Kamis, 01 Desember 2011

Moralitas Demokrasi Sedang Diuji


Oleh: Muhammad Rajab
Telah dimuat di Harian Bhirawa, 27 Mei 2010

Demokrasi dalam pemerintahan sangat erat hubungannya dengan politik dan kekuasaan. Sebuah wadah yang sangat rawan terjadi konflik, perdebatan dan pertikaian. Di sinilah moralitas dan nilai-nilai demokrasi diuji. Apakah perilaku politik akan menghargai nilai-nilai tersebut ataukah malah bisa menghancurkan bahkan melenyapkannya dari permukaan. Lewat ujian inilah demokrasi menimbulkan tanda tanya besar, akankah ia bisa bisa bertahan?. Atau malah demokrasi akan berbalik menghancurkan nilai-nilai egaliternya.

Demokrasi sebenarnya bukanlah suatu konsep politik modern tentang pengaturan negara, tata kehidupan masyarakat, dan hak-hak masyarakat bernegara. Tapi demokrasi telah menjadi darah daging bangsa Yunani puluhan tahun bahkan ratusan tahun sebelum masehi. Walaupun demokrasi merupakan konsep kuno tetaplah menarik untuk ditelaah dan dikritisi terkait dengan nilai-nilai di dalamnya tetap menjadi bahan perhatian akademisi dan praktisi politik.

Sekarang mari kita coba menenguk perilaku para aktivis kekuasaan di negeri ini yang tak pernah lepas dari persinggungan dan perdebatan, bahkan sampai menimbulkan konflik fisik. Hak-hak untuk mendapatkan kenyamanan dan ketentraman dalam berpolitik mulai memudar. Bahkan yang terjadi adalah pembabatan hak-hak tersebut.

Secara tidak sadar, para aktivis kekuasaan tersebut sebenarnya telah memperotoli nilai-nilai demokrasi itu sendiri. Demokrasi tak lagi bermoral di hadapan masyarakat. Ia dianggap sebagai buah simalakama, yang tak hanya bisa mendatangkan malapetaka bagi bangsa dan pemeluknya tapi juga telah menghancurkaneksistensi demokrasi itu sendiri. Potret perdebatan antar anggota dewan (DPR) bukan hal asing di telinga kita, hujat-menghujat sudah menjadi tradisi turun-temurun yang tak pernah mendapatkan titik temunya.

Sekarang, masyarakat melihat sebuah kenyataan berbalik. Bahwa para elite politik kita telah menciderai politik itu sendiri. Sehingga sangat wajar kalau muncul di tengah-tengah masyarakat anggapan bahwa "politik itu kotor, politik itu bejat" dan lain sebagainya. Karena memang fakta yang terjadi di lapangan menunjukkan seperti itu.
Perjuangan Indonesia menuju Negara yang demokratis dipenuhi dengan darah. Tahun 1998 merupakan bukti sejarah yang tidak akan pernah terlupakan. Betapa kerasnya perjuangan para mahasiswa dan kaum muda yang dipelopori oleh Amin Rais untuk merebut kekuasaan Rezim Soeharto. Banyak korban yang telah berjatuhan dari peristiwa tersebut, mulai korban infrastruktur bahkan korban jiwa.

Memang, gelombang demokratisasi baru menghantam Indonesia menjelang penutupan 1990-an. Transisi ini agak lambat, karena Eropa Selatan (Spanyol dan Portugal), Amerika Latin (Bolivia, Chilie, Argentina, Brazil, Mexico dan lainnya) dan negara-negara Asia (Philipina, Korea Selatan, Taiwan) sudah mengalami demokratisasi tahun 1970-an dan 1980-an. Basis pertahanan Soeharto untuk mendukung kekuasaannya sangat kuat waktu itu. Pada dekade 1970-an dan 1980-an, Soeharto membangun basis material kekuasaannya melalui mesin-mesin penopang utamanya seperti tentara, birokrasi, Golkar, dan teknokrat.

Perjuangan yang begitu keras ini seakan dilupakan oleh para elite politik kita. Mereka lupa bahwa sebelumnya mereka tidak mendapatkan kebebasan untuk sembarangan duduk di kursi kekuasaan. Saat itu kekuasaan penuh berada di bawah otoriterianisme Soeharto. Semua yang berontak dan menentang penguasa harus dilenyapkan. Banyak aktivis muslim yang diculik kemudian hilang dari bumi Indonesia.
Aktivis kekuasaan yang ada saat ini enak menikmati kebebasan untuk berpendapat, berpolitik dan berekspresi. Anehnya dengan kebebasan itu mereka menginjak-nginjak nilai-nilai moralitas yang seharusnya menjadi satu keniscayaan bagi sebuah negara yang mengaku sebagai negara demokratis.

