangun ekonomi yang layak di masa depan.
Menurut Djohar (dalam Jamila: 2007) bahwa berdasarkan penelitian, pendidikan selama ini baru berada pada taraf pengembangan kemmpuan kognitif, yang sifatnya mengembangan fungsi reproduktif. Pendidikan belum mampu membangun etos kerja, jati diri dan percaya diri, untuk menghadapi masalah-masalah yang nyata di masayakat.
Hal ini juga terbukti dengan adanya Ujian Akhir Nasional (UAN) yang mengedepakan nilai-nilai nominal (angka) yang tertulis di atas kertas saja. Kelulusan siswa ditentukan oleh tinggi rendahnya nilai ujian akhirnya. Padahal ujian yang demikian hanya menyentuh aspek kognitifnya saja. Ironis lagi, tak jarang ditemukan kecurangan-kecurangan dalam mengerjakan soal-soal UAN, misalnya guru memberikan jawaban kepada siswanya. Yang demikian itu tentunya dapat merusak nilai-nilai kemandirian siswa dalam enyelesaikan sebuah masalah, sehingga pada akhirnya dapat berefek pada masa depan siswanya, khususnya dalam ekonomi.
Untuk membangun ekonomi yang baik di masa depan, saat ini bangsa membutuhkan pendidikan kemandirian. Dengan pendidikan kemandirian terhadap siswa diharapkan di masa depan ia tidak bergantung kepada orang lain dalam menyelesaikan suatu masalah dan dalam mengembangan kualitas ekonomi bangsa. Sehingga potensi SDA Indonesia yang melimpah tidak disia-siakan dan diberikan kepada orang lain (orang asing). Dan pemerintah seharusnya lebih memperhatikan kembali pendidikan bangsa, dan mempioritaskan pendidikan di antara aspek-aspek yang lain, karena pendidikan adalah penentu kualitas ekonomi di masa depan.

*Penulis,
Jurnalis Koran Bestari Unmuh Malang

TKI DAN PELUANG KERJA DALAM NEGERI


Oleh: Muhammad Rajab*

Kasus kekerasan terhadap tenaga kerja wanita (TKW) Indonesia kini terjadi lagi. Kekerasan kali ini menimpa Modesta Rengga Kaka yang diiris telinganya dan bahkan gajinya selama 19 bulan belum dibayarkanTKW. Padahal belum satu bulan kasus serupa menimpa Siti Hajar asal Limbang Barat RT 02/05, Limbangan Garut Jawa Barat. Kekerasan yang dilakukan oleh majikan Siti Hajar, Michelle di Lanai Kiara Condominium, Jl Kiara 3 Bukit Kiara Kuala Lumpur tersebut sudah berkali-kali, kebetulan baru terungkap sekarang. Menurut pengakuan Siti, ia bekerja untuk majikannya itu sejak 2 Juli 2006 dan tidak digaji sehingga pada Senin (8/6) dini hari ia melarikan diri dari majikannya dengan menumpang taksi dan minta diantar ke Kedutaan Besar RI setelah sempat bersembunyi di pepohonan di dekat kondominium.
Kasus kekerasan di atas merupakan salah satu contoh penganiayaan yang dilakukan oleh para majikan TKI kita di luar Negeri. Belum lagi kekerasan yang dilakuakan oleh majikan TKI di luar negara Malaysia, seperi Arab Saudi dan lainnya. Lain halnya dengan kekerasan terhadap TKI yang belum terungkap, karena tidak menutup kemungkinan masih banyak kasus kekerasan yang belum terungkap. Hal ini melihat banyaknya TKI Indonesia yang ada di luar. Misalkan saja, di Malaysia jumlah tenaga kerja asing yang bekerja di Malaysia tercatat 1,8 juta orang. Sementara 60 persen atau 1,2 juta orang berasal dari Indonesia. Sedangkan jumlah TKI di Saudi Arabia pada tahun 2007 sebanyak 626.895 orang dan 2,55% di antaranya bekerja di sektor formal sedangkan pada 2008 jumlah TKI formal telah naik menjadi 4,52%.
Coba sekarang kita sebagai bangsa Indonesia introspeksi diri, kenapa warga kita lari keluar negeri hanya untuk mencari pekerjaan, apalagi pekerjaannya hanya sebagai kuli bangunan atau sebagai pembantu rumah tangga saja?. Pertanyaan ini selayaknya direnungkan oleh kita, khususnya para pemimpin negeri ini.
Setidaknya ada beberapa hal penting menurut saya kenapa warga Indonesia lari ke luar negeri hanya untuk mendapatkan pekerjaan. Pertama, minimnya lapangan kerja yang ada. Hal ini terlihat dari besarnya angka pengangguran di Indonesia. Ironisnya, pengangguran di Indonesia sudah menjadi ancaman di ASEAN, di mana kontribusi Indonesia pada angka pengangguran di wilayah itu sudah mencapai 60%. Bayangkan, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat pengangguran terbuka di Indonesia pada Februari 2009 mencapai 9,26 juta atau 8,14 persen dari total angkatan kerja.
Adapun jumlah angkatan kerja di Indonesia pada Februari 2009 mencapai 113,74 juta orang, bertambah 1,79 juta orang dibanding Agustus 2008 yang mencapai 111,95 juta orang, sedangkan dibanding Februari 2008 bertambah 2,26 juta. Sementara, penduduk yang bekerja mencapai 104,49 juta orang, bertambah 1,94 juta orang dibanding Agustus 2008, atau bertambah 2,44 juta orang dibanding setahun sebelumnya 102,05 juta orang.
Kedua, Upah (gaji) yang diberikan kepada pekerja atau karyawan di perusahaan sangat sedikit, khususnya kepada kaum buruh. Hal ini juga yang memicu pelarian warga Indonesia untuk bekerja di luar negeri sebagai TKI. Pasalnya, gaji di Indonesia untuk karyawan lebih sedikit dibandingkan dengan gaji yang ada di luar negeri. Apalagi melihat harga-harga bahan pokok semakin melonjak tinggi.
Kita seharusnya merasa malu kepada bangsa asing khususnya negeri Jiran Malaysia, karena di Indonesia sumber daya alam (SDA) sangat melimpah. Tapi mengapa lapangan kerja sangat sedikit, dan kenapa warga Indonesia lari ke Malaysia untuk mencari pekerjaan. Hal ini tentu menunjukkan akan lemahnya SDM Indonesia, sehingga tidak bisa mengelola kekayaan alamnya sendiri.
Kelemahan ini bertahun-tahun kurang disadari oleh bangsa Indonesia, hingga akhirnya banyak dampak negatif yang terjadi terhadap warga negara Indonesia, khususnya yang ada di luar negeri sebagai TKI. Mereka mendapatkan perlakuan yang tidak manusiawi dari penduduk negeri asing, seperti pemukulan, penyiksaan, pemerkosaan dan tindakan anarkis lainnya.
Maka sudah saatnya bangsa Indonesia sadar diri akan kelemahan yang ada. Dan tentunya bukan hanya sekedar sadar tanpa ada usaha untuk memperbaiki ekonomi bangsa. Akan tetapi harus diimplementasikan dalam tindakan nyata di tengah-tengah masyarakat, seperti penyediaan lapangan kerja yang memadai. Namun, ironisnya, para pemimpin kita terkadang lupa diri terhadap permasalahan-permasalahan negeri ini karena sibuk mengurus politiknya.
Kasus kekerasan yang terjadi terhadap TKW Siti Hajar tersebut setidaknya menjadi pelajaran berharga bagi pemimpin kita. Paling tidak para pemimpin negeri ini membuka mata hati melihat rakyat yang saat ini sangat membutuhkan pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-harinya. Mereka (para TKI) menangis dan disiksa di luar sana, sementara para pemimpin kita duduk santai di ruangan ber-AC sibuk mengurusi kekuasaan, akhirnya hak rakyat menjadi terabaikan.
Adapun jika pemerntah mau memperketat para TKI untuk kerja di Malaysia atau di negara lainnya, maka pemerintah harus benar-benar mampu menangani kasus pengangguran dan yang ada di dalam negeri. Hal ini dimaksudkan agar masyarakat yang tidak mempunyai pekerjaan bisa memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Jika tidak, maka rakyat miskin dan yang tidak mendapatan pekerjaan akan merintih nangis. Hal ini perlu sangat diperhatikan.
Hal terperting dalam menangani agar masyarakat Indonesia tidak lari ke luar negeri dan menjadi TKI di sana adalah penyediaan lapangan pekerjaan harus mnyeluruh. Atau bisa dengan memberikan modal kepada rakyat untuk mengembangkan usaha secara mandiri dan berkelanjutan. Jika tidak, maka jangan saahkan kalau penduduk negeri yang tidak mendapatkan pekerjaan di dalam negeri lari dan menjadi TKI di luar.

*Penulis adalah,
Pengamat Sosial dan Peneliti di Bestari Unmuh Malang, Jawa Timur

