Jumat, 30 Oktober 2009

PENDIDIKAN DAN KEPENTINGAN POLITIK

Oleh: Muhammad Rajab*
Secara historis, memang perjalanan sistem pendidikan di Indonesia cukup panjang. Pada mulanya masyarakat Nusantara telah mengenal pendidikan keagamaan, yaitu pendidikan Hindu dan Budha. Agama Hindu yang tampaknya menganut istilah kasta berpegang teguh pada sistem pendidikan feodalistik. Hanya keluarga Brahmana yang dapat mengenyam pendidikan. Selain itu, ada juga sistem petapa. Dalam hal ini, para peserta didik mengunjungi orang yang bertapa sebagai guru yang mengajarkan agama Hindu.
Berbeda halnya dengan agama Budha yang menganut sistem pendidikan yang lebih demokratis dibandingkan dengan agama Hindu. Karena memang di dalam ajaran Budha tidak mengenal kasta. Jadi pendidikan diperuntukkan untuk umum dan bukan hanya untuk satu golongan saja.
Adapun di zaman kesultanan Islam pendidikan disinkronisasikan dengan misi dakwah. Pada saat itu sudah dikenal sistem pendidikan surau atau langgar dan sistem pendidikan pondok pesantren. Sistem pesantren ini kemudian dimasukkan ke dalam kancah politik setelah datangnya kolonial Belanda.
Dalam pandangan kaum kolonial, pondok pesantren dianggap sebagai kaum pemberontak. Atas dasar penilaian ini, maka pesantren tidak lagi tercantum dalam statistik pendidikan Hindia Belanda. Upaya untuk menutup pengembangan sistem pendidikan Islam di Nusantara nampaknya terkait dengan kebijakan politik kolonial. Hal ini dapat dibuktikan dengan munculnya Undang-Undang Sekolah Liar (wilden Scholen Ordonantie), masing-masing tahun 1925 dan 1930. Institusi pendidikan yang memenuhi Undang-Undang tersebut dianggap legal dan diberi subsidi dari pemerintah. Sedangkan yang tidak memenuhi ketentuan Undang-Undang dianggap liar dan harus dibubarkan.
Untuk mengantisipasi kebijakan politik Hindia Belanda tersebut, sejumlah organisasi sosial keagamaan mulai mengadopsi sistem pendidikan Barat. Organisasi ‘Jami’atul Khoiriah’ sebagai organisasi yang didirikan oleh para pedagang keturunan arab mempelopori berdirinya sistem pendidikan modern dalam Islam. Kemudian setelah itu baru diikuti oleh Muhammadiyah dan ormas-ormas Islam yang lain.
Terlepas dari itu semua, ternyata pendidikan erat kaitannya dengan poitik. Keduanya tidak dapat dipisahkan dalam sistem sebuah Negara. Menurut Sirozi (2005:1) seorang doktor alumnus Monash University of Australia, Pendidikan dan politik adalah dua elemen penting dalam sistem sosial politik suatu Negara, baik negara maju ataupun negara yang sedang berkembang. Senada dengan itu, Paulo Freire juga mengatakan bahwa masalah pendidikan tidak mungkin dilepaskan dari masalah sosio-politik, karena bagaimanapun kebijakan politik sangat menentukan arah pembinaan dan pengembangan pendidikan.
Keduanya sering dilihat oleh sebagian orang tidak ada kaitan dan hubungan, padahal politik dan pendidikan saling menopang dan saling mengisi satu sama lain. Pendidikan berperan penting dalam membentuk perilaku dan moralitas masyarakat di suatu Negara. Begitu juga sebaliknya, perilaku politik di suatu negara memberikan karakteristik pendidikan di negara tersebut. Hubungan tersebut merupakan realitas yang telah terjadi semenjak munculnya peradaban manusia dan sedang menjadi kajian penting para ilmuwan modern.
