Kamis, 01 Desember 2011

Moralitas Demokrasi Sedang Diuji


Oleh: Muhammad Rajab
Telah dimuat di Harian Bhirawa, 27 Mei 2010

Demokrasi dalam pemerintahan sangat erat hubungannya dengan politik dan kekuasaan. Sebuah wadah yang sangat rawan terjadi konflik, perdebatan dan pertikaian. Di sinilah moralitas dan nilai-nilai demokrasi diuji. Apakah perilaku politik akan menghargai nilai-nilai tersebut ataukah malah bisa menghancurkan bahkan melenyapkannya dari permukaan. Lewat ujian inilah demokrasi menimbulkan tanda tanya besar, akankah ia bisa bisa bertahan?. Atau malah demokrasi akan berbalik menghancurkan nilai-nilai egaliternya.

Demokrasi sebenarnya bukanlah suatu konsep politik modern tentang pengaturan negara, tata kehidupan masyarakat, dan hak-hak masyarakat bernegara. Tapi demokrasi telah menjadi darah daging bangsa Yunani puluhan tahun bahkan ratusan tahun sebelum masehi. Walaupun demokrasi merupakan konsep kuno tetaplah menarik untuk ditelaah dan dikritisi terkait dengan nilai-nilai di dalamnya tetap menjadi bahan perhatian akademisi dan praktisi politik.

Sekarang mari kita coba menenguk perilaku para aktivis kekuasaan di negeri ini yang tak pernah lepas dari persinggungan dan perdebatan, bahkan sampai menimbulkan konflik fisik. Hak-hak untuk mendapatkan kenyamanan dan ketentraman dalam berpolitik mulai memudar. Bahkan yang terjadi adalah pembabatan hak-hak tersebut.

Secara tidak sadar, para aktivis kekuasaan tersebut sebenarnya telah memperotoli nilai-nilai demokrasi itu sendiri. Demokrasi tak lagi bermoral di hadapan masyarakat. Ia dianggap sebagai buah simalakama, yang tak hanya bisa mendatangkan malapetaka bagi bangsa dan pemeluknya tapi juga telah menghancurkaneksistensi demokrasi itu sendiri. Potret perdebatan antar anggota dewan (DPR) bukan hal asing di telinga kita, hujat-menghujat sudah menjadi tradisi turun-temurun yang tak pernah mendapatkan titik temunya.

Sekarang, masyarakat melihat sebuah kenyataan berbalik. Bahwa para elite politik kita telah menciderai politik itu sendiri. Sehingga sangat wajar kalau muncul di tengah-tengah masyarakat anggapan bahwa "politik itu kotor, politik itu bejat" dan lain sebagainya. Karena memang fakta yang terjadi di lapangan menunjukkan seperti itu.
Perjuangan Indonesia menuju Negara yang demokratis dipenuhi dengan darah. Tahun 1998 merupakan bukti sejarah yang tidak akan pernah terlupakan. Betapa kerasnya perjuangan para mahasiswa dan kaum muda yang dipelopori oleh Amin Rais untuk merebut kekuasaan Rezim Soeharto. Banyak korban yang telah berjatuhan dari peristiwa tersebut, mulai korban infrastruktur bahkan korban jiwa.

Memang, gelombang demokratisasi baru menghantam Indonesia menjelang penutupan 1990-an. Transisi ini agak lambat, karena Eropa Selatan (Spanyol dan Portugal), Amerika Latin (Bolivia, Chilie, Argentina, Brazil, Mexico dan lainnya) dan negara-negara Asia (Philipina, Korea Selatan, Taiwan) sudah mengalami demokratisasi tahun 1970-an dan 1980-an. Basis pertahanan Soeharto untuk mendukung kekuasaannya sangat kuat waktu itu. Pada dekade 1970-an dan 1980-an, Soeharto membangun basis material kekuasaannya melalui mesin-mesin penopang utamanya seperti tentara, birokrasi, Golkar, dan teknokrat.