Tragis, itulah mungkin kata yang tepat untuk kondisi moralitas demokrasi saat ini. Yang mana hak-hak kaum lemah mulai tertindas. Kebebasan dijadikan sebagai alat untuk menghujat dan menginjak-nginjak yang lain. Mereka menganggap untuk mendapatkan sebuah keberhasilan harus melenyapkan keberhasilan dari orang lain.

Nilai-nilai demokrasi seakan lenyap dari permukaan. Padahal ada beberapa prinsip dalam demokrasi menurut Almadudi, yaitu kedaulatan rakyat, pemerintahan berdasarkan persetujuan dari yang diperintah, kekuasaan mayoritas, hak-hak minoritas, jaminan hak asasi manusia, pemilihan yang bebas dan jujur, persamaan di depan hukum, proses yang wajar, pembatasan pemerintah secara konstitusional, pluralisme, ekonomi, dan politik, nilai-nilai tolerensi, pragmatisme, kerja sama, dan mufakat.

Sementara Linclon mengartikan demokrasi sebagai suatu bentuk pemerintahan di mana kekuasaan politik tertinggi (supreme political authority) dan kedaulatan (sovereignty) berada di tangan rakyat. Dalam sistem pemerintahan modern, pemerintahan rakyat atau yang oleh Linclon disebut sebagai government by people tersebut terepresentasi dalam bentuk lembaga perwakilan yang mengatasnamakan kepentingan rakyat.

Nilai-nilai yang menjadi kelebihan demokrasi ini telah berbalik menjadi sebuah ironi yang membinasakan rakyat. Rakyat menjadi korban kerakusan para elite politik yang tak bertanggungjawab. Mereka maju untuk memimpin bangsa dengan mengatasnamakan kepentingan rakyat, tapi setelah duduk di kursi kekuasaan mereka lupa dengan janji-janji manisnya yang dulu pernah dikoar-koarkan. Yang terjadi malah rakyat menjadi bulan-bukanan kebejatan mereka.

Untuk mengembalikan nilai-nilai tersebut perlu adanya kesadaran dari elite politik akan tujuan dari negara demokrasi yang berpusat pada rakyat. Teori filsafat Yunani bahwa seorang pemimin haruslah Philosopher King menjadi satu tuntutan. Atau teori al-Farabi tentang pemimpin bahwa ia haruslah Philosopher prophet tidaklah salah. Ini dimaksudkan agar para pemimpin benar-benar mampu memikirkan kondisi rakyat dan bisa berpikir analitis serta tangkas dalam menyelesaikan permasalahan.

Moralitas Calon Pemimpin Sedang Diuji



Oleh: Muhammad Rajab*

Menjelang pemilihan kepala daerah (Pilkada) merupakan masa di mana sangat rawan terjadi persinggungan dan peperangan politik. Mulai dari ‘peperangan’ mencari massa dengan merebut hati masyarakat. Berbagai cara dilakukan oleh para calon kepala daerah untuk meraihnya, mulai dengan memberikan bantuan seperti pelayanan kesehatan, pembagian kaos dan lain sebagainya, bahkan tak jarang kita temukan yang menggunakan money politik (politik uang).
Pilkada Surabaya yang akan diselenggarakan pada tanggal 02 Juni 2010 sekarang berada pada titik rawan. Dalam artian, persaingan antar calon akan semakin terasa di saat menjelang pemilihan. Di sinilah moralitas calon pemimpin diuji, apakah yang dijalankan adalah politik kotor atau sebaliknya. Moralitas seorang calon pemimpin menjadi pegangan utama untuk menjaga nilai-nilai politik. Jika moralitas yang dimiliki para calon sangat lemah, maka sangat dimungkinkan untuk terjadi pelanggaran-pelanggaran dalam pemilihan yang akhirnya bisa mengotori nilai politik itu sendiri.
Tindakan-tindakan yang dilakukan oleh para calon dan para pendukungnya di saat seperti ini sudah dipenuhi dengan kepentingan politik. Misalnya, melalui bantuan kepada masyarakat, atau yang secara terang-terangan memasang iklan melalui berbagai macam media, baik cetak maupun elektronik atau juga melalui baleho dan selebaran pamflet. Semuanya memang merupakan perjuangan untuk merebut kursi jabatan kepala daerah. Tindakan semacam ini sah-sah saja dilakukan oleh para elite politik untuk konteks negara demokrasi seperti Indonesia. Asalkan tetap sesuai dengan aturan dan ketentuan pemilihan.
Yang terpenting adalah bagaimana nilai moralitas sebagai calon pemimpin harus benar-benar ditunjukkan. Jangan sampai calon pemimpin melakukan praktik politik yang kotor dan tidak bermoral. Sebab hal ini bukan lagi merusak citra dirinya saja, tapi juga dapat merusak citra bangsa ke depannya. Sebab, seorang pemimpin dituntut untuk bisa membawa rakyat kepada nilai-nilai moralitas yang dijunjung tinggi oleh bangsa.
Perilaku amoral yang dilakukan oleh pemimpin akan berakibat fatal untuk bangsa ke depannya. Pasalnya, pemimpin merupakan sorotan utama dalam suatu bangsa. Sebab orang yang pertama dilihat oleh orang lain adalah pemimpin. Jika pemimpinnya baik maka masyarakat juga secara tidak langsung tidak jauh dari pemimpinnya. Jika pemimpinnya bejat maka secara tidak langsung nama bangsa juga akan tergadaikan walaupun pada kenyataannya tidak semua masyarakatnya ikut bejat.