Jumat, 30 Oktober 2009

PENDIDIKAN DAN KEPENTINGAN POLITIK

Oleh: Muhammad Rajab*
Secara historis, memang perjalanan sistem pendidikan di Indonesia cukup panjang. Pada mulanya masyarakat Nusantara telah mengenal pendidikan keagamaan, yaitu pendidikan Hindu dan Budha. Agama Hindu yang tampaknya menganut istilah kasta berpegang teguh pada sistem pendidikan feodalistik. Hanya keluarga Brahmana yang dapat mengenyam pendidikan. Selain itu, ada juga sistem petapa. Dalam hal ini, para peserta didik mengunjungi orang yang bertapa sebagai guru yang mengajarkan agama Hindu.
Berbeda halnya dengan agama Budha yang menganut sistem pendidikan yang lebih demokratis dibandingkan dengan agama Hindu. Karena memang di dalam ajaran Budha tidak mengenal kasta. Jadi pendidikan diperuntukkan untuk umum dan bukan hanya untuk satu golongan saja.
Adapun di zaman kesultanan Islam pendidikan disinkronisasikan dengan misi dakwah. Pada saat itu sudah dikenal sistem pendidikan surau atau langgar dan sistem pendidikan pondok pesantren. Sistem pesantren ini kemudian dimasukkan ke dalam kancah politik setelah datangnya kolonial Belanda.
Dalam pandangan kaum kolonial, pondok pesantren dianggap sebagai kaum pemberontak. Atas dasar penilaian ini, maka pesantren tidak lagi tercantum dalam statistik pendidikan Hindia Belanda. Upaya untuk menutup pengembangan sistem pendidikan Islam di Nusantara nampaknya terkait dengan kebijakan politik kolonial. Hal ini dapat dibuktikan dengan munculnya Undang-Undang Sekolah Liar (wilden Scholen Ordonantie), masing-masing tahun 1925 dan 1930. Institusi pendidikan yang memenuhi Undang-Undang tersebut dianggap legal dan diberi subsidi dari pemerintah. Sedangkan yang tidak memenuhi ketentuan Undang-Undang dianggap liar dan harus dibubarkan.
Untuk mengantisipasi kebijakan politik Hindia Belanda tersebut, sejumlah organisasi sosial keagamaan mulai mengadopsi sistem pendidikan Barat. Organisasi ‘Jami’atul Khoiriah’ sebagai organisasi yang didirikan oleh para pedagang keturunan arab mempelopori berdirinya sistem pendidikan modern dalam Islam. Kemudian setelah itu baru diikuti oleh Muhammadiyah dan ormas-ormas Islam yang lain.
Terlepas dari itu semua, ternyata pendidikan erat kaitannya dengan poitik. Keduanya tidak dapat dipisahkan dalam sistem sebuah Negara. Menurut Sirozi (2005:1) seorang doktor alumnus Monash University of Australia, Pendidikan dan politik adalah dua elemen penting dalam sistem sosial politik suatu Negara, baik negara maju ataupun negara yang sedang berkembang. Senada dengan itu, Paulo Freire juga mengatakan bahwa masalah pendidikan tidak mungkin dilepaskan dari masalah sosio-politik, karena bagaimanapun kebijakan politik sangat menentukan arah pembinaan dan pengembangan pendidikan.
Keduanya sering dilihat oleh sebagian orang tidak ada kaitan dan hubungan, padahal politik dan pendidikan saling menopang dan saling mengisi satu sama lain. Pendidikan berperan penting dalam membentuk perilaku dan moralitas masyarakat di suatu Negara. Begitu juga sebaliknya, perilaku politik di suatu negara memberikan karakteristik pendidikan di negara tersebut. Hubungan tersebut merupakan realitas yang telah terjadi semenjak munculnya peradaban manusia dan sedang menjadi kajian penting para ilmuwan modern.
Hubungan erat antara pendidikan dengan politik dapat memberikan dampak positif dan negatif bagi perkembangan pendidikan. Dampak positif yang dapat dihasilkan dari hubungan keduanya adalah pemerintah sebagai pemegang peranan penting dalam politik dapat memberikan subsidi kepada pendidikan. Dengan adanya subsidi tersebut pendidikan bisa berkembang sebagaimana mestinya.
Selain itu, dalam sistem politik Islam, pendidikan merupakan satu hal yang sanagat urgen dalam pencapaian tujuan pemerintahan. Adapun tujuan pemerintahan Islam menurut Abdul Gaffar Aziz (1993:95) adalah menegakkan kebenaran dan keadilan. Tujuan itu tidak akan tercapai kecuali dengan melaksanakan syari’at. Dan syari’at tidak dapat berjalan bila ummat tidak memahami agama Islam. Sedangkan untuk memahamkan syari’at Islam kepada masyarakat sarananya tiada lain adalah melalui pendidikan.
Adapun Menurut Hari Sucahyo dalam artikelnya Menelusuri Persepsi Politik dalam Pendidikan, bila pendidikan telah terkooptasi sedemikian rupa dengan kebijakan politik, maka secara umum tidaklah menguntungkan, karena dimungkinkan terjadinya pembusukan dari dalam sebagai akibat penjinakan (domestikasi) dinamika pendidikan itu sendiri. Kondisi ini semakin diperparah dengan tidak memadainya kualifikasi orang-orang yang mengambil kebijakan, dalam arti mereka begitu minim pemahaman tentang pendidikan, sehingga tak mampu menyelami hakikat dan masalah dunia pendidikan. Oleh karena itu tidak aneh bila selama ini sektor pendidikan mereka jadikan sekedar kuda tunggangan. Sebab yang ada dalam benak mereka hanyalah kepentingan-kepentingan politik sesaat, seperti bagaimana mendapat sebanyak mungkin simpati dari golongan mayoritas tertentu serta bagaimana dapat menduduki kursi panas selama mungkin. Pendapat ini beliau kutip dari ucapan Tantowi Yahya dalam Who Wants to be Millioner.
Adapun menurut hemat penulis, hubungan antara politik pendidikan dapat memberikan dampak negatif atau positif bergantung pada pemegang peranan penting dalam politik tersebut. Jika pemegang tanggung jawab pendidikan dalam politik tidak mempunyai kompeten dalam bidang pendidikan, maka pasti ini sangat membahayakan pendidikan. Akan tetapi jika orang yang memegang amanah untuk mengembangkan pendidikan dalam sistem pemerintahan suatu negara adalah orang yang amanah serta mempunyai kapabilitas di bidang pendidikan maka ini sangat memungkinkan untuk memberikan kontribusi besar dalam pengembangan pendidikan, khususnya di Indonesia.
Melihat realitas tersebut, tidak sedikit orang yang menginginkan agar pendidikan benar-benar terpisah dari politik. Mereka mneginginkan antara pendidikan dan politik menjadi dua aspek yang terpisah dan tidak berhubungan. Mereka percaya bahwa pemisahan antara politik dan pendidikan dapat membebaskan lembaga-lembaga pendidikan dari berbagai politik kepentingan penguasa. Kecenderungan tersebut memuncak pada tahun 70-an, khususnya di Amerika Serikat. (Sirozi dalam Wirt, 1974:ii).
Terlepas dari itu semua, Jika kita melihat realitas politik di Indonesia saat ini, maka hendaknya pendidikan dijadikan satu hal yang netral, khususnya jika kita melihat kondisi politik di Indonesia saat ini. Ini dimaksudkan untuk menghindari terjadinya penyalahgunaan lembaga pendidikan sebagai penyalur dari kepentingan politik tertentu. Selain itu, jika pendidikan tidak dinetralisir dari dunia politik, maka kepentingan politik akan dimasukkan ke dalam lembaga pendidikan. Dan ini akan memecahkan konsentrasi lembaga terhadap pendidikan, yang pada akhirnya akan merusak nilai-nilai mulia pendidikan.

Sabtu, 24 Oktober 2009

BELAJAR DARI POHON PISANG

Oleh: Muhammad Rajab

Belajar merupakan satu keharusan bagi setiap orang. Seseorang tanpa belajar maka ia akan buta. Karena ilmu pengetahuan adalah cahaya. Jika cahaya hilang dari hadapan seseorang, maka dia akan kegelapan dan tidak tau arah harus ke mana dia akan berjalan, dan juga bingung harus berbuat apa.
Namun ilmu pengetahuan tidak harus di dapat di dalam kelas. Proses belajar tidak harus melalui buku buku atau tinta yang tertulis di atas kertas. Belajar juga tidak harus kepada guru atau dosen. Akan tetapi belajar bisa dilakukan dengan proses mandiri, yaitu dengan bersifat kreatif dan inovatif dalam mengembangkan ide.
Kereativitas belajar kita bisa dikembangkan melalui alam dan lingkungan. Alam yang yang penuh panorama yang indah dan keanekaragaman isinya merupakan guru bagi kita, jika mau berpikir secara jernih dan objektif. Ambil saja pohon pisang yang kita lihat sangat remeh jika dibandingkan dengan benda-benda alam semesta lainnya.
Sekarang kita belajar mencoba untuk menjadikan pohon pisang sebagai guru kita dalam beraktivitas dan berinteraksi dengan sahabat dan masyarakat. Banyak pelajaran yang bisa diambil dari guru yang tidak bisa bicara ini. Coba kita berpikir sejenak untuk melihat apa saja yang dimiliki oleh pohon pisang serta sifat-sifat apa saja yang melekat padanya.
Dari yang paling bawah, pisang mempunyai akar, batang, daun, dan buah. Selain itu pohon pisang juga mempunyai tunas. Akar pohon pisang merupakan satu pondasi yang menjadikan semua anggotanya yang lain ada. Tidak ada akar maka batang, daun dan buah tidak akan ada. Karena akar adalah pondasi yang menjadikan pohon pisang bisa berdiri.
Kemudian batang pohon pisang merupakan penyanggah agar pohon tersebut tetap berdiri kokoh dan dapat menyokong anggota yang lain. Begitu juga dengan daun yang merupakan satu alat untuk berfotosintesis yang menjadikan pohon tetap bisa hidup dan segar dengan sinar matahari. Adapun buah merupakan satu hasil dari kerjasama para anggota pohon pisang tersebut. Pelajaran apa yang bisa kita ambil untuk dipraktekkan dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa?.
Pelajaran yang bisa diambil dari pohon pisang tersebut adalah pertama, Bahwa sebelum berbuat dan beraktivitas seharusnya kita punya dasar atau pedoman dulu untuk dijadikan sebagai hujjah (penguat) atas perbuatan kita. Ini dimaksudkan supaya perbutan kita tidak asal-asalan dan sembarangan. Akan tetapi punya sandaran berupa ilmu pengetahua.
Kedua, Dalam hidup kita membutuhkan orang lain untuk dijadikan sebagai penyanggah atau pendukung kita dalam melakukan satu aktivitas. Karena manusia adalah makhluk sosial yang tidak boleh lepas dari bantuan dan kerjasama dengan orang lain. Pelajaran ini ada pada batang pisang yang selalu siap untuk menjadi penyanggah pohon pisang supaya tetap kokoh dan bisa tumbuh serta berbuah. Maka dari itu, agar kita menjadi orang yang kuat, hendaknya tidak bersifat egois, akan tetapi selalu bekerja sama dengan orang lain.
Ketiga, Dalam menempuh hidup kita harus punya penasehat atau seorang teman yang selalu memberikan arahan serta motivasi untuk selalu semangat dalam hidup. Ini telah dipesankan oleh daun pisang yang selalu mengambil cahaya matahari untuk menjadikan pohon tersebut tetap hidup. Karena tidak hanya motivasi diri saja yang diperlukan, tapi motivasi dan stimulus dari orang lain juga sangat dibutuhkan.
Keempat, Selalu memberikan manfaat kepada orang lain. Ini merupakan satu hal yang sangat penting dalam hidup sosial masyarakat. Karena dengan ini akan timbul rasa cinta dan kasih sayang antarsesama. Pesan ini disampaikan oleh buah pohon pisang yang dapat dimanfaatkan oleh manusia dan makhluk yang lain.