Perjuangan yang begitu keras ini seakan dilupakan oleh para elite politik kita. Mereka lupa bahwa sebelumnya mereka tidak mendapatkan kebebasan untuk sembarangan duduk di kursi kekuasaan. Saat itu kekuasaan penuh berada di bawah otoriterianisme Soeharto. Semua yang berontak dan menentang penguasa harus dilenyapkan. Banyak aktivis muslim yang diculik kemudian hilang dari bumi Indonesia.
Aktivis kekuasaan yang ada saat ini enak menikmati kebebasan untuk berpendapat, berpolitik dan berekspresi. Anehnya dengan kebebasan itu mereka menginjak-nginjak nilai-nilai moralitas yang seharusnya menjadi satu keniscayaan bagi sebuah negara yang mengaku sebagai negara demokratis.

Tragis, itulah mungkin kata yang tepat untuk kondisi moralitas demokrasi saat ini. Yang mana hak-hak kaum lemah mulai tertindas. Kebebasan dijadikan sebagai alat untuk menghujat dan menginjak-nginjak yang lain. Mereka menganggap untuk mendapatkan sebuah keberhasilan harus melenyapkan keberhasilan dari orang lain.

Nilai-nilai demokrasi seakan lenyap dari permukaan. Padahal ada beberapa prinsip dalam demokrasi menurut Almadudi, yaitu kedaulatan rakyat, pemerintahan berdasarkan persetujuan dari yang diperintah, kekuasaan mayoritas, hak-hak minoritas, jaminan hak asasi manusia, pemilihan yang bebas dan jujur, persamaan di depan hukum, proses yang wajar, pembatasan pemerintah secara konstitusional, pluralisme, ekonomi, dan politik, nilai-nilai tolerensi, pragmatisme, kerja sama, dan mufakat.

Sementara Linclon mengartikan demokrasi sebagai suatu bentuk pemerintahan di mana kekuasaan politik tertinggi (supreme political authority) dan kedaulatan (sovereignty) berada di tangan rakyat. Dalam sistem pemerintahan modern, pemerintahan rakyat atau yang oleh Linclon disebut sebagai government by people tersebut terepresentasi dalam bentuk lembaga perwakilan yang mengatasnamakan kepentingan rakyat.

Nilai-nilai yang menjadi kelebihan demokrasi ini telah berbalik menjadi sebuah ironi yang membinasakan rakyat. Rakyat menjadi korban kerakusan para elite politik yang tak bertanggungjawab. Mereka maju untuk memimpin bangsa dengan mengatasnamakan kepentingan rakyat, tapi setelah duduk di kursi kekuasaan mereka lupa dengan janji-janji manisnya yang dulu pernah dikoar-koarkan. Yang terjadi malah rakyat menjadi bulan-bukanan kebejatan mereka.

Untuk mengembalikan nilai-nilai tersebut perlu adanya kesadaran dari elite politik akan tujuan dari negara demokrasi yang berpusat pada rakyat. Teori filsafat Yunani bahwa seorang pemimin haruslah Philosopher King menjadi satu tuntutan. Atau teori al-Farabi tentang pemimpin bahwa ia haruslah Philosopher prophet tidaklah salah. Ini dimaksudkan agar para pemimpin benar-benar mampu memikirkan kondisi rakyat dan bisa berpikir analitis serta tangkas dalam menyelesaikan permasalahan.