Hubungan erat antara pendidikan dengan politik dapat memberikan dampak positif dan negatif bagi perkembangan pendidikan. Dampak positif yang dapat dihasilkan dari hubungan keduanya adalah pemerintah sebagai pemegang peranan penting dalam politik dapat memberikan subsidi kepada pendidikan. Dengan adanya subsidi tersebut pendidikan bisa berkembang sebagaimana mestinya.
Selain itu, dalam sistem politik Islam, pendidikan merupakan satu hal yang sanagat urgen dalam pencapaian tujuan pemerintahan. Adapun tujuan pemerintahan Islam menurut Abdul Gaffar Aziz (1993:95) adalah menegakkan kebenaran dan keadilan. Tujuan itu tidak akan tercapai kecuali dengan melaksanakan syari’at. Dan syari’at tidak dapat berjalan bila ummat tidak memahami agama Islam. Sedangkan untuk memahamkan syari’at Islam kepada masyarakat sarananya tiada lain adalah melalui pendidikan.
Adapun Menurut Hari Sucahyo dalam artikelnya Menelusuri Persepsi Politik dalam Pendidikan, bila pendidikan telah terkooptasi sedemikian rupa dengan kebijakan politik, maka secara umum tidaklah menguntungkan, karena dimungkinkan terjadinya pembusukan dari dalam sebagai akibat penjinakan (domestikasi) dinamika pendidikan itu sendiri. Kondisi ini semakin diperparah dengan tidak memadainya kualifikasi orang-orang yang mengambil kebijakan, dalam arti mereka begitu minim pemahaman tentang pendidikan, sehingga tak mampu menyelami hakikat dan masalah dunia pendidikan. Oleh karena itu tidak aneh bila selama ini sektor pendidikan mereka jadikan sekedar kuda tunggangan. Sebab yang ada dalam benak mereka hanyalah kepentingan-kepentingan politik sesaat, seperti bagaimana mendapat sebanyak mungkin simpati dari golongan mayoritas tertentu serta bagaimana dapat menduduki kursi panas selama mungkin. Pendapat ini beliau kutip dari ucapan Tantowi Yahya dalam Who Wants to be Millioner.
Adapun menurut hemat penulis, hubungan antara politik pendidikan dapat memberikan dampak negatif atau positif bergantung pada pemegang peranan penting dalam politik tersebut. Jika pemegang tanggung jawab pendidikan dalam politik tidak mempunyai kompeten dalam bidang pendidikan, maka pasti ini sangat membahayakan pendidikan. Akan tetapi jika orang yang memegang amanah untuk mengembangkan pendidikan dalam sistem pemerintahan suatu negara adalah orang yang amanah serta mempunyai kapabilitas di bidang pendidikan maka ini sangat memungkinkan untuk memberikan kontribusi besar dalam pengembangan pendidikan, khususnya di Indonesia.
Melihat realitas tersebut, tidak sedikit orang yang menginginkan agar pendidikan benar-benar terpisah dari politik. Mereka mneginginkan antara pendidikan dan politik menjadi dua aspek yang terpisah dan tidak berhubungan. Mereka percaya bahwa pemisahan antara politik dan pendidikan dapat membebaskan lembaga-lembaga pendidikan dari berbagai politik kepentingan penguasa. Kecenderungan tersebut memuncak pada tahun 70-an, khususnya di Amerika Serikat. (Sirozi dalam Wirt, 1974:ii).
Terlepas dari itu semua, Jika kita melihat realitas politik di Indonesia saat ini, maka hendaknya pendidikan dijadikan satu hal yang netral, khususnya jika kita melihat kondisi politik di Indonesia saat ini. Ini dimaksudkan untuk menghindari terjadinya penyalahgunaan lembaga pendidikan sebagai penyalur dari kepentingan politik tertentu. Selain itu, jika pendidikan tidak dinetralisir dari dunia politik, maka kepentingan politik akan dimasukkan ke dalam lembaga pendidikan. Dan ini akan memecahkan konsentrasi lembaga terhadap pendidikan, yang pada akhirnya akan merusak nilai-nilai mulia pendidikan.