Jumat, 23 Oktober 2009

free counters

MERATAPI NASIB PULAU TERPENCIL

Oleh: Muhammad Rajab*

Setelah mudik lebaran kemarin penulis melihat berbagai macam hambatan dalam perjalanan menuju pulau terpencil. Hambatan tersebut adalah transportasi. Transportasi yang kurang nyaman serta tidak maksimal menjadikan penumpang yang ikut sangat banyak sehingga menjadikan kapal tersebut sesak dan tidak nyaman. Sulitnya transportasi tersebut berdampak pula pada tinggi rendahnya tingkat ekonomi dan pendidikan.
Padahal Indonesia adalah negeri kepulauan. Artinya di Indonesia terdapat ribuan pulau, baik pulau besar maupun pulau-pulau kecil. Jumlah pulau di Indonesia menurut data Departemen Dalam Negeri Republik Indonesia tahun 2004 adalah sebanyak 17.504 pulau. 7.870 di antaranya telah mempunyai nama, sedangkan 9.634 belum memiliki nama. Semua pulau tersebut merupakan bagian dari Indonesia yang sama-sama mempunyai hak untuk diperhatikan.
Di Sumenep yang merupakan salah satu bagian dari pulau Madura mempunyai kurang lebih 126 pulau. Pulau-pulau tersebut mempunyai potensi alam yang sangat besar. Sebagai contoh pulau Sapeken yang mempunyai gas dan persediaan mutiara yang sangat banyak. Namun sangat disayangkan nasib pulau-pulau terpencil tersebut sangat kurang diperhatikan.
Katakanlah pulau Kangean, salah satu pulau besar di daerah Sumenep. Pulau ini menurut saya kurang diperhatikan. Karena berdasarkan pengamatan penulis, banyak sekali kekurangan-kekurangan yang ada di pulau itu. Seperti kurangnya fasilitas pendidikan, jalan-jalan umum masih rusak, tarnsportasi umum tidak memadai atau bahkan bisa dikatakan tidak ada.
Pemerintah mungkin tidak menyadari bahwa mereka yang tinggal di kepulauan tersebut merupakan bagian dari Indonesia. Dan hal itu tidak mungkin bisa terpisah dari negara kesatuan republik Indonesia, karena pulau tersebut sebenarnya telah banyak memberikan kontribusi kepada negara, baik melalui kekayaan alam yang dimilikinya ataupun yang lainnya.
Kurangnya perhatian pemerintah terhadap pulau-pulau terpencil baik dalam hal pembangunan infrastruktur maupun pembangunan pendidikan menyebabkan nasib warga Indonesia yang tinggal di kepulauan kian memburuk. Akibatnya, kualitas ekonomi dan pendidikan kita semakin rendah. Hal ini sebagai konsekuensi tidak meratanya pembangunan di Indonesia.
Maka jangan disalahkan, kalau negeri asing berusaha ingin merebut pulau di Indonesia. Karena pada kenyataannya pemerintah kita sangat kurang perhatian terhadap pulau tersebut. Perlu disadari bahwa semua pulau yang ada di Indonesia, baik yang kecil maupun besar merupakan satu kesatuan yang tidak bisa terpisahkan dari negeri Indonesia.
Maka saya bisa mengatakan kalau pemerintah kita tidak memperhatikan aspek pembangunan di kepulauan dan lebih mengutamakan pembangunan di kota-kota saja, hal itu merupakan tindakan diskriminatif. Tindakan semacam ini tidak selayaknya dilakukan oleh pemerintah kita, karena hal ini akan mengurangi keseimbangan dalam peningkatan berbagai aspek di negeri tercinta ini.
Maka saat ini, dengan terpilihnya pemimpin pasca pemilu 2009 lalu diharapkan dapat memberikan perhatian yang seimbang terhadap seluruh wilayah yang ada di Indonesia. Dan diharapkan pula, membuang jauh-jauh sikap diskriminatif. Karena hal ini tidak lain akan membawa Indonesia kepada kemunduran dan kehancuran.

BENCANA AKIBAT ULAH MANUSIA

Oleh: Muhammad Rajab*

Tidak asing lagi di telinga kita, sering terdengar berita bencana alam, mulai dari tsunami, tanah longsor, banjir, dan akhir-akhir ini adalah gempa. Dalam satu bulan September kemarin terhitung terjadi tiga kali gempa di negeri ini. Gempa seakan menjadi hidangan khas bagi Indonesia yang tak bisa lepas dari bumi pertiwi ini.
Bencana alam yang terus menghiasi Indonesia ini merupakan satu tanda akan buruknya kondisi alam Indonesia. Hal ini tidak lain hanya dapat menambah beban berat bangsa ini. Bayangkan banyak sekali permasalahan yang sedang dihadapi oleh bangsa. Mulai dari krisis di berbagai bidang hingga dengan kerusakan alam yang terus menggerogoti negeri tercinta ini.
Dengan munculnya berbagai masalah yang sering kali merepotkan bangsa, pemimpin kita semakin kewalahan dalam memecahkan masalah tersebut. Hal ini tidak lain diakibatkan oleh lambatnya para pemimpin bangsa dalam menyelesaikan satu masalah. Sehingga ketika ada masalah baru yang datang menimpa bangsa seperti gempa yang baru saja terjadi di Jawa Barat dan Sumatera Barat serta Jambi menjadikan Indonesia semakin pusing.
Saatnya Indonesia melihat ke dalam, artinya megngintrospeksi apa yang telah dilakukan selama ini. Karena boleh jadi musibah yang datang bertubi-tubi tersebut merupakan salah satu dampak dari perbuatan jahat (dosa) yang selama ini kita lakukan. Pasalnya, alam bisa saja murka atas kelakuan manusia yang tidak lagi ramah terhadap alam.
Dalam sebuah ayat al-Quran Allah berfirman: “nampaknya kerusakan di daratan dan di lautan disebabkan oleh ulah tangan manusia” (QS. Ruum: 41). Ayat ini merupakan landasan teologis yang maknanya, bahwa segala kerusakan yang ada di bumi, baik di darat maupun di laut itu akibat tangan manusia.
Mungkin tidak disadari bahwa selama ini kita telah melakukan pelanggaran-pelanggaran terhadap aturan alam yang berlaku, seperti membuang sampah sembarangan dan pelanggaran-pelanggaran lainnya. Pelanggaran-pelanggaran tersebut yang akhirnya menjadikan alam kita murka yang ditunjukkan dalam bentuk bencana alam.
Kita tentunya tidak ingin bencana alam datang lagi kepada kita. Sudah banyak korban yang telah ditelan akibat datangnya bencana alam mulai dari bencana banjir, hingga gempa yang hari-hari ini masih hangat diberitakan media, yakni gempa yang menimpa saudara-saudara kita di Sumatera Barat dan Jambi.
Dan yang terpenting sekarang adalah bagaimana menjadikan bencana alam yang sudah menimpa negeri ini sebagai pelajaran berharga bagi kita untuk kemudian kita perbaiki ke depannya. Hal itu bisa ditunjukkan dengan mengurangi perbuatan dosa kita, baik terhadap Sang Pencipta alam semesta maupun terhadap alam itu sendiri.

KEMISKINAN AGENDA MENDESAK

Oleh: Muhammad Rajab*
Dimuat di Harian Duta Masyarakat, 15 Oktober 2009

Kemiskinan merupakan sebuah permasalahan yang sampai sekarang belum terselesaikan. Bertahun-tahun kemiskinan telah menggerogoti bangsa. Sebuah permasalahan yang menuntut pemimpin negeri ini segera punya obsesi besar dalam mengentaskan kemiskinan. Pasalnya, rakyat sudah lama menunggu negeri yang makmur, aman dan sentosa.
Pemilu legislatif dan presiden sudah berlalu dengan pasangan SBY-Boediono sebagai pemenang yang telah memperoleh suara terbanyak. Terpilihnya SBY sebagai presiden untuk yang kedua kalinya merupakan satu hal yang luar biasa. Pasalnya, negeri ini pada masanya belum bisa mengentaskan kemiskinan.
Walaupun ada upaya untuk mengentaskannya sepereti dengan adanya program Bantuan Langsung Tunai (BLT). Program tersebut pada kenyataannya tidak membuahkan hasil apa-apa. Malah yang terjadi adalah percekcokan, karena berebut untuk mendapatkan dana BLT. Selain itu dana BLT yang diberikan kepada rakyat miskin sebenarnya bukanlah usaha untuk memberantas kemiskinan, akan tetapi malah akan menambah jumlah orang miskin. Pasalnya program tersebut tidak lain akan menjadikan rakyat kita manja dan tidak mau berusaha.
Terpilihnya presiden dan wakil presiden baru sekarang dapat memberi harapan baru bagi bangsa Indonesia. Harapannya adalah pemimpin baru negeri ini bisa mampu mengedepankan permasalahan kemiskinan rakyat dari pada permasalahn lain. Pasalnya, negeri demokrasi adalah negara yang lebih mengedepankan suara rakyat dari kepentingan lain. Hal ini bisa dipahami dari arti dasar demokrasi, yakni dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.
Maka dengan demikian agenda mendesak pemimpin baru adalah mengentaskan kemiskinan. Hal ini sudah menjadi tuntutan untuk segera diselesaikan. Walaupun tidak bisa secara langsung, namun perlu ada program-program upaya mengurang tingginya angka kemiskinan di negeri ini.
Banyak hal yang mungkin bisa dilakukan, seperti membuka peluang kerja bagi masyarakat yang tidak mampu. Mereka yang menganggur jangan sampai dibiarkan begitu saja dan tidak diperhatikan. Pasalnya, hal inilah yang nantinya akan menambah angka kemiskinan. Sarjana-sarjana yang lulus dari perguruan tinggi juga membutuhkan lapangan kerja yang cukup agar mereka tidak menganngur.
Ha itu menuntut adanya kesadaran pada jajaran para pemimpin negeri ini. Bahwa kemiskinan merupakan satu problem besar yang harus segera diselesaikan. Pasalnya, kemakmuran rakyat di negera demokrasi merupakan indikator akan kemajuan bangsa tersebut, dan bukan didominasi oleh pasar dan perorangan saja.