Harus cerdas
Menjelang Pilkada ini masyarakat dihadapkan pada berbagai macam pilihan. Banyak calon yang sudah mencalonkan dirinya untuk menjadi kepala daerah dalam pemilihan tersebut. Setidaknya masyarakat harus cerdas dalam menyikapi masalah ini. Idealnya masyarakat harus melihat para calon pemimpin dari moralitas, kompetensi dan komitmennya. Kejujuran dalam hal ini harus menjadi pertimbangan utama masyarakat dalam memilih seorang pemimpin, dan jangan sampai menjadikan polularitas sebagai alasan memilih. Karena popularitas tidak bisa dijadikan jaminan untuk menjadi pemimpin yang baik.
Saat ini ideologi dan sistem nilai sudah ditanggalkan di atas popularitas. Persuasi politik menjadi bahan olokan hasil-hasil polling popularitas. Tidak hanya kebijakan, para pemimpin juga dipilih dan ditinggalkan menurut arah angin opini publik yang bertiup. Seakan tak ada lagi pegangan kuat dalam menghadapi situasi politik Indonesia. Hal inilah yang setidaknya menjadikan kekhawatiran bagi kita yang mana pemimpin tidak lagi dipilih berdasarkan nilai atau moralitasnya tapi lebih kepada popularitasnya.
Citra seorang pemimpin akan lebih dipertimbangkan ketimbang kemampuan dan intelektualitasnya. Oleh karena itu, proses penyampaian pesan politik menjadi lebih penting daripada isinya sendiri. Pendek kata, integritas politik sudah dinomorduakan. Pencitraan dan popularitas jauh lebih dihargai daripada nilai-nilai integritas dan moralitas.
Di dunia popularitas semacam ini, media massa, terutama televisi, menjadi panglimanya. Seymour (1989) mengatakan bahwa televisi kini merupakan bagian yang sudah terintegrasi dari kehidupan politik. Kemampuan televisi untuk menjangkau pemirsanya secara cepat dan luas, mulai dari yang tinggal di apartemen mewah hingga ke pelosok dusun, membuatnya selalu diburu oleh mereka yang hidup dari popularitas.
Di sinilah juga masyarakat diuji bagaimana bisa memfilter tayangan-tayangan televisi yang berbau politik. Masayrakat tidak boleh lengah dan tertipu dengan situasi media yang telah dibayar untuk kepentingan politik tertentu. Pendirian untuk memilih harus kuat dan benar-benar menjadi pegangan agar tidak terpengaruh oleh polesan media massa.
Dengan demikian, masyarakat dituntut untuk memilih dengan ilmu dan bashirah (penglihatan yang dalam) bukan karena uang atau popularitasnya. Minimal harus bisa mempertimbangkan kekuatan, kelemahan dan potensi serta kompetensi calon yang akan dipilihnya, bukan asal memilih. Sebab, pemimpin yang kita pilih akan menentukan nasib rakyat lima tahun ke depannya. Sehingga, masyarakat benar-benar harus selektif dalam memilih pemimpin demi kebaikan bangsa dan masyarakat ke depannya.
*Penulis adalah
Penulis buku dan Peneliti di Pusat Studi Islam Unmuh Malang