Sabtu, 24 Oktober 2009

BELAJAR DARI POHON PISANG

Oleh: Muhammad Rajab

Belajar merupakan satu keharusan bagi setiap orang. Seseorang tanpa belajar maka ia akan buta. Karena ilmu pengetahuan adalah cahaya. Jika cahaya hilang dari hadapan seseorang, maka dia akan kegelapan dan tidak tau arah harus ke mana dia akan berjalan, dan juga bingung harus berbuat apa.
Namun ilmu pengetahuan tidak harus di dapat di dalam kelas. Proses belajar tidak harus melalui buku buku atau tinta yang tertulis di atas kertas. Belajar juga tidak harus kepada guru atau dosen. Akan tetapi belajar bisa dilakukan dengan proses mandiri, yaitu dengan bersifat kreatif dan inovatif dalam mengembangkan ide.
Kereativitas belajar kita bisa dikembangkan melalui alam dan lingkungan. Alam yang yang penuh panorama yang indah dan keanekaragaman isinya merupakan guru bagi kita, jika mau berpikir secara jernih dan objektif. Ambil saja pohon pisang yang kita lihat sangat remeh jika dibandingkan dengan benda-benda alam semesta lainnya.
Sekarang kita belajar mencoba untuk menjadikan pohon pisang sebagai guru kita dalam beraktivitas dan berinteraksi dengan sahabat dan masyarakat. Banyak pelajaran yang bisa diambil dari guru yang tidak bisa bicara ini. Coba kita berpikir sejenak untuk melihat apa saja yang dimiliki oleh pohon pisang serta sifat-sifat apa saja yang melekat padanya.
Dari yang paling bawah, pisang mempunyai akar, batang, daun, dan buah. Selain itu pohon pisang juga mempunyai tunas. Akar pohon pisang merupakan satu pondasi yang menjadikan semua anggotanya yang lain ada. Tidak ada akar maka batang, daun dan buah tidak akan ada. Karena akar adalah pondasi yang menjadikan pohon pisang bisa berdiri.
Kemudian batang pohon pisang merupakan penyanggah agar pohon tersebut tetap berdiri kokoh dan dapat menyokong anggota yang lain. Begitu juga dengan daun yang merupakan satu alat untuk berfotosintesis yang menjadikan pohon tetap bisa hidup dan segar dengan sinar matahari. Adapun buah merupakan satu hasil dari kerjasama para anggota pohon pisang tersebut. Pelajaran apa yang bisa kita ambil untuk dipraktekkan dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa?.
Pelajaran yang bisa diambil dari pohon pisang tersebut adalah pertama, Bahwa sebelum berbuat dan beraktivitas seharusnya kita punya dasar atau pedoman dulu untuk dijadikan sebagai hujjah (penguat) atas perbuatan kita. Ini dimaksudkan supaya perbutan kita tidak asal-asalan dan sembarangan. Akan tetapi punya sandaran berupa ilmu pengetahua.
Kedua, Dalam hidup kita membutuhkan orang lain untuk dijadikan sebagai penyanggah atau pendukung kita dalam melakukan satu aktivitas. Karena manusia adalah makhluk sosial yang tidak boleh lepas dari bantuan dan kerjasama dengan orang lain. Pelajaran ini ada pada batang pisang yang selalu siap untuk menjadi penyanggah pohon pisang supaya tetap kokoh dan bisa tumbuh serta berbuah. Maka dari itu, agar kita menjadi orang yang kuat, hendaknya tidak bersifat egois, akan tetapi selalu bekerja sama dengan orang lain.
Ketiga, Dalam menempuh hidup kita harus punya penasehat atau seorang teman yang selalu memberikan arahan serta motivasi untuk selalu semangat dalam hidup. Ini telah dipesankan oleh daun pisang yang selalu mengambil cahaya matahari untuk menjadikan pohon tersebut tetap hidup. Karena tidak hanya motivasi diri saja yang diperlukan, tapi motivasi dan stimulus dari orang lain juga sangat dibutuhkan.
Keempat, Selalu memberikan manfaat kepada orang lain. Ini merupakan satu hal yang sangat penting dalam hidup sosial masyarakat. Karena dengan ini akan timbul rasa cinta dan kasih sayang antarsesama. Pesan ini disampaikan oleh buah pohon pisang yang dapat dimanfaatkan oleh manusia dan makhluk yang lain.