Moralitas Calon Pemimpin Sedang Diuji



Oleh: Muhammad Rajab*

Menjelang pemilihan kepala daerah (Pilkada) merupakan masa di mana sangat rawan terjadi persinggungan dan peperangan politik. Mulai dari ‘peperangan’ mencari massa dengan merebut hati masyarakat. Berbagai cara dilakukan oleh para calon kepala daerah untuk meraihnya, mulai dengan memberikan bantuan seperti pelayanan kesehatan, pembagian kaos dan lain sebagainya, bahkan tak jarang kita temukan yang menggunakan money politik (politik uang).
Pilkada Surabaya yang akan diselenggarakan pada tanggal 02 Juni 2010 sekarang berada pada titik rawan. Dalam artian, persaingan antar calon akan semakin terasa di saat menjelang pemilihan. Di sinilah moralitas calon pemimpin diuji, apakah yang dijalankan adalah politik kotor atau sebaliknya. Moralitas seorang calon pemimpin menjadi pegangan utama untuk menjaga nilai-nilai politik. Jika moralitas yang dimiliki para calon sangat lemah, maka sangat dimungkinkan untuk terjadi pelanggaran-pelanggaran dalam pemilihan yang akhirnya bisa mengotori nilai politik itu sendiri.
Tindakan-tindakan yang dilakukan oleh para calon dan para pendukungnya di saat seperti ini sudah dipenuhi dengan kepentingan politik. Misalnya, melalui bantuan kepada masyarakat, atau yang secara terang-terangan memasang iklan melalui berbagai macam media, baik cetak maupun elektronik atau juga melalui baleho dan selebaran pamflet. Semuanya memang merupakan perjuangan untuk merebut kursi jabatan kepala daerah. Tindakan semacam ini sah-sah saja dilakukan oleh para elite politik untuk konteks negara demokrasi seperti Indonesia. Asalkan tetap sesuai dengan aturan dan ketentuan pemilihan.
Yang terpenting adalah bagaimana nilai moralitas sebagai calon pemimpin harus benar-benar ditunjukkan. Jangan sampai calon pemimpin melakukan praktik politik yang kotor dan tidak bermoral. Sebab hal ini bukan lagi merusak citra dirinya saja, tapi juga dapat merusak citra bangsa ke depannya. Sebab, seorang pemimpin dituntut untuk bisa membawa rakyat kepada nilai-nilai moralitas yang dijunjung tinggi oleh bangsa.
Perilaku amoral yang dilakukan oleh pemimpin akan berakibat fatal untuk bangsa ke depannya. Pasalnya, pemimpin merupakan sorotan utama dalam suatu bangsa. Sebab orang yang pertama dilihat oleh orang lain adalah pemimpin. Jika pemimpinnya baik maka masyarakat juga secara tidak langsung tidak jauh dari pemimpinnya. Jika pemimpinnya bejat maka secara tidak langsung nama bangsa juga akan tergadaikan walaupun pada kenyataannya tidak semua masyarakatnya ikut bejat.

Harus cerdas
Menjelang Pilkada ini masyarakat dihadapkan pada berbagai macam pilihan. Banyak calon yang sudah mencalonkan dirinya untuk menjadi kepala daerah dalam pemilihan tersebut. Setidaknya masyarakat harus cerdas dalam menyikapi masalah ini. Idealnya masyarakat harus melihat para calon pemimpin dari moralitas, kompetensi dan komitmennya. Kejujuran dalam hal ini harus menjadi pertimbangan utama masyarakat dalam memilih seorang pemimpin, dan jangan sampai menjadikan polularitas sebagai alasan memilih. Karena popularitas tidak bisa dijadikan jaminan untuk menjadi pemimpin yang baik.
Saat ini ideologi dan sistem nilai sudah ditanggalkan di atas popularitas. Persuasi politik menjadi bahan olokan hasil-hasil polling popularitas. Tidak hanya kebijakan, para pemimpin juga dipilih dan ditinggalkan menurut arah angin opini publik yang bertiup. Seakan tak ada lagi pegangan kuat dalam menghadapi situasi politik Indonesia. Hal inilah yang setidaknya menjadikan kekhawatiran bagi kita yang mana pemimpin tidak lagi dipilih berdasarkan nilai atau moralitasnya tapi lebih kepada popularitasnya.
Citra seorang pemimpin akan lebih dipertimbangkan ketimbang kemampuan dan intelektualitasnya. Oleh karena itu, proses penyampaian pesan politik menjadi lebih penting daripada isinya sendiri. Pendek kata, integritas politik sudah dinomorduakan. Pencitraan dan popularitas jauh lebih dihargai daripada nilai-nilai integritas dan moralitas.
Di dunia popularitas semacam ini, media massa, terutama televisi, menjadi panglimanya. Seymour (1989) mengatakan bahwa televisi kini merupakan bagian yang sudah terintegrasi dari kehidupan politik. Kemampuan televisi untuk menjangkau pemirsanya secara cepat dan luas, mulai dari yang tinggal di apartemen mewah hingga ke pelosok dusun, membuatnya selalu diburu oleh mereka yang hidup dari popularitas.
Di sinilah juga masyarakat diuji bagaimana bisa memfilter tayangan-tayangan televisi yang berbau politik. Masayrakat tidak boleh lengah dan tertipu dengan situasi media yang telah dibayar untuk kepentingan politik tertentu. Pendirian untuk memilih harus kuat dan benar-benar menjadi pegangan agar tidak terpengaruh oleh polesan media massa.
Dengan demikian, masyarakat dituntut untuk memilih dengan ilmu dan bashirah (penglihatan yang dalam) bukan karena uang atau popularitasnya. Minimal harus bisa mempertimbangkan kekuatan, kelemahan dan potensi serta kompetensi calon yang akan dipilihnya, bukan asal memilih. Sebab, pemimpin yang kita pilih akan menentukan nasib rakyat lima tahun ke depannya. Sehingga, masyarakat benar-benar harus selektif dalam memilih pemimpin demi kebaikan bangsa dan masyarakat ke depannya.
*Penulis adalah
Penulis buku dan Peneliti di Pusat Studi Islam Unmuh Malang