RAMADHAN BULAN KEMERDEKAAN

Oleh: Muhammad Rajab*
Dimuat di Harian Suara Karya

Tepatnya 17 Agustus 2009 lalu Indonesia memperingati Hari Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-64. Hari Ulang Tahun (HUT) Kemerdekaan yang digelar setiap tahun ini merupakan momen penting bagi sejarah Indonesia. Pasalnya, saat itulah Indonesia menggapai kemerdekaan dari para penjajah. Seperti, Belanda yang telah menjajah Indonesia selama kurang lebih tiga setengah abad.
Di bulan yang sama pula, tepatnya 22 Agustus 2009, umat Islam juga melakukan ibadah puasa. Suatu ibadah yang dinanti-nanti umat Islam. Ibadah puasa ini dilaksanakan setahun sekali selama satu bulan penuh, yaitu pada bulan suci Ramadhan. Perintah untuk melaksanakan puasa ini telah diabadikan dalam al-Quran. “Hai orang-orang yang beriman telah diwajibkan atas kalian berpuasa (di bulan Ramadhan) sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa,” (QS. al-Baqarah: 183)
Satu hal yang sangat menakjubkan bagi Indonesia adalah dua peristiwa besar yaitu HUT Kemerdekaan dan bulan Ramadhan (bulan puasa) sama-sama bertepatan pada bulan Agustus 2009. Bagi muslim Indonesia hal ini merupakan peristiwa sangat luar biasa. Pasalnya, bulan puasa juga merupakan bulan kemerdekaan bagi umat Islam. Kemerdekaan dari hawa nafsu dan perbuatan-perbuatan dosa.
Secara bahasa makna puasa berasal dari bahasa arab yakni shiyam yang berarti al-imsaak (menahan). Secara istilah menurut Sayyid Sabiq dalam bukunya fiqhus Sunnah, menahan dari segala sesuatu yang membatalkan puasa sejak terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari yang disertai dengan niat. Menahan di sini juga berarti membebaskan diri atau memerdekakan diri kita dari segala hal yang dapat merusak dan menghilangkan nilai-nilai puasa tersebut.
Dalam potongan hadits, Nabi Muhammad SAW bersabda: “puasa itu tameng seperti tameng kalian saat berperang,”. Itu artinya, bahwa dengan puasa yang sungguh-sungguh kita benar-benar akan bebas dan merdeka dari segala perbuatan yang dilarang, seperti minum-minuman keras, mencuri, melakukan aksi kekerasan, perkosaan dan lain sebagainya.
Maka kalau boleh saya katakan bahwa bulan puasa merupakan bulan kemerdekaan. Pasalnya, pada bulan tersebut kita benar-benar diberi peluang untuk memerdekakan diri dari segala perbuatan yang tidak baik, dari segala perbuatan yang dapat menyakiti orang lain, serta dari perbuatan yang merusak diri sendiri.
Makna kemerdekaan tidak hanya berkisar pada aspek fisik saja, akan tetapi lebih dari itu makna merdeka juga mencakup kemerdekaan diri seseorang dari segala sesuatu yang mengikat dan menjerumuskan dirinya kepada kerusakan dan kehancuran (merdeka ma’nawi). Kemerdekaan yang pertama secara historis, Indonesia benar telah merdeka dari penjajahan Belanda, Jepang dan Sekutu. Akan tetapi yang menjadi pertanyaan adalah benarkah Indonesia telah merdeka secara ma’nawi?. Artinya secara moral telah benar-benar jauh dari hal-hal yang merusak dan menghancurkan moral bangsa.
Puasa merupakan sebuah bentuk perlawanan terhadap penjajah yang bernama hawa nafsu. Upaya perlawanan ini merupakan salah satu pengantar diri kita agar benar-benar menjadi orang yang merdeka dan tidak diperbudak oleh hawa nafsu. Pasalnya, telah banyak bukti menunjukkan, bahwa hawa nafsu telah menghancurkan manusia dan menjerumuskan manusia pada derajat yang rendah.
Hal ini terbukti pada manusia pertama yang diciptakan Allah SWT yakni Adam as. Nabi Adam beserta istrinya Hawa dilarang oleh Allah SWT untuk memakan buah Khuldi, akan tetapi dengan bujukan setan. Setan merayu dengan mengatakan pohon itu akan dapat mengekalkannya di dalam surga-Nya. Karena keinginan atau hawa nafsu Adam dan Hawa untuk mendapatkan kekekalan di surga, akhirnya mereka berdua memakan buah yang dilarang tersebut. Akibatnya mereka malah dikeluarkan dari surga-Nya kemudian diturunkan ke bumi.
Bukti yang lain bahwa hawa nafsu dapat mengantarkan kepada kehancuran adalah kisah Qarun. Qarun adalah seorang saudagar kaya raya yang kemudian ditenggelamkan oleh Allah bersama hartanya dikarenakan kesombongannya.
Puasa yang dapat diartikan menahan, merupakan upaya untuk membebaskan diri kita dari segala bentuk kerusakan dan kehancuran. Baik kehancuran individu dan sosial masyarakat. Kehancuran individu yang dimaksud adalah kehancuran diri kita sendiri dengan perbuatan-perbuatan dosa yang telah kita kerjakan. Karena diri kita sebenarnya masih dijajah oleh keinginan-keinginan jahat yang dapat mengantarkan diri kita kepada kehancuran dan penyesalan.
Maka dengan demikian, ada juga yang menyebut bulan puasa sebagai bulan tazkiyatun nafs (bulan penyucian jiwa). Penyucian jiwa kita dari segala bentuk perbuatan dosa yang telah kita lakukan sebelum dan sesudah bulan puasa. Artinya, bagi kita yang mengerjakan puasa dengan sungguh-sungguh dan penuh ikhlas kepada Allah dan tidak mengharap pujian dari orang lain, maka kita benar-benar akan menjadi orang-orang yang merdeka dan kembali ke fithrah (suci) seperti bayi lahir. Hal ini sesuai dengan tujuan puasa sendiri untuk menjadikan orang yang bertakwa sebagaimana yang telah dijelaskan pada ayat al-Quran sebelumnya.
Sedangkan kehancuran sosial yang dimaksud adalah kehancuran hubungan sosial masyarakat. Hawa nafsu jelek kita selalu ingin mengajak diri kita untuk berbuat yang mungkar dan ingin merusak hubungan sosial dengan masyarakat. Misalnya, sifat pelit, serakah, sombong, mengejek, menghina dan merendahkan orang lain. Sifat-sifat tersebut semuanya bisa dikendalikan dengan puasa. Karena bagi orang yang berpuasa dilarang untuk melakukan sikap buruk tersebut. Bahkan, di dalam puasa dianjurkan untuk memperbanyak sodaqoh, infak kepada orang lain terutama orang-orang yang membutuhkan. Itu artinya puasa juga merupakan suatu upaya untuk merdeka dalam aspek sosial.
Dengan demikian, kemerdekaan yang baru saja dirayakan oleh bangsa Indonesia sebenarnya hanya menyentuh aspek fisik saja. Karena masih banyak penjajah yang menyelinap dalam diri dan masyarakat kita, seperti hawa nafsu untuk berbuat jahat dan merusak tatanan sosial. Puasa sebagai bulan kemerdekaan merupakan salah satu upaya untuk melawan penjajah yang non fisik tersebut. Maka, bulan puasa yang kebetulan jatuh pada bulan Agustus ini merupakan momen terpenting bagi Indonesia untuk lebih memaknai bahwa kemerdekaan hakikatnya bukan hanya kemerdekaan dari penjajah secara fisik saja, akan tetapi juga merdeka dari penjajah non fisik.

*Penulis adalah
Peneliti di Pusat Studi Islam (Forsifa) Unmuh Malang

BENCANA “CAMBUK” KEMAJUAN

Oleh: Muhammad Rajab*
dimuat di Harian Malang Post, 18 Oktober 2009

Tidak asing lagi di telinga kita, sering terdengar berita bencana alam, mulai dari tsunami, tanah longsor, banjir, dan akhir-akhir ini adalah gempa. Dalam satu bulan September kemarin terhitung terjadi tiga kali gempa di negeri ini, yakni di Tasik Malaya, Sumatera Barat dan Jambi. Bencana alam seakan menjadi hidangan khas bagi Indonesia dan tidak bisa lepas dari bumi pertiwi ini.
Jumlah korban meninggal dunia akibat gempa 7,6 skala Richter di Sumbar terus bertambah. Berdasarkan data Satkorlak Sumatera Barat, tercatat 608 warga Sumatera Barat meninggal dunia. Data yang diperoleh VIVAnews pada Senin 5 Oktober 2009, pukul 09.45, tercatat korban tewas terbanyak berada di Kabupaten Padang Pariaman sebanyak 285 jiwa. Di Kota Padang sebanyak 242 jiwa, Kota Pariaman 32 jiwa, Kabupaten Agam 32 jiwa, Kabutapen Pesisir Selatan 10 jiwa.
Sebuah bencana tidak selamanya mendatangkan kehancuran walaupun secara kasat mata bencana selalu memporak-porandakan lingkungan. Namun bisa saja bencana menjadi pemicu kita untuk maju. Sebagai perumpamaan adalah, cambuk yang digunakan untuk memacu kuda akan dapat mempercepat lari kuda. Begitu juga dengan bencana, ia bisa menjadi sebuah cambuk bagi Indonesia menuju kemajuan. Hal itu tergantung pada pemaknaan kita terhadap bencana.
Namun demikian, setidaknya ada beberapa kemungkinan yang bisa diambil dari peristiwa bencana alam yang sering terjadi di Indonesia. Pertama, bencana bisa sebagai bentuk kemurkaan Tuhan terhadap manusia yang selalu berbuat dosa dan melakukan pelanggaran terhadap alam semesta. Akibat pelanggaran-pelanggaran tersebut akhirnya alam menjadi tidak lagi mau bersahabat dengan manusia. Terkait dengan itu Allah SWT berfirman: “nampaknya kerusakan di darat dan di laut diakibatkan oleh tangan manusia,” (QS. Ruum: 41)
Sebagai contoh adalah kisah Qorun yang ingkar tidak mau menginfakkan hartanya serta selalu sombong di hadapan masyarakatnya. Akibat kesombongannya tersebut Allah SWT menenggelamkannya beserta harta benda yang dimilikinya ke dalam bumi. Oleh sebab itulah ketika seseorang mendapatkan harta terpendam saat ini disebut dengan harta karun. Pasalnya, harta yang dimiliki oleh Qorun pada zaman Nabi Musa tersebut ditenggelamkan oleh Allah ke dalam perut bumi. Dan banyak lagi kisah-kisah bencana alam yang menimpa umat terdahulu akibat perbuatan dosa yang mereka lakukan, seperti bencana kaum Sodom, dan kaum Nuh yang ditimpa dengan banjir bandang dan lain sebagainya.
Kedua, bencana datang sebagai bentuk ujian dari Tuhan untuk menguji keimanan seseorang. Ada sebuah ungkapan semakin tinggi keimanan seseorang maka cobaan yang datang juga semakin tinggi. Hal ini sesuai dengan apa yang difirmankan Allah SWT dalam ayatnya, “Allah tidak akan memberikan beban kepada seseorang kecuali sesuai dengan kemampuannya,”.
Ketiga, kedatangan bencana alam merupakan “cambuk” bagi seseorang untuk lebih cepat lagi atau lebih giat lagi dalam mencapai satu cita-cita. Ibarat kuda pacu yang harus dicambuk agar larinya lebih kencang. Intinya musibah atau bancana yang datang bisa dijadikan sebagai alat untuk memicu diri menuju keadaan yang lebih baik dari pada sebelumnya.
Dari beberapa kemungkinan tersebut maka setidaknya bencana yang datang secara bertubi-tubi di negeri ini bisa jadi merupakan peringatan dari Tuhan atas perbuatan dosa yang sering dilakukan oleh manusia, atau hanya sebagai cobaan, atau mungkin juga sebagai “cambuk” kemajuan bagi negeri tercinta ini. Boleh jadi di balik bencana yang datang tersebut ada “gunung emas” yang akan muncul setelahnya.
Kita tidak tahu Indonesia masuk ke ranah yang mana dari ketiga kemungkinan tersebut. Yang jelas ketiga kemungkinan di atas semuanya bisa benar jika dikaitkan dengan kondisi Indonesia yang semakin kacau balau ini. Dikatakan peringatan karena bangsa kita telah banyak melakukan kerusakan dan dosa. Dikatakan cobaan juga bisa benar untuk menguji sejauh mana kemampuan Indonesia dalam mengatasi masalah.
Terlepas dari ketiga kemungkinan di atas, kita sebagai bangsa Indonesia hendaknya bisa mengambil pelajaran dari peristiwa bencana yang sering terjadi di negeri tercinta ini. Banyak sekali pelajaran yang bisa diambil oleh kita agar kita menjadi bangsa yang lebih baik dari sebelumnya. Salah satunya adalah introspeksi diri bagi bangsa, kenapa selama ini sering terjadi bencana. Apakah negeri kita ini sering lengah terhadap peristiwa bencana. Sehingga dengan peristiwa gempa yang terjadi bulan September lalu yang hingga saat ini belum terselesaikan merupakan peringatan bagi bangsa untuk lebih waspada terhadap bencana.
Boleh jadi di balik terjadinya bencana tersebut akan menjadikan Indonesia lebih baik di masa yang akan datang. Jepang menjadi negara maju harus dicambuk dulu dengan bom atom yang dahsyat di Nagasaki dan Hirosima, begitu juga dengan Cina, dan negara-negara maju lainnya. Maka sudah selayaknya kita belajar dari negara-negara tersebut, yakni bagaimna menjadikan suatu bencana sebagai awal dari kemajuan.
Namun demikian, untuk menjadikan bencana sebagai cambuk kemajuan tidak semudah mebalikkan telapak tangan. Karena kebanyakan bencana yang terjadi di Indonesia hanya menghasilkan prasangka buruk semata, yakni bahwa dengan adanya bencana Tuhan menginginkan sesuatu yang tidak baik. Padahal seyogyanya kita berprasangka baik terhadap Sang Pencipta.
Untuk mengawali agar bencana yang menimpa bangsa ini dapat menjadi titik awal kebangkitan bangsa Indonesia dari krisis multidimensional, khususnya krisis lingkungan adalah dengan berperasangka baik terhadap Sang Pencipta alam ini. Dalam artian kita harus mampu menganggap bahwa di balik kejadian dan bencana alam yang terjadi ada hikmah yang bisa diambil untuk kemudian dijadikan sebagai sarana introspeksi diri demi kemajuan bangsa ke depan.
Kita tentunya tidak ingin berada dalam keterbelakangan secara terus menerus. Pasalnya, rakyat kita tidak mungkin terus hidup dalam keterbelakangan. Kita menginginkan Negara yang maju, makmur, damai dan aman sentosa, atau dalam istilah al-Quran disebut sebagai baldatun thoyyibatun warobbun ghafuur.