Jumat, 23 Oktober 2009

free counters

MERATAPI NASIB PULAU TERPENCIL

Oleh: Muhammad Rajab*

Setelah mudik lebaran kemarin penulis melihat berbagai macam hambatan dalam perjalanan menuju pulau terpencil. Hambatan tersebut adalah transportasi. Transportasi yang kurang nyaman serta tidak maksimal menjadikan penumpang yang ikut sangat banyak sehingga menjadikan kapal tersebut sesak dan tidak nyaman. Sulitnya transportasi tersebut berdampak pula pada tinggi rendahnya tingkat ekonomi dan pendidikan.
Padahal Indonesia adalah negeri kepulauan. Artinya di Indonesia terdapat ribuan pulau, baik pulau besar maupun pulau-pulau kecil. Jumlah pulau di Indonesia menurut data Departemen Dalam Negeri Republik Indonesia tahun 2004 adalah sebanyak 17.504 pulau. 7.870 di antaranya telah mempunyai nama, sedangkan 9.634 belum memiliki nama. Semua pulau tersebut merupakan bagian dari Indonesia yang sama-sama mempunyai hak untuk diperhatikan.
Di Sumenep yang merupakan salah satu bagian dari pulau Madura mempunyai kurang lebih 126 pulau. Pulau-pulau tersebut mempunyai potensi alam yang sangat besar. Sebagai contoh pulau Sapeken yang mempunyai gas dan persediaan mutiara yang sangat banyak. Namun sangat disayangkan nasib pulau-pulau terpencil tersebut sangat kurang diperhatikan.
Katakanlah pulau Kangean, salah satu pulau besar di daerah Sumenep. Pulau ini menurut saya kurang diperhatikan. Karena berdasarkan pengamatan penulis, banyak sekali kekurangan-kekurangan yang ada di pulau itu. Seperti kurangnya fasilitas pendidikan, jalan-jalan umum masih rusak, tarnsportasi umum tidak memadai atau bahkan bisa dikatakan tidak ada.
Pemerintah mungkin tidak menyadari bahwa mereka yang tinggal di kepulauan tersebut merupakan bagian dari Indonesia. Dan hal itu tidak mungkin bisa terpisah dari negara kesatuan republik Indonesia, karena pulau tersebut sebenarnya telah banyak memberikan kontribusi kepada negara, baik melalui kekayaan alam yang dimilikinya ataupun yang lainnya.
Kurangnya perhatian pemerintah terhadap pulau-pulau terpencil baik dalam hal pembangunan infrastruktur maupun pembangunan pendidikan menyebabkan nasib warga Indonesia yang tinggal di kepulauan kian memburuk. Akibatnya, kualitas ekonomi dan pendidikan kita semakin rendah. Hal ini sebagai konsekuensi tidak meratanya pembangunan di Indonesia.
Maka jangan disalahkan, kalau negeri asing berusaha ingin merebut pulau di Indonesia. Karena pada kenyataannya pemerintah kita sangat kurang perhatian terhadap pulau tersebut. Perlu disadari bahwa semua pulau yang ada di Indonesia, baik yang kecil maupun besar merupakan satu kesatuan yang tidak bisa terpisahkan dari negeri Indonesia.
Maka saya bisa mengatakan kalau pemerintah kita tidak memperhatikan aspek pembangunan di kepulauan dan lebih mengutamakan pembangunan di kota-kota saja, hal itu merupakan tindakan diskriminatif. Tindakan semacam ini tidak selayaknya dilakukan oleh pemerintah kita, karena hal ini akan mengurangi keseimbangan dalam peningkatan berbagai aspek di negeri tercinta ini.
Maka saat ini, dengan terpilihnya pemimpin pasca pemilu 2009 lalu diharapkan dapat memberikan perhatian yang seimbang terhadap seluruh wilayah yang ada di Indonesia. Dan diharapkan pula, membuang jauh-jauh sikap diskriminatif. Karena hal ini tidak lain akan membawa Indonesia kepada kemunduran dan kehancuran.

BENCANA AKIBAT ULAH MANUSIA

Oleh: Muhammad Rajab*

Tidak asing lagi di telinga kita, sering terdengar berita bencana alam, mulai dari tsunami, tanah longsor, banjir, dan akhir-akhir ini adalah gempa. Dalam satu bulan September kemarin terhitung terjadi tiga kali gempa di negeri ini. Gempa seakan menjadi hidangan khas bagi Indonesia yang tak bisa lepas dari bumi pertiwi ini.
Bencana alam yang terus menghiasi Indonesia ini merupakan satu tanda akan buruknya kondisi alam Indonesia. Hal ini tidak lain hanya dapat menambah beban berat bangsa ini. Bayangkan banyak sekali permasalahan yang sedang dihadapi oleh bangsa. Mulai dari krisis di berbagai bidang hingga dengan kerusakan alam yang terus menggerogoti negeri tercinta ini.
Dengan munculnya berbagai masalah yang sering kali merepotkan bangsa, pemimpin kita semakin kewalahan dalam memecahkan masalah tersebut. Hal ini tidak lain diakibatkan oleh lambatnya para pemimpin bangsa dalam menyelesaikan satu masalah. Sehingga ketika ada masalah baru yang datang menimpa bangsa seperti gempa yang baru saja terjadi di Jawa Barat dan Sumatera Barat serta Jambi menjadikan Indonesia semakin pusing.
Saatnya Indonesia melihat ke dalam, artinya megngintrospeksi apa yang telah dilakukan selama ini. Karena boleh jadi musibah yang datang bertubi-tubi tersebut merupakan salah satu dampak dari perbuatan jahat (dosa) yang selama ini kita lakukan. Pasalnya, alam bisa saja murka atas kelakuan manusia yang tidak lagi ramah terhadap alam.
Dalam sebuah ayat al-Quran Allah berfirman: “nampaknya kerusakan di daratan dan di lautan disebabkan oleh ulah tangan manusia” (QS. Ruum: 41). Ayat ini merupakan landasan teologis yang maknanya, bahwa segala kerusakan yang ada di bumi, baik di darat maupun di laut itu akibat tangan manusia.
Mungkin tidak disadari bahwa selama ini kita telah melakukan pelanggaran-pelanggaran terhadap aturan alam yang berlaku, seperti membuang sampah sembarangan dan pelanggaran-pelanggaran lainnya. Pelanggaran-pelanggaran tersebut yang akhirnya menjadikan alam kita murka yang ditunjukkan dalam bentuk bencana alam.
Kita tentunya tidak ingin bencana alam datang lagi kepada kita. Sudah banyak korban yang telah ditelan akibat datangnya bencana alam mulai dari bencana banjir, hingga gempa yang hari-hari ini masih hangat diberitakan media, yakni gempa yang menimpa saudara-saudara kita di Sumatera Barat dan Jambi.
Dan yang terpenting sekarang adalah bagaimana menjadikan bencana alam yang sudah menimpa negeri ini sebagai pelajaran berharga bagi kita untuk kemudian kita perbaiki ke depannya. Hal itu bisa ditunjukkan dengan mengurangi perbuatan dosa kita, baik terhadap Sang Pencipta alam semesta maupun terhadap alam itu sendiri.