Senin, 28 November 2011

MEMBANGUN GENERASI BEBAS KORUPSI

Oleh: Muhammad Rajab*

Korupsi masih menjadi bahaya laten di negeri ini. Hampir setiap sendi kehidupan terjangkit penyakit berbahaya ini. Bahkan korupsi sepertinya sudah menjadi ‘tradisi’. Salah satu daerah yang terjangkit virus berbahaya ini adalah Jawa Timur.
Ketua Jaringan Kerja Anti Korupsi (JKAK) Jatim, Luthfi Kurniawan. mengungkapkan, tren kasus korupsi di Jatim antara tahun 2007 hingga 2010 cukup tinggi. Berdasarkan data yang dihimpun JKAK, kasus korupsi pada 2007 dan 2008 jumlahnya masih puluhan. Tahun 2009 jumlahnya mencapai 98 kasus. Dari jumlah itu, sembilan kasus korupsi mandeg, 17 kasus divonis penjara, 63 kasus sedang diproses, dan sembilan kasus divonis bebas. Sedangkan pada semester pertama tahun 2010 (Januari-Juni) terdapat 82 kasus. Dari jumlah itu, 17 kasus prosesnya mandeg di tengah jalan, satu kasus divonis bebas, delapan kasus berujung hukuman penjara, dan 56 kasus masih dalam proses.
Kasus korupsi tersebut merupakan salah satu indikator kemerosotan moral di tingkat para pejabat negara di Jawa Timur. Anehnya, mereka yang melakukan korupsi justru yang secara kemampuan intelektual dan berijazah tinggi. Bukankah tingginya tingkat pendidikan seseorang dapat menciptakan manusia yang cerdas dan bermoral?. Mungkinkah pendidikan kita selama ini telah mengenyampingkan nilai-nilai moralitas dan hanya mengedepankan aspek intelektualitas semata?.
Dalam teori Bloom, semestinya pendidikan harus menyentuh tiga ranah yaitu, ranah kognitif, afektif dan psikomotorik. Tiga aspek tersebut merupakan satu kesatuan yang tak boleh terpisahkan dalam menjalankan tugas mulia pendidikan. Jika tidak, maka akan terjadi kepincangan dalam hasil pendidikannya. Seperti, aspek intelektualitas bagus, namun moralitas hancur seperti para koruptor yang tidak punya hati nurani tersebut.
Sepertinya susah untuk memberantas korupsi dalam waktu yang singkat. Apalagi para pelakunya memiliki kekuasaan dan uang. Mengendalikan penguasa dalam waktu singkat tidak semudah membalikkan telapak tangan. Namun kita harus tetap optimis, karena Indonesia mempunyai generasi penerus yang mungkin bisa dijadikan sebagai energi positif untuk membangun generasi baru yang bersih. Waktu yang dibutuhkan tentu sangat panjang. Sebab bibit-bibit generasi tersebut perlu ‘digodok’ dan dibina dengan pendidikan moral yang berkelanjutan.