*Penulis adalah
Peneliti di Pusat Studi Islam (FORSIFA) Unmuh Malang
free counters

Kamis, 02 Juli 2009

Membangun Kembali Peradaban Islam yang Hilang

Oleh: Muhammad. Rajab*
Dimuat di Opini Harian Suara Karya, Jum'at 03 Juli 09

Kata peradaban (al-hadharat, civilisation) seringkali diidentikkan dengan kata kebudayaan (al-tsaqafah, culture). Meskipun sementara kalangan membedakan pengertian kedua kata tersebut, namun argumen yang mengidentikkan keduanya juga cukup kuat. Kompromi dalam masalah ini ialah bahwa pada suatu saat pembedaan itu absah dan pada saat yang lain pengidentikan juga absah. Dalam bahasa Arab, selain disebut sebagai al-hadharat, peradaban terkadang juga disebut dengan al-tamaddun. Karena itu tidaklah mengherankan apabila masyarakat madani kemudian diterjemahkan menjadi masyarakat beradab atau civil society. Dalam pengertiannya yang paling luas, peradaban mencakup aspek material maupun immaterial.
Adapun tentang siklus peradaban, Arnold Toenbee berkata, bahwa peradaban suatu bangsa itu berawal dari lahir, kemudian berkembang, maju, meorosot dan pada akhirnya ia akan tenggelam. Pendapat itu sangat benar melihat realitas yang terjadi pada ummat Islam sekarang. Islam saat ini benar-benar telah dilanda krisis peradaban.
Jika dilihat secara historis, ummat Islam telah melampaui tiga siklus peradaban di atas. Lahirnya peradaban Islam dimulai pada zaman Nabi Muhammad SAW. Ketika itu masyarakat jahiliah mengalami krisis moral dan ilmu pengetahuan. Kekerasan terjadi di mana-mana, yang kaya melecehkan yang miskin, yang kuat menindas yang lemah. Nilai-nilai kemanusian tidak lagi diperhatikan.
Kemudian datanglah Islam yang dibawa oleh Muhammad. Suatu ajaran yang membawa nilai-nilai moralitas, tauhid, dan menujunjung tinggi kehormatan manusia serta memperjuangkan hak asasi manusia (HAM). Sebelum Islam datang masyarakat jahiliyah mempunyai budaya biadab, yaitu mengubur bayi perempuan hidup-hidup. Mereka merasa malu jika anak yang lahir adalah anak perempuan. Yang kemudian Islam datang dan memberantas itu semua.
Di sinilah Islam mulai membangun sebuah peradaban yang benar-benar membawa nilai-nilai universal. Setelah itu Islam terus dikembangkan hingga Islam bisa menguasai dua peradaban besar Arab yaitu Romawi dan Persia. Kekuasaan Islam terus berkembang seiring dengan perjalanan zaman dari Arab, Eropa hingga ke Cina yang saat itu Cina merupakan sebuah Negara yang maju dalam bidang Ilmu pengetahuan.
Hingga akhirnya Islam menguasai semua aspek kehidupan khususnya di bidang ilmu pengetahuan. Hal itu terbukti dengan munculnya tokoh-tokoh atau ilmuwan muslim, seperti Ibnu Sina dengan karya menomentalnya Al-Qonun fit Tib yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi The Canon of Medicine. Buku monumental ini kemudian menjadi rujukan ilmu kedokteran di seluruh penjuru dunia.
Banyak lagi ilmuwan lain yang muncul di era keemasan Islam, seperti Al-Gazali yang terkenal dengan tasawwuf dan filsafatnya dengan karyanya yang terkenal Ihya’ Ulumuddin. Ada lagi Ibnu Rusyd seorang dokter dan juga tokoh filsafat. Demikian juga Ibnu Khaldun yang dikenal sebagai bapak sosiologi, dia adalah seorang sosiolog yang telah menulis sebuah karya monumental yang berjudul Muqaddimah. Belum lagi yang di bidang teknologi seperti Al-Haitam penemu kamera obscura pertama, Al-Jabbar yang telah menemukan teori Al-Jabar, dan banyak lagi yang tidak bisa disebutkan satu persatu.
Saat itu Islam telah mengalami kemajuan di berbagai bidang lebih-lebih di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Kejayaan peradaban Islam ini terus berlangsung sampai akhirnya Mongol menyerang dunia Timur Islam, berpuncak pada serangan terhadap Baghdad. Di dunia Barat Islam, peradaban Islam mulai ambruk semenjak satu demi satu wilayah Islam ditaklukkan oleh Eropa. Akhirnya, Kordova pun tinggal kenangan belaka. Runtuhnya Kesultanan Turki Utsmaniyyah tercatat telah mencabik-cabik persatuan umat Islam sehingga Eropa pun semakin kuat mencengkeramkan kuku-kuku imperialisme-nya di negara-negara muslim. Peradaban Islam mengakhiri kejayaannya bersamaan dengan tercerahkannya Eropa pada masa Renaisans.
Penyebab dan solusi
Namun kenapa saat ini Islam mengalami kemunduran, khususnya di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi?. Ada beberapa hal penting yang perlu diperbaiki dari ummat Islam saat ini. Di antaranya, pertama, ummat Islam saat ini tidak mempunyai semangat belajar seperti semangat ilmuwan muslim terdahulu. Padahal ajaran Islam telah mewajibkan seluruh pemeluknya untuk menuntut ilmu. Kebanyakan ummat Islam saat ini lebih sibuk mempermasalahkan hal-hal yang sifatnya khilafiyah, seperti perbedaan qunut-an, tahlilan dan lainnya. Sehingga konsentrasi untuk mencari ilmu mengetahuan terpecah dan bahkan hilang.
Kedua, Kurangnya keinginan ummat Islam untuk memahami dan mendalami ilmu pengetahuan yang ada di dalam Al-Quran secara konperehensif. Padahal, jika ditelaah secara seksama, di dalam Al-Quran kita akan banyak menemukan ayat-ayat yang berbicara tentang ilmu pengetahuan serta ajakan-ajakan untuk mendalami ilmu pengetahuan itu sendiri. Sebagai salah satu contoh adalah ayat Al-Quran yang membicarakan tentang fungsi kulit, yaitu Sesungguhnya orang-orang yang kafir terhadap ayat Kami kelak akan Kami masukkan mereka ke dalam neraka, setiap kulit mereka hangus, kami ganti kulit mereka dengan kulit yang lain supaya mereka merasakan azdab. (QS. An-Nisa’: 56)
Kenapa Allah menggunakan kata ”kulit” untuk merasakan azdab. Ternyata setelah diteliti oleh Prof. Tejatat Tejasen (non muslim) di Thailand, kulit adalah indera perasa yang paling sensitif. Yang akhirnya setelah mendengar ayat tersebut Profesor tersebut masuk Islam. Kenapa malah orang non muslim yang mau menyelami lautan ilmu Al-Quran?.
Ketiga, ummat Islam terjebak dengan masalah politik (kekuasaan) khususnya di Indinesia. Bukan berarti Islam melarang untuk berpolitik praktis, akan tetapi ummat Islam lebih cenderung mengikuti egoisme masing-masing yaitu untuk mendapatkan kekuasaan. Kita lihat di Indonesia, partai-partai yang bernnafaskan Islam sangat banyak sekali. Anehnya antar satu partai dengan partai yang lain saling mengedepankan ego masing-masing. Hal ini sungguh akan mengantarkan ummat Islam kepada kemunduran. Karena secara internal ummat Islam sendiri sudah berpecah belah. Bukankan Islam telah menganjurkan persatuan dan kerjasama muslim?.
Banyak sekali sebenarnya penyebab kenapa ummat Islam saat ini mundur, akan tetapi akar permasalahannya adalah mental ummat Islam saat ini sangat lemah, baik mental untuk maju, mental untuk melawan peradaban barat, mental untuk menuntut ilmu, maupun mental untuk bersatu. Untuk itu, yang perlu diperbaiki untuk mengembalikan peradaban Islam yang telah diambil Barat adalah memperbaiki mental ummat Islam.
Untuk mengembalikan mental tersebut diperlukan kesadaran dari semua ummat Islam, khususnya bagi mereka yang menjadi tokoh di tengah-tengan masyarakat kaum muslimin. Untuk memangun kesadaran tersebut, diperlukan suntikan-suntinkan semangat quraniyah yang ada di dalam kitab suci Al-Quran sendiri. Karena di dalam Al-Quran sudah banyak ajakan terhadap ummat Islam untuk maju dan mengembangkan potensi diri dan masyarakat. Sehingga pada intinya saat ini ummat Islam benar-benar dituntut untuk memahami Al-Quran dan Hadits secara komperehensif atau kontekstual tidak sebatas pada makna tekstualnya saja.
.
*Penulis adalah
Peneliti di Pusat Studi Islam (FORSIFA)
Unmuh Malang, Jawa Timur