KEMISKINAN AGENDA MENDESAK

Oleh: Muhammad Rajab*
Dimuat di Harian Duta Masyarakat, 15 Oktober 2009

Kemiskinan merupakan sebuah permasalahan yang sampai sekarang belum terselesaikan. Bertahun-tahun kemiskinan telah menggerogoti bangsa. Sebuah permasalahan yang menuntut pemimpin negeri ini segera punya obsesi besar dalam mengentaskan kemiskinan. Pasalnya, rakyat sudah lama menunggu negeri yang makmur, aman dan sentosa.
Pemilu legislatif dan presiden sudah berlalu dengan pasangan SBY-Boediono sebagai pemenang yang telah memperoleh suara terbanyak. Terpilihnya SBY sebagai presiden untuk yang kedua kalinya merupakan satu hal yang luar biasa. Pasalnya, negeri ini pada masanya belum bisa mengentaskan kemiskinan.
Walaupun ada upaya untuk mengentaskannya sepereti dengan adanya program Bantuan Langsung Tunai (BLT). Program tersebut pada kenyataannya tidak membuahkan hasil apa-apa. Malah yang terjadi adalah percekcokan, karena berebut untuk mendapatkan dana BLT. Selain itu dana BLT yang diberikan kepada rakyat miskin sebenarnya bukanlah usaha untuk memberantas kemiskinan, akan tetapi malah akan menambah jumlah orang miskin. Pasalnya program tersebut tidak lain akan menjadikan rakyat kita manja dan tidak mau berusaha.
Terpilihnya presiden dan wakil presiden baru sekarang dapat memberi harapan baru bagi bangsa Indonesia. Harapannya adalah pemimpin baru negeri ini bisa mampu mengedepankan permasalahan kemiskinan rakyat dari pada permasalahn lain. Pasalnya, negeri demokrasi adalah negara yang lebih mengedepankan suara rakyat dari kepentingan lain. Hal ini bisa dipahami dari arti dasar demokrasi, yakni dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.
Maka dengan demikian agenda mendesak pemimpin baru adalah mengentaskan kemiskinan. Hal ini sudah menjadi tuntutan untuk segera diselesaikan. Walaupun tidak bisa secara langsung, namun perlu ada program-program upaya mengurang tingginya angka kemiskinan di negeri ini.
Banyak hal yang mungkin bisa dilakukan, seperti membuka peluang kerja bagi masyarakat yang tidak mampu. Mereka yang menganggur jangan sampai dibiarkan begitu saja dan tidak diperhatikan. Pasalnya, hal inilah yang nantinya akan menambah angka kemiskinan. Sarjana-sarjana yang lulus dari perguruan tinggi juga membutuhkan lapangan kerja yang cukup agar mereka tidak menganngur.
Ha itu menuntut adanya kesadaran pada jajaran para pemimpin negeri ini. Bahwa kemiskinan merupakan satu problem besar yang harus segera diselesaikan. Pasalnya, kemakmuran rakyat di negera demokrasi merupakan indikator akan kemajuan bangsa tersebut, dan bukan didominasi oleh pasar dan perorangan saja.