Pendidikan Moral di Segala Bidang
Anak merupakan aset bangsa. Sebagai generasi penerus, mereka harus dididik dengan pendidikan yang baik dan benar. Pendidikan yang lebih menekankan pada pendidikan moral. Pendidikan semacam ini seyogyanya dimasukkan ke dalam setiap bidang pelajaran di sekolah.
Sementara ini, pendidikan moral hanya dibebankan kepada pendidikan agama. Hal tersebut sangat tidak maksimal. Waktu yang dialokasikan untuk mata pelajaran pendidikan agama pun sangat terbatas. Apalagi minat belajar anak terhadap pelajaran agama lebih rendah dibandingkan dengan pelajaran umum di sekolah, seperti matematika, fisika, kimia, biologi, ekonomi , bahasa dan lainnya. Pendidikan moral tersebut ditujukan untuk membangun generasi yang jujur dan bermoral. Dalam jangka waktu panjang diharapkan dapat mengurangi atau menghapus budaya korupsi di Jawa Timur.
Walaupun pendidikan moral tidak harus menjadi bagian bab atau sub bab dalam materi pelajaran dalam semua mata pelajaran yang ada, minimal dalam prosesnya guru memberikan suntikan moral kepada siswanya, guru bidang apapun. Dalam hal ini, maka peran guru sangat penting. Guru di kelas diharapkan tidak hanya menjelaskan mata pelajaran yang termaktub dalam buku kepada siswa, tapi juga perlu melakukan penyadaran kepada siswa tentang hakikat pendidikan sebenarnya yaitu pembentukan mental moralitas. Diaharapkan anak didik nanti bisa menjadi manusia yang berani melawan mental korupsi dan ketidakadilan. Kalau meminjam istilah Moh. Yamin (2009) adalah sebagai Innovator and risk taker, yakni sebagai pembaharu dan berani mengambil resiko, terbuka terhadap perspektif yang luas dan kemungkinan-kemungkinan esensial dalam menentukan trend an menentukan pilihan.

Kerjasama
Membangun generasi yang mapan dan bebas dari korupsi dengan pendidikan tidak bisa dilakukan sendirian. Tapi membutuhkan kerjasama yang intensif dan kolaboratif. Masing-masing pihak, instansi pendidikan, masyarakat, dan keluarga semuanya dituntut untuk bersinergi dalam membangun generasi penerus yang baik melalui pembinaan terhadap anak. Ki Hajar Dwantara menyebutnya sebagai Trilogi Pendidikan.
Pendidik di sekolah harus menanamkan nilai-nilai moralitas. Keluarga di rumah juga dituntut memberikan pembinaan moral berbasis keluarga di rumah. Seperti dengan membiasakan anak untuk mengemban amanah dengan baik, atau dengan mengajari untuk bersikap jujur, dan lain sebagainya. Sementara masyarakat atau pemerintah juga dituntut untuk memberikan dukungan kepada praktisi pendidikan dalam menjalankan tugas mulianya. Dukungan tersebut bisa berupa matriil atau non materiil.
Hal ini karena menurut Ki Supriyoko (2006) Pendidikan moral dapat berperan maksimal dalam mencegah timbulnya mental korupsi anak bangsa apabila dilakukan dengan memperhatikan empat hal. Yaitu, penanaman aspek yang terukur, adanya koordinasi antar sentra pendidikan, penampilan keteladanan panutan, dan aksi kolektif masyarakat.
Dengan ini diharapkan Jawa Timur di masa yang akan datang bisa benar-benar menghasilkan generasi yang bebas dari korupsi. Generasi yang pintar, cerdas dan terampil serta bermoral tinggi.
*Penulis adalah
Redaktur Koran Bestari Unmuh Malang