Minggu, 28 Juni 2009

perbandingan pemikiran pendidikan

Oleh: Muhammad Rajab
NIM: 07110037
(dikumpulakan tanggal: 24 Juni 1986)

1. Di bawah ini adalah pemaparan dan perbandingan pemikiran pendidikan Al-Gazali dengan pemikiran pendidikan ibnu Khaldun;
- Pemikiran Pendidikan Al-Gozali
Pemikiran pendidikan Al-Gozali masuk ke dalam aliran konservatif. Hal ini bisa dilihat dari penjelasan Al-Gozali tentang tujuan pendidikan. Tujuan pendidikan menurut Al-Gazali adalah:
a. Sebagai wujud ibadah kepada Allah SWT.
b. Pembentukan akhlakul karimah
c. Mengantarkan peserta didik mencapai kebahagiaan dunia akhirat.
Selain itu menurut Al-Gazali juga, pendidikan merupakan sarana utama untuk menyiarkan ajaran Islam, memelihara jiwa, dan taqarrub ilallah. Oleh karena itu pendidikan merupakan ibadah dan peningkatan kualitas diri. Sedangkan pendidikan yang baik menurut Al-Gazali merupakan jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah dan mendapatkan kebahagiaan dunia akhirat.
Kaitannya dengan pendidik, Al-Gazali mengatakan bahwa pendidik adalah orang yang berusaha membimbing, meningkatkan, menyempurnakan, dan mensucikan hati sehingga dengan Khaliqnya. Sedangkan peserta didik menurutnya memiliki tugas dan kewajiban, yaitu:
a. Mendahulukan kesucian jiwa
b. Bersedia merantaru untuk mencari ilmu pengetahuan
c. Jangan menyombongkan ilmunya dan menentang guru
d. Mengetahui kedudukan ilmu pengetahuan.
Sedangkan pembagian ilmu menurut Al-Gazali ada dua macam, yaitu ilmu syar’iyah. Sementara dilihat dari sifatnya, ilmu dibagi menjadi dua macam juga, yaitu ilmu mahmudah (terpuji) dan ilmu madzmumah (tercela). Ilmu yang terpuji wajib dicari dan yang tercela wajib dihindari .
- Pemikiran Pendidikan Ibnu Khaldun
Ibnu Khaldun jika digolongkan kepada tiga macam aliran dalam pendidikan, maka ia masuk dalam kategori aliran pragmatis. Aliran yang lebih mengedepankan aspek hasil dan tujuan dari pendidikan tersebut. Sedangkan pendekatan yang digunakan oleh Ibnu Khaldun menurut Rasyidin adalah pendekatan filosofis empiris.
Menurut Ibnu Khaldun paling tidak ada 3 tujuan yang hendak ingin dicapai dalam proses pendidikan, yaitu:
a. Pengembangan kemahiran dalam bidang tertentu.
b. Penguasaan keterampilan profesional sesuai dengan tuntutan zaman.
c. Pembinaan pemikiran yang baik.
Terkait dengan pendidik, Ibnu Khaldun mengatakan, ada 6 prinsip utama yang perlu diperhatikan oleh seorang pendidik, yaitu: prinsip pembiasaan, prinsip tadrij (beransur-ansur), prinsip pengenalan umum (generalistik), prinsip kontinuitas, memperhatikan bakat dan kemampuan peserta didik, dan menghindari kekerasan dalam mengajar.
Sedangkan terkait dengan pembagian ilmu, Ibnu Khaldun membagi ilmu pengetahuan kepada dua bagian, yaitu ilmu pengetahuan syar’iyah dan ilmu pengetahuan filosofis. Ilmu pengetahuan syar’iyah berkenaan dengan hukum dan ajaran agama Islam. Sementara ilmu pengetahuan filosofis meliputi logika, fisika, metafisikan dan matematika.
2. Sebelum menganilis kelemahan kurikulum pendidikan Islam, saya rasa perlu untuk mendifinisikan kurikulum terlebih dahulu. Menurut Al-Syaibany, kurikulum adalah sejumlah pengalaman pendidikan, kebudayaan, sosial, olahraga, dan keseniaan yang disediakan oleh sekolah bagi murid-murid di dalam dan di luar sekolah dengan maksud menolongnya untuk berkembang menyeluruh dalam segala segi dan merubah tingkah laku mereka sesuai dengan tujuan-tujuan pendidikan.
Melihat definisi di atas, Nur Unbiyati mengambil kesimpulan bahwa kurikulum mempunyai empat unsur utama, yaitu:
a. Tujuan-tujuan yang ingin dicapai oleh pendidikan itu. Dengan lebih tegas lagi orag yang bagaimana yang ingin kita bentuk melalui pendidikan.
b. Pengetahuan, informasi-informasi, data-data, aktivitas-aktivitas, pengalaman-pengalaman dari mana terbentuk kurikulum itu. Atau bisa disebut dengan istilah mata pelajaran.
c. Metode dan cara-cara mengajar yang dipakai oleh guru dan mendorong murid-murid untuk belajar dan membawa mereka ke arah yang dikehendaki oleh kurikulum.
d. Metode dan cara penilaian yang digunakan dalam mengukur dan menilai kurikulum serta hasil proses pendidikan yang direncanakan oleh kurikulum seperti Ujian Akhir (UN), Ujian Akhir Sekolah (UAS) dan lainnya.
Berdasarkan uraian tentang definisi di atas, saya menemukan beberapa kelemahan dalam kurikulum pendidikan Islam, khususnya pada 4 unsur kurikulum yang telah disebutkan oleh Nur Unbiyati di atas, yaitu:
a. Tujuan pendidikan Islam pada dasarnya adalah menciptakan manusia yang berakhakul karimah dan bertakwa kepada Allah (insan kamil). Tujuan ini menurut saya harus dikembangkan sesuai dengan perkembangan zaman. Sehingga titik kelemahan tujuan pendidikan Islam saat ini menurut saya pada sifatnya yang statis. Untuk itu perlu dirumuskan kembali tujuan pendidikan Islam yang benar mencakup tidak hanya hubungan dengan Allah, akan tetapi juga dengan diri sendiri, dan masyarakat sesuai dengan kebutuhan manusia pada zamannya.
b. Dari segi mata pelajarannya, mata pelajaran pendidikan Islam terlihat stagnan. Tidak ada pengembangkan sesuai dengan perkembangan permasalahan di era modern. Akibatnya, anak didik tidak dapat meecahkan permasalahan-permasalahan yang berkembang saat ini disebabkan materi pelajaran yang diberikan sangat statis dan tidak menyentuh aspek permasalahan masa kini.
c. Metode pengajarannya yang tidak aktif (pasif) atau sangat monotone. Sehingga terlihat kaku dan tidak dinamis, seperti pembicaraan yang satu arah (ceramah). Murid hanya diam mendengarkan apa yang dikatakan oleh guru. Akibatnya murid juga ikut pasif dan tidak bisa mengaktualisasikan kemampuannya baik di kelas maupun di luar kelas.
d. Sistem evaluasi yang kurang tepat, seperti tidak adanya kontrol terhadap murid ketika dala lingkungannya. Keberhasilan pendidikan Islam tidak bisa diukur dengan nilai ujian yang tinggi. Akan tetapi keberhasilan pendidikan Islam harus diukur dari tingkat moralitas anak. Dan guru tentnya harus bekerja sama dengan wali murid melakuakan evaluasi terhadap peserta didiknya.
Sebagai salah contoh hasil penerapan kurikuum tersebut, Banyak siswa-siswa yang di sekolah terlihat baik. Namun ternyata dilingkungannya bertindak amral, seperti minu-minuan keras, mencuri, melakukan kekerasan, terlibat Narkoba dan lainnya. Hal ini sebagai akibat dari sistem kontrol (evaluasi) kurikulum pendidikan Islam yang salah.
3. Dalam dualisme payung pengelolaan lembaga pendidikan Islam mempunyai kelemahan (kekurangan) dan kekuatan (kelebihan). Adapun kelemahannya adalah adanya kerancuan atau kebingungan dalam pengembangan kurikulumnya. Apaah lembaga tersebut akan mengikuti Depag atau Diknas. Karena antara Depag dan Diknas di beberapa sisi banyak perbedaan.
Adapun kekuatannya adaah bahwa lembaga pendidikan pendidikan Islam yang berada di bawah payung dualisme tersebut mempunyai kekuatan hukum yang kuat. Hal ini berbeda ketika lembaga pendidikan Islam hanya berada di bawah Depag atau Diknas saja. Selain itu, menurut Abdul Aziz, ketika pendidikan Islam juga berada di bawah naungan Diknas, maka hal ini membuka ruang gerak bagi pendidikan agama untuk lebih mengembangkan metode dan kurikulum pendidikan agama yang telah ada. Hal lain dari kekuatan tersebut adalah dualisme payung kelembagaan akan lebih banyak peluang untuk mendapatkan dana pengembangan pendidikan dibanding dengan hanya berada di bawah payung Depag atau Diknas saja.
Pada Bagian Kesembilan dari Undang-Undang Sisdiknas disebutkan, religiusitas ditampilkan dalam bentuk akomodasi terhadap Pendidikan Keagamaan sebagai komponen pendidikan nasional. Ada empat hal penting berkaitan dengan Pendidikan Keagamaan yang diatur dalam Pasal 30 dari UU Sisdiknas ini, yaitu kewenangan, fungsi, jalur, dan bentuk pendidikan keagamaan. Tentang fungsi pendidikan keagamaan pasal ini menyebutkan tiga kompetensi yang harus dicapai peserta didik, yaitu 1) memahami nilai-nilai ajaran agama, 2) mengamalkan nilai-nilai ajaran agama, dan 3) menjadi ahli ilmu agama.