RAMADHAN BULAN KEMERDEKAAN

Oleh: Muhammad Rajab*
Dimuat di Harian Suara Karya

Tepatnya 17 Agustus 2009 lalu Indonesia memperingati Hari Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-64. Hari Ulang Tahun (HUT) Kemerdekaan yang digelar setiap tahun ini merupakan momen penting bagi sejarah Indonesia. Pasalnya, saat itulah Indonesia menggapai kemerdekaan dari para penjajah. Seperti, Belanda yang telah menjajah Indonesia selama kurang lebih tiga setengah abad.
Di bulan yang sama pula, tepatnya 22 Agustus 2009, umat Islam juga melakukan ibadah puasa. Suatu ibadah yang dinanti-nanti umat Islam. Ibadah puasa ini dilaksanakan setahun sekali selama satu bulan penuh, yaitu pada bulan suci Ramadhan. Perintah untuk melaksanakan puasa ini telah diabadikan dalam al-Quran. “Hai orang-orang yang beriman telah diwajibkan atas kalian berpuasa (di bulan Ramadhan) sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa,” (QS. al-Baqarah: 183)
Satu hal yang sangat menakjubkan bagi Indonesia adalah dua peristiwa besar yaitu HUT Kemerdekaan dan bulan Ramadhan (bulan puasa) sama-sama bertepatan pada bulan Agustus 2009. Bagi muslim Indonesia hal ini merupakan peristiwa sangat luar biasa. Pasalnya, bulan puasa juga merupakan bulan kemerdekaan bagi umat Islam. Kemerdekaan dari hawa nafsu dan perbuatan-perbuatan dosa.
Secara bahasa makna puasa berasal dari bahasa arab yakni shiyam yang berarti al-imsaak (menahan). Secara istilah menurut Sayyid Sabiq dalam bukunya fiqhus Sunnah, menahan dari segala sesuatu yang membatalkan puasa sejak terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari yang disertai dengan niat. Menahan di sini juga berarti membebaskan diri atau memerdekakan diri kita dari segala hal yang dapat merusak dan menghilangkan nilai-nilai puasa tersebut.
Dalam potongan hadits, Nabi Muhammad SAW bersabda: “puasa itu tameng seperti tameng kalian saat berperang,”. Itu artinya, bahwa dengan puasa yang sungguh-sungguh kita benar-benar akan bebas dan merdeka dari segala perbuatan yang dilarang, seperti minum-minuman keras, mencuri, melakukan aksi kekerasan, perkosaan dan lain sebagainya.
Maka kalau boleh saya katakan bahwa bulan puasa merupakan bulan kemerdekaan. Pasalnya, pada bulan tersebut kita benar-benar diberi peluang untuk memerdekakan diri dari segala perbuatan yang tidak baik, dari segala perbuatan yang dapat menyakiti orang lain, serta dari perbuatan yang merusak diri sendiri.
Makna kemerdekaan tidak hanya berkisar pada aspek fisik saja, akan tetapi lebih dari itu makna merdeka juga mencakup kemerdekaan diri seseorang dari segala sesuatu yang mengikat dan menjerumuskan dirinya kepada kerusakan dan kehancuran (merdeka ma’nawi). Kemerdekaan yang pertama secara historis, Indonesia benar telah merdeka dari penjajahan Belanda, Jepang dan Sekutu. Akan tetapi yang menjadi pertanyaan adalah benarkah Indonesia telah merdeka secara ma’nawi?. Artinya secara moral telah benar-benar jauh dari hal-hal yang merusak dan menghancurkan moral bangsa.
Puasa merupakan sebuah bentuk perlawanan terhadap penjajah yang bernama hawa nafsu. Upaya perlawanan ini merupakan salah satu pengantar diri kita agar benar-benar menjadi orang yang merdeka dan tidak diperbudak oleh hawa nafsu. Pasalnya, telah banyak bukti menunjukkan, bahwa hawa nafsu telah menghancurkan manusia dan menjerumuskan manusia pada derajat yang rendah.