Membangun Profesionalisme Guru di Era Digital

Oleh: Muhammad Rajab*
Prof. Amudi Pasaribu mengatakan bahwa kondisi kehidupan seorang guru di Indonesia saat ini dibandingkan dengan kondisinya setengah abad lalu telah banyak berubah. Gambaran guru yang dihormati karena banyak jasanya dalam mendidik orang, berpakaian perlente, dan termasuk masyarakat yang ekonominya di atas rata-rata, makin sulit ditemukan saat ini. Gaji guru bantu di Indonesi kurang lebih sekitar 500.000 rupiah perbulan, sedangkan di Jepang setara dengan 17 juta rupiah, sementara tunjangan penganggur di Belanda 9,1 juta rupiah.
Masalah gaji memang bukanlah tujuan utama dalam mengajar, akan tetapi kesejahteraan guru juga perlu diperhatikan, tidak boeh diabaikan. Karena bagaimanapun ia adalah orang yang sangat berjasa kepada bangsa. Seorang presiden bisa jadi presiden karena ia dulu dididik oleh seorang guru, demikian pula para tokoh yang saat ini duduk di atas dulunya dididik oleh guru juga. Menurut Sismono La Ode, diakui atau tidak rendahnya gaji guru merupakan salah satu penyebab menurunnya kualitas guru.
Maka tidak boleh disalahkan juga ketika guru mengambil kerja sampingan di luar mengajar, seperti berbisnis atau kerja-kerja lainnya. Karena memang para guru juga dituntut untuk bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari. Bagaimana tidak, mereka juga butuh biaya untuk menyekolahkan anak-anak mereka. Sedangkan gaji guru sangat minim sekali dan tidak bisa diandalkan. Hal ini sangat mempengaruhi profesinalitas guru dalam menjalankan tugasnya. Karena pikirannya harus memikirkan banyak hal dan tidak terfokus pada bagaimana mengembangkan dan meningkatkan kualitas peserta didik di sekolah.
Di satu sisi guru harus mampu memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari, dan di sisi lain dia dituntut tetap profesional dalam menjalankan tugasnya sebagai guru. Dua hal ini sangat paradoks, apalagi melihat kondisi peserta didik di era modern ini berbeda dengan peserta didik yang hidup sebelumnya. Sekarang guru tidak lagi mendapatkan perlakuan seperti perlakuan murid dulu, seperti dihormati sebagaimana yang dikatakan oleh Prof. Amudi di atas.
Menurut pendapat C.O. Houle, ada sembilan ciri orng bisa dikatakan profesional, yaitu (1) memiliki landasan pengetahuan, (2) harus berdasarkan asas kompetensi individual, (3) memiliki sistem seleksi dan sertifikasi, (4) ada kerja sama dan kompetisi, (5) memiliki kesadaran profesional, (6) memiliki prinsip-prinsip etik, (7) memiliki sistem sangsi profesi, (8) memiliki militansi individual, (9) memiliki organisasi profesi.
Ciri-ciri di atas perlu diperhatiakan, khususnya bagi sekolah-sekolah yang akan mempersiapkan calon guru. Karena tantangan profeionalisme guru ke depan akan semakin dahsyat. Oleh karena itu menurut Sismono La Ode (2006) dalam bukunya, Di Belantara Pendidikan Bermoral, komponen-komponen utama kegiatan belajar-mengajar (KBM) di perguruan tinggi (PT) yang terdiri dari mahasiswa, dosen dan kurikulum dapat dipersipkan serta dikebangkan secara sistematis dan integratif, agar dalam proses tersebut dapat melahirkan calon guru yang kelak memiliki profesionalisme yang tinggi.
Disadari atau tidak, di era global ini guru dihadapkan pada murid yang tidak lagi menunggu informasi dan pelajaran dari guru. Mereka sudah bisa mengakses informasi dengan mudah melalui iternet, bahkan mata pelajaranpun bisa didapat melalui media internet tersebut. Dengan demikian guru dituntut untuk betul-betul profesional. Artinya, bahwa guru harus benar-benar mempunyai kompetensi individual yang mumpuni dan beberapa ciri profeionalisme yang telah dijelaskan