REFERENSI
Asy-Syaibany. 1997. Falsafah Pendidikan Islam. Bandung: Bulan Bintang
Aziz, Abdul. 2007. Konfigurasi Politik Pendidikan Nasional. Yogyakarta: Pustaka Fahmi
http://lpmpalmuhajirin.blogspot.com/2009/03/pendidikan-islam-dalam-sisdiknas-part_8418.html

Unbiyati, Nur. 1999. Ilmu Pendidikan Islam. Bandung: CV Pustaka Setia

Pendidikan Islam dan Perubahan Sosial (Suatu Teori tentang Pendidikan Islam dalam Pengembangan Masyarakat)

Oleh: Muhammad Rajab

Pendahuluan
Kondisi masyarakat Indonesia saat ini sungguh sangat memprihatinkan. Berbagai macam kasus atau perilaku sosial yang amoral sering kali terjadi, mulai dari perampokan, pelecehan seksual, pencurian, minum-minuman keras, narkoba, kekerasan dan lain sebagainya. Padahal, di Indonesia banyak lembaga-lembaga pendidikan. Seharusnya dengan adanya lembaga pendidikan maka kondisi bangsa juga akan menjadi baik.
Hal di atas sungguh sangat paradoks. Di satu sisi Indonesia mempunyai banyak lembaga pendidikan, mulai dari tingkat Taman Kanak-Kanak hingga perguruan tinggi (PT). Namun di sisi lain, Indonesia mengalami dekadensi moral. Sehingga menjadikan situasi sosial masyarakat sangat tidak kondusif.
Lebih-lebih masyarakat Indonesia adalah mayoritas muslim, dan juga mayoritas pelaku kejahatan sosial juga mengaku dirinya muslim. Satu hal yang menjadi tanda tanya besar. Kenapa bangsa Indonesia yang mayoritas muslim masih banyak ditemukan kejahatan-kejahatan di masyarakat?.
Menurut penulis letak kesalahannya adalah pada pendidikan moralnya yang kurang optimal. Dalam hal ini, pendidikan Islam memegng peranan penting untuk merubah kondisi sosial masyarakat Indonesia. Karena Islam adalah agama yang telah menyebarkan nilai-nilai sosial mulia, seperti nilai moralitas, humanitas dan religiusitas. Maka sudah saatnya pendidikan Islam sadar akan perannya di tengah kondisi bangsa yang morat-marit ini.
Oleh karena itu penulis tertarik untuk mengangkat judul Pendidikan Islam dan Perubahan Sosial; Suatu Teori tentang Pendidikan Islam dalam Pengembangan Masyarakat. Dengan harapan, pendidikan Islam bisa lebih diperhatikan lagi oleh para praktisi pendidikan. Karena peran pendidikan Islam dalam perubahan dan pengebangan kualitas sosial Indonesia sangat besar. Sehingga saya rasa pembahasan ini sangat perlu diulas, walaupun sudah banyak akademisi yang telah mengkaji tentang pendidikan dan perubahan sosial.

Definisi Pendidikan Islam, Perubahan Sosial dan Masyarakat
1. Pendidikan Islam
Ki Hajar Dewantara mengartikan pendidikan adalah daya upaya untuk memajukan budi pekerti (kekuatan batin), pikiran dan jasmani anak-anak selaras dengan alam dan masyarakatnya. Sedangkan Sismono La Ode mengatakan, pendidikan merupakan proses pendewasaan anak melalui berbagai program dan kegiatan dalam konteks, baik formal maupun non formal. Dan hasil akhir pendidikan adalah pembentukan insan yang berkualitas, berakhlak mulia, beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, mandiri dan berguna bagi sesama manusia, masyarakat dan bangsanya.
Di dalam Islam terdapat tiga istilah pendidikan Islam, yatiu tarbiyah, ta’lim dan ta’dib. Pertama, kata raba yarbu, yang berarti bertambah atau tumbuh. Kedua, kata rabia yarba, yang berarti tumbuh dan berkembang. Ketiga, kata raba yarubbu yang berarti memperbaiki, menguasai, memimpin, menjaga dan memelihara. Firman Alah yang mendukung istilah tarbiyah antara lain terdapat pada surat Al-Isra’ ayat 24.
Istilah kedua adalah ta’lim. Menurut Abdul Fatah Jalal, ta’lim adalah proses pembelajaran secara terus menerus sejak manusia lahir melalui pengembangan fungsi-fungsi pendengaran, penglihatan dan hati. Adapun istilah ta’dib menurutnya berasal dari kata adab yang berarti berarti pengenalan dan pengakuan tentang hakikat bahwa pengetahuan dan wujud bersifat teratur secara hirarkis sesuai dengan berbagai tingkatan dan derajat tingkatannya serta tempat seseorang yang tepat dalam hubungannya dengan hakikat itu serta dengan kapasitas dan potensi jasmani, intelektual, maupun rohani seseorang. Dengan demikian ini, kata adab mencakup pengertian ilmu dan amal.
Sedangkan menurut Yusuf al-Qardawi, Pendidikan Islam adalah pendidikan manusia seutuhnya, yakni akal dan hatinya, rohani dan jasmaninya, akhlak dan keterampilannya, karena itu, pendidikan Islam menyiapkan manusia untuk hidup baik dalam keadaan damai maupun perang, dan menyiapkan untuk menghadapi masyarakat dengan segala kebaikan dan kejahatannya, manis dan pahitnya.
Adapun Nur Unbiyati mendefinisikan pendidikan Islam sebagai suatu sistem kependidikan yang mencakup seluruh aspek kehidupan yang dibutuhkan oleh hamba Allah. Oleh karena itu Islam memberikan pedoman kepada seluruh manusia baik di dunia maupun di akhirat.
2. Perubahan Sosial
Kingsey Davis mendefinisikan perubahan sosial sebagai perubahan-perubahan yang terjadi dalam struktur dan fungsi masyarakat. Sedangkan Mac Iver sebagaimana yang dikutip oleh Arifin, mengartikan perubahan sosial adalah perubahan-perubahan dalam hubungan sosial sebagai perubahan terhadap keseimbangan (equilibrium) hubungan sosial.
Gillin mengatakan perubahan-perubahan sosial sebagai variasi dari cara-cara hidup yang telah diterima, baik karena perubahan-perubahan kondisi geografis, kebudayaan material, komposisi penduduk, ideologi maupun karena adanya difusi ataupun penemuan-penemuan baru dalam masyarakat.
Sementara Selo Soermarjan merumuskan perubahan sosial merupakan segala perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan di dalam suatu masyarakat, yang mempengruhi sistem sosialnya, termasuk di dalamnya nilai-nilai, sikap dan pola perilaku di antara kelompok-kelompok dalam masyarakat.
Menurut Kuntowijoyo, ada tiga tahapan perubahan masyarakat. Pertama, tahap masyarakat ganda, yakni ketika terpaksa ada pemilahan antara masyarakat madani (civil society) dengan masyarakat politik (political society) atau antara masyarakat dengan negara. Karena adanya pemilahan ini, maka dapat terjadi negara tidak memberikan layanan dan perlindungan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakatnya. Kedua, tahap masyarakat tunggal, yaitu ketika masyarakat madani sudah berhasil dibangun. Ketiga, tahap masyarakat etis (ethical society) yang merupakan tahap akhir dari perkembangan tersebut. Masyarakat etis, yakni masyarakat yang dibentuk oleh kesadaran etis, bukan oleh kepentingan bendawi.
3. Masyarakat
Masyarakat adalah suatu kehidupan bersama di suatu wilayah dan waktu tertentu dengan pola-pola kehidupan yang terbentuk oleh antarhubungan dan inteaksi warga masyarakat itu dengan alam sekitar. Menurut Ogburn dan Nimkoff dalam bukunya Sosiology , mengatakan, suatu masyarakat ialah suatu kelompok atau sekumpuan kelompok yang mendiami suatu daerah. Sedangkan Prof. Robert memberi batasan masyarakat, bahwa istilah masyarakat dapat diartikan sebagai suatu kelompok manusia yang hidup bersama di suatu wilayah dengan tata cara berpikir dan bertidak yang relatif sama yang membuat warga masyarakat itu menyadari diri mereka sebagai suatu kesatuan (kelompok).
Sedangkan menurut Ishomuddin, masyarakat adalah kumpuan sekian banyak individu baik kecil maupun besar yang terikat oleh satuan, adat, ritus, atau hukuman khas, dan hidup bersama. Ada beberapa kata yang digunakan al-Quran untuk menunjuk arti masyarakat atau kumpulan manusia, yaitu qaum, ummah, syu’ub, dan qabail. Di samping itu al-Quran juga memperkenalkan masyarakat dengan sifat-sifat tertentu seperti, al-mustakbirun, al-mustadh’afun dan lain sebagainya.

Perubahan Sosial dalam Islam
Islam sebagai agama rahmat bagi seluruh alam, tentu sangat memperhatikan keadaan masyarakat. Hal ini terlihat dari bukti sejarah, bagaimana Nabi Muhammad SAW membangun masyarakat Arab. Kemudian terus berkembang hingga Islam tersebar ke seuruh penjuru dunia. Dan sudah barang tentu, Islam membangun masyarakat melalui pendidikan. Karena proses pendidikan merupakan saah satu cara yang efektif dalam membangun umat. Allah SWT berfirman:
”Sesungguhnya Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum hingga mereka mau merubah diri mereka sendiri”