Hal ini terbukti pada manusia pertama yang diciptakan Allah SWT yakni Adam as. Nabi Adam beserta istrinya Hawa dilarang oleh Allah SWT untuk memakan buah Khuldi, akan tetapi dengan bujukan setan. Setan merayu dengan mengatakan pohon itu akan dapat mengekalkannya di dalam surga-Nya. Karena keinginan atau hawa nafsu Adam dan Hawa untuk mendapatkan kekekalan di surga, akhirnya mereka berdua memakan buah yang dilarang tersebut. Akibatnya mereka malah dikeluarkan dari surga-Nya kemudian diturunkan ke bumi.
Bukti yang lain bahwa hawa nafsu dapat mengantarkan kepada kehancuran adalah kisah Qarun. Qarun adalah seorang saudagar kaya raya yang kemudian ditenggelamkan oleh Allah bersama hartanya dikarenakan kesombongannya.
Puasa yang dapat diartikan menahan, merupakan upaya untuk membebaskan diri kita dari segala bentuk kerusakan dan kehancuran. Baik kehancuran individu dan sosial masyarakat. Kehancuran individu yang dimaksud adalah kehancuran diri kita sendiri dengan perbuatan-perbuatan dosa yang telah kita kerjakan. Karena diri kita sebenarnya masih dijajah oleh keinginan-keinginan jahat yang dapat mengantarkan diri kita kepada kehancuran dan penyesalan.
Maka dengan demikian, ada juga yang menyebut bulan puasa sebagai bulan tazkiyatun nafs (bulan penyucian jiwa). Penyucian jiwa kita dari segala bentuk perbuatan dosa yang telah kita lakukan sebelum dan sesudah bulan puasa. Artinya, bagi kita yang mengerjakan puasa dengan sungguh-sungguh dan penuh ikhlas kepada Allah dan tidak mengharap pujian dari orang lain, maka kita benar-benar akan menjadi orang-orang yang merdeka dan kembali ke fithrah (suci) seperti bayi lahir. Hal ini sesuai dengan tujuan puasa sendiri untuk menjadikan orang yang bertakwa sebagaimana yang telah dijelaskan pada ayat al-Quran sebelumnya.
Sedangkan kehancuran sosial yang dimaksud adalah kehancuran hubungan sosial masyarakat. Hawa nafsu jelek kita selalu ingin mengajak diri kita untuk berbuat yang mungkar dan ingin merusak hubungan sosial dengan masyarakat. Misalnya, sifat pelit, serakah, sombong, mengejek, menghina dan merendahkan orang lain. Sifat-sifat tersebut semuanya bisa dikendalikan dengan puasa. Karena bagi orang yang berpuasa dilarang untuk melakukan sikap buruk tersebut. Bahkan, di dalam puasa dianjurkan untuk memperbanyak sodaqoh, infak kepada orang lain terutama orang-orang yang membutuhkan. Itu artinya puasa juga merupakan suatu upaya untuk merdeka dalam aspek sosial.
Dengan demikian, kemerdekaan yang baru saja dirayakan oleh bangsa Indonesia sebenarnya hanya menyentuh aspek fisik saja. Karena masih banyak penjajah yang menyelinap dalam diri dan masyarakat kita, seperti hawa nafsu untuk berbuat jahat dan merusak tatanan sosial. Puasa sebagai bulan kemerdekaan merupakan salah satu upaya untuk melawan penjajah yang non fisik tersebut. Maka, bulan puasa yang kebetulan jatuh pada bulan Agustus ini merupakan momen terpenting bagi Indonesia untuk lebih memaknai bahwa kemerdekaan hakikatnya bukan hanya kemerdekaan dari penjajah secara fisik saja, akan tetapi juga merdeka dari penjajah non fisik.