Untuk meakukan sebuah perubahan, maka ada dua hal yang perlu diperhatikan oleh manusia sebagai pelaku perubahan, yaitu:
1. Membangun kecerdasan dan memperluas wawasan
Manusia sebagai makhluk yang luar biasa mempunyai potensi yang luar biasa besarnya sehingga dapat mendayagunakan alam dan sesama manusia dalam rangka mebangun peradaban. Kemajuan suatu bangsa pada umumnya ditentukan oleh bangsa itu dalam mendayagunakan sumber daya manusia melalui pergumulannya mengembangkan ilmu pengetahuan. Maka sudah barang tentu di dalam proses pendidikan manusia menempati sebagai subjek dan objek pendidikan itu sendiri.
Banyak indikasi di dalam al-Quran yang memerintahkan supaya manusia, khususnya umat Islam bersikap cerdas dan selalu menambah wawasan keilmuannya, di antaranya, pertama, Allah memerintahkan manusia agar senntiasa berpikir dan menggunakan pikirannya untuk memecahkan permasalahan-permasalahan hidup yang dihadapi. Dan potensi untuk menambah wawasan tersebut sudah Allah sediakan untuk manusia, seperi penglihatan, pendengaran dan perasaan.
Perkebangan keintelektualan manusia menurut konsep Islam tidak hanya hanya dengan usaha manusia akan tetapi Tuhan-lah yang menentukan. Namun demikian manusia keturunan Adam haruslah bekerja dan belajar keras untuk memanfaatkan otak dan akal pemberian Tuhan demi kepentingan manusia sendiri. Dan Allah akan memberikan pengetahuan yang diinginkan manusia baik secara langsung maupun tidak jika manusia mau berusaha.
Kedua, Allah SWT memberikan kebebasan untuk menuntut ilmu, kalau bahasanya Malik Fajar adalah Allah telah melakukan liberalisasi dalam bidang ilmu. Semua manusia (khususnya muslim) baik laki-laki maupun perempuan diwajibkan mencari ilmu kepada siapa saja, kapan saja dan di mana saja. Kemudian orang-orang yang sudah mendapatkan ilmu diperintahkan oleh Allah SWT untuk menyebarkan ilmu tersebut serta tidak menyembunyikannya. Hal ini dimaksudkan untuk kemaslahan umat manusia.
Ketiga, Dengan akal manusia diperintahkan untuk membuktikan kekuasaan Allah dengan cara mengkaji dan mengelola alam demi keperluan hidupnya, tetapi juga dilarang untuk berbuat kerusakan dan pertumpahan darah. Keempat, manusia diperintahkan untuk fantasyiru fil ’ardh (bertebaran di muka bumi) dalam rangka mencari ilu pengetahuan. Karena setiap bangsa diberi ilmu keistimewaan sendiri-sendiri. Dan ilmu pengetahuan atau perkembangan pemikiran umat manusia tidak berhenti, apalagi mundur, melainkan terus berputar dan berpindah dari suatu bangsa pada kurn waktu tertentu.
Kelima, kecintaan terhadap informasi atau ilmu pengetahuan yang akhirnya menumbuhkan pada kecintaan kegiatan belajar. Sebagaimana yang telah diketahui, bahwa al-Quran pertama diturunkan adalah perintah untuk membaca, yaitu mengkaji tentang hakikat Tuhan, manusia, alam, hubungan antara ketiganya, serta fungsi masing-masing.
2. Membangun etos kerja
Untuk menuju kepada sebuah perbahan sosial yang signifikan, Islam sangat memperhatikan etos kerja. Karena etos kerja-lah yang akan menjadi pendorong bagi manusia untuk bergerak menuju arah perubahan. Hal ini telah dibuktikan oleh sejarah, bagaimana nabi Muhammad SAW bisa menguasai daerah Arab dan sekitarnya dan kemudian akhirnya Isam tersebar di seluruh penjuru dunia serta dapat mengubah peradaban manusia. Semua itu karena etos kerja umat Islam sangat kuat. Untuk itu, menurut Malik Fadjar ada beberapa hal penting yang perlu kita ketahui, yaitu:
Pertama, Di dalam Islam, motivasi dasar yang harus diletakkan oleh setiap muslim dalam menjalankan hidup ini adalah pengabdian kepada Allah semata. Islam mengajarkan dalam hidup dan segala aspeknya termasuk dalam mengelola pendidikan dan melakukan perubahan sosial harus diniatkan sebagai pengabdian kepada Allah.
Kedua, al-Quran menegaskan bahwa cara terbaik untuk mendapatkan prestasi dalam hidup adalah dengan bekerja. Karena pada dasarnya seseorang tidak akan memperoleh sesuatu kecuali sesuai dengan apa yang ia usahakan. Ketiga, Dalam hidup dan bekerja, Islam menganjarkan akan pentingnya berorientasi pada masa depan, kerja keras, teliti, hati-hati, menghargai waktu, penuh rasa tanggung jawab, dan berorientasi pada prestasi.
Artinya menurut Malik Fadjar adalah hidup harus punya cita-cita, hidup dalam Islam harus hemat dan berpola sederhana seta tidak konsumtif dan berlebihan atau tidak kikir. Selain itu, kerja santai, tanpa rencana, malas, boros tenaga, waktu dan biaya adalah bertentangan dengan nilai-nilai ajaran Islam. Dan semua masalah yang menjadi tanggung jawabnya harus dihadapi dengan penuh rasa tanggung jawab (responsibility) dan penuh perhitungan. Islam juga menilai, sebaik-baik pekerjaan adalah yang dikerjakan dengan sebaik-baiknya (ahasana ’amala).

Menuju Masyarakat Madani
Dalam bahasa Arab, kata “madani” tentu saja berkaitan dengan kata “madinah” atau ‘kota”, sehingga masyarakat madani bisa berarti masyarakat kota atau perkotaan . Meskipun begitu, istilah kota di sini, tidak merujuk semata-mata kepada letak geografis, tetapi justru kepada karakter atau sifat-sifat tertentu yang cocok untuk penduduk sebuah kota. Dari sini kita paham bahwa masyarakat madani tidak asal masyarakat yang berada di perkotaan, tetapi yang lebih penting adalah memiliki sifat-sifat yang cocok dengan orang kota, yaitu yang berperadaban. Dalam kamus bahasa Inggris diartikan sebagai kata “civilized”, yang artinya memiliki peradaban (civilization), dan dalam kamus bahasa Arab dengan kata “tamaddun” yang juga berarti peradaban atau kebudayaan tinggi.
Adapun menurut di Suharto, ada beberapa kriteria masyarakat madani, yaitu:
1. Terintegrasinya individu-individu dan kelompok-kelompok ekslusif kedalam masyarakat melalui kontrak sosial dan aliansi sosial.
2. Menyebarnya kekuasaan sehingga kepentingan-kepentingan yang mendominasi dalam masyarakat dapat dikurangi oleh kekuatan-kekuatan alternatif.
3. Dilengkapinya program-program pembangunan yang didominasi oleh negara dengan program-program pembangunan yang berbasis masyarakat.
4. Terjembataninya kepentingan-kepentingan individu dan negara karena keanggotaan organisasi-organisasi volunter mampu memberikan masukan-masukan terhadap keputusan-keputusan pemerintah.
5. Tumbuhkembangnya kreatifitas yang pada mulanya terhambat oleh rezim-rezim totaliter.
6. Meluasnya kesetiaan (loyalty) dan kepercayaan (trust) sehingga individu-individu mengakui keterkaitannya dengan orang lain dan tidak mementingkan diri sendiri.
7. Adanya pembebasan masyarakat melalui kegiatan lembaga-lembaga sosial dengan berbagai ragam perspektif.
Dari beberapa ciri tersebut, kiranya dapat dikatakan bahwa masyarakat madani adalah sebuah masyarakat demokratis dimana para anggotanya menyadari akan hak-hak dan kewajibannya dalam menyuarakan pendapat dan mewujudkan kepentingan-kepentingannya, di mana pemerintahannya memberikan peluang yang seluas-luasnya bagi kreatifitas warga negara untuk mewujudkan program-program pembangunan di wilayahnya.
Melihat beberapa definisi di atas, penulis bisa menyimpulkan bahwa inti dari semuanya bahwa masyarakat madani adalah masyarakat yang berperadaban. Namun, peradaban dalam Islam lebih ditekankan pada aspek moralitas. Dan moralitas tersebut tentunya dibentuk melalui ilmu pengetahuan yang memiliki nilai-nilai universal.
Sehingga pendidikan Islam dalam pembentukan masyarakat madani atau dalam merubah suatu kondisi sosial masyarakat mempunyai peranan penting. Oleh karen itu pendidikan Islam memerlukan inovasi-inovasi baru dan menyesuaikan dengan perkembangan teknologi untuk menciptakan sebuah peradaban di masanya.
Untuk itu tujuan pendidikan Islam sekarang tidak hanya untuk pembentukan akhlakul karimah atau bertakwa kepada Allah (IMTAQ). Akan tetapi juga bagaimana pendidikan Islam saat ini juga diarahkan untuk menguasai imu pengetahuan dan teknologi (IPTEK). Hal ini dimaksudkan untuk mengadakan perubahan yang signifikan di tengah-tengah masyarakat melalui pendidikan Islam.
Secara teoritis, menurut John Dewey, pendidikan merupakan metode fundamental untuk mewujudkan dan meperbaharui masyarakat. Maka dalam hal ini pendidikan benar-benar merupakan sarana yang sangat signifikan untuk melakukan perubahan di masyarakat.
Untuk itu, yang perlu diperhatikan lagi adalah pendidikan yang mana?. Apakah pendidikan yang tidak dikelola dengan baik dan benar bisa membawa sebuah perubahan. Namun demikian, pada dasarnya pendidikan merupakan metode yang efektif dalam mengadakan sebuah perubahan sosial. Karena hal ini sudah benar-benar teruji.
Secara historis, pendidikan Islam yang telah dilakukan oleh nabi Muhammad melalui dakwahnya kepada masyarakat Arab saat itu benar-benar telah menghasilkan sebuah perubahan sosial, baik di Makkah lebh-lebih di Madinah. Sebagian pakar ada yang mengatakan, masyarakat madani diambil dari kata Madinah, kota tempat Rasulullah hijrah. Karena di sana Rasulullah benar-benar telah memajukan peradabannya, seperti mengadakan perdamaian walaupun masyarakat Madinah terdiri dari berbagai macam suku dan agama.
Oleh karena itu membuat sebuah perubahan masyarakat melalui pendidikan Islam merupakan satu keniscayaan. Sekarang tergantung pada manusia sebagai pelaku pendidikan bagaimana mengelola pendidikan Islam menuju pendidikan Islam yang berkualitas dan benar-benar mampu menghailkan manusia-manusia yang siap mengadakan perubahan di daerah masing-masing.

Kesimpulan
Dari beberapa penjelasan di atas dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa kondisi sosial umat Islam saat ini sungguh sangat memprihatinkan. Untuk itu diperlukan pembangunan sosial melalui pendidikan Islam. Tentu pendidikan tersebut harus dikelola dengan baik manajemen, kurikulum dan segala aspek yang terkait dengan pendidikan. Karena sejarah telah membuktikan bahwa Islam ternyata pernah menciptakan perubahan besar-besaran pada abad pertengahan.

Daftar Pustaka
Arifin. 2007. Konfigurasi Politik Pendidikan Nasional. Yogyakarta: Pustaka Fahima.
Fadjar, Malik. 1999. Reorientasi Pendidikan Islam. Jakarta: Yayasan Pendidikan Islam Fajar Dunia
http://islamkuno.com/2008/01/16/masyarakat-madani-civil-society-dan-pluralitas-agama-di-indonesia/, (diakses, 20 Juni 2009)
Ishomuddin. 2005. Sosiologi Perspektif Islam. Malang: UMM Press
Jalal, Abdul Fatah. 1998. Azas-azas Pendidikan Islam. Bandung: Diponegoro.
Jalal, Faisal & Supriadi, Dedi. 2001. Reformasi Pendidikan Dalam Konteks Otonomi Daerah. Yogyakarta: Adicita Karya Nusa
Ode, Sismono La. 2006. Di Belantara Pendidikan Bermoral. Yogyakarta: UNY Press.
Ridwan. 2009. Pendidikan Islam dan Moralitas. http://ridwan202.wordpress.com/2008/04/16/pendidikan-islam-dan-moralitas/, (diakses, 27 Juni 2009)
Soeanto, Soerjno. 1999. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Suharto, Edi. 2009. Masyarakat Madani: Aktualisasi Profesionalisme Community Workers dalam Mewujudkan Masyarakat Yang Berkeadilan, http://www.policy.hu/suharto/modul_a/makindo_16.htm, (diakses, 20 Juni 2009)
Syam, Muhammad Nur. 1998. Filsafat Pendidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan Pancasila. Suarabaya: Usaha Nasional
Unbiyati, Nur. 1999. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: CV Pustaka Setia.