*Penulis adalah
Peneliti di Pusat Studi Islam (Forsifa) Unmuh Malang

BENCANA “CAMBUK” KEMAJUAN

Oleh: Muhammad Rajab*
dimuat di Harian Malang Post, 18 Oktober 2009

Tidak asing lagi di telinga kita, sering terdengar berita bencana alam, mulai dari tsunami, tanah longsor, banjir, dan akhir-akhir ini adalah gempa. Dalam satu bulan September kemarin terhitung terjadi tiga kali gempa di negeri ini, yakni di Tasik Malaya, Sumatera Barat dan Jambi. Bencana alam seakan menjadi hidangan khas bagi Indonesia dan tidak bisa lepas dari bumi pertiwi ini.
Jumlah korban meninggal dunia akibat gempa 7,6 skala Richter di Sumbar terus bertambah. Berdasarkan data Satkorlak Sumatera Barat, tercatat 608 warga Sumatera Barat meninggal dunia. Data yang diperoleh VIVAnews pada Senin 5 Oktober 2009, pukul 09.45, tercatat korban tewas terbanyak berada di Kabupaten Padang Pariaman sebanyak 285 jiwa. Di Kota Padang sebanyak 242 jiwa, Kota Pariaman 32 jiwa, Kabupaten Agam 32 jiwa, Kabutapen Pesisir Selatan 10 jiwa.
Sebuah bencana tidak selamanya mendatangkan kehancuran walaupun secara kasat mata bencana selalu memporak-porandakan lingkungan. Namun bisa saja bencana menjadi pemicu kita untuk maju. Sebagai perumpamaan adalah, cambuk yang digunakan untuk memacu kuda akan dapat mempercepat lari kuda. Begitu juga dengan bencana, ia bisa menjadi sebuah cambuk bagi Indonesia menuju kemajuan. Hal itu tergantung pada pemaknaan kita terhadap bencana.
Namun demikian, setidaknya ada beberapa kemungkinan yang bisa diambil dari peristiwa bencana alam yang sering terjadi di Indonesia. Pertama, bencana bisa sebagai bentuk kemurkaan Tuhan terhadap manusia yang selalu berbuat dosa dan melakukan pelanggaran terhadap alam semesta. Akibat pelanggaran-pelanggaran tersebut akhirnya alam menjadi tidak lagi mau bersahabat dengan manusia. Terkait dengan itu Allah SWT berfirman: “nampaknya kerusakan di darat dan di laut diakibatkan oleh tangan manusia,” (QS. Ruum: 41)
Sebagai contoh adalah kisah Qorun yang ingkar tidak mau menginfakkan hartanya serta selalu sombong di hadapan masyarakatnya. Akibat kesombongannya tersebut Allah SWT menenggelamkannya beserta harta benda yang dimilikinya ke dalam bumi. Oleh sebab itulah ketika seseorang mendapatkan harta terpendam saat ini disebut dengan harta karun. Pasalnya, harta yang dimiliki oleh Qorun pada zaman Nabi Musa tersebut ditenggelamkan oleh Allah ke dalam perut bumi. Dan banyak lagi kisah-kisah bencana alam yang menimpa umat terdahulu akibat perbuatan dosa yang mereka lakukan, seperti bencana kaum Sodom, dan kaum Nuh yang ditimpa dengan banjir bandang dan lain sebagainya.
Kedua, bencana datang sebagai bentuk ujian dari Tuhan untuk menguji keimanan seseorang. Ada sebuah ungkapan semakin tinggi keimanan seseorang maka cobaan yang datang juga semakin tinggi. Hal ini sesuai dengan apa yang difirmankan Allah SWT dalam ayatnya, “Allah tidak akan memberikan beban kepada seseorang kecuali sesuai dengan kemampuannya,”.
Ketiga, kedatangan bencana alam merupakan “cambuk” bagi seseorang untuk lebih cepat lagi atau lebih giat lagi dalam mencapai satu cita-cita. Ibarat kuda pacu yang harus dicambuk agar larinya lebih kencang. Intinya musibah atau bancana yang datang bisa dijadikan sebagai alat untuk memicu diri menuju keadaan yang lebih baik dari pada sebelumnya.
Dari beberapa kemungkinan tersebut maka setidaknya bencana yang datang secara bertubi-tubi di negeri ini bisa jadi merupakan peringatan dari Tuhan atas perbuatan dosa yang sering dilakukan oleh manusia, atau hanya sebagai cobaan, atau mungkin juga sebagai “cambuk” kemajuan bagi negeri tercinta ini. Boleh jadi di balik bencana yang datang tersebut ada “gunung emas” yang akan muncul setelahnya.
Kita tidak tahu Indonesia masuk ke ranah yang mana dari ketiga kemungkinan tersebut. Yang jelas ketiga kemungkinan di atas semuanya bisa benar jika dikaitkan dengan kondisi Indonesia yang semakin kacau balau ini. Dikatakan peringatan karena bangsa kita telah banyak melakukan kerusakan dan dosa. Dikatakan cobaan juga bisa benar untuk menguji sejauh mana kemampuan Indonesia dalam mengatasi masalah.
Terlepas dari ketiga kemungkinan di atas, kita sebagai bangsa Indonesia hendaknya bisa mengambil pelajaran dari peristiwa bencana yang sering terjadi di negeri tercinta ini. Banyak sekali pelajaran yang bisa diambil oleh kita agar kita menjadi bangsa yang lebih baik dari sebelumnya. Salah satunya adalah introspeksi diri bagi bangsa, kenapa selama ini sering terjadi bencana. Apakah negeri kita ini sering lengah terhadap peristiwa bencana. Sehingga dengan peristiwa gempa yang terjadi bulan September lalu yang hingga saat ini belum terselesaikan merupakan peringatan bagi bangsa untuk lebih waspada terhadap bencana.
Boleh jadi di balik terjadinya bencana tersebut akan menjadikan Indonesia lebih baik di masa yang akan datang. Jepang menjadi negara maju harus dicambuk dulu dengan bom atom yang dahsyat di Nagasaki dan Hirosima, begitu juga dengan Cina, dan negara-negara maju lainnya. Maka sudah selayaknya kita belajar dari negara-negara tersebut, yakni bagaimna menjadikan suatu bencana sebagai awal dari kemajuan.
Namun demikian, untuk menjadikan bencana sebagai cambuk kemajuan tidak semudah mebalikkan telapak tangan. Karena kebanyakan bencana yang terjadi di Indonesia hanya menghasilkan prasangka buruk semata, yakni bahwa dengan adanya bencana Tuhan menginginkan sesuatu yang tidak baik. Padahal seyogyanya kita berprasangka baik terhadap Sang Pencipta.
Untuk mengawali agar bencana yang menimpa bangsa ini dapat menjadi titik awal kebangkitan bangsa Indonesia dari krisis multidimensional, khususnya krisis lingkungan adalah dengan berperasangka baik terhadap Sang Pencipta alam ini. Dalam artian kita harus mampu menganggap bahwa di balik kejadian dan bencana alam yang terjadi ada hikmah yang bisa diambil untuk kemudian dijadikan sebagai sarana introspeksi diri demi kemajuan bangsa ke depan.
Kita tentunya tidak ingin berada dalam keterbelakangan secara terus menerus. Pasalnya, rakyat kita tidak mungkin terus hidup dalam keterbelakangan. Kita menginginkan Negara yang maju, makmur, damai dan aman sentosa, atau dalam istilah al-Quran disebut sebagai baldatun thoyyibatun warobbun ghafuur.

*Penulis adalah
Peneliti di Pusat Studi Islam (FORSIFA) Unmuh Malang
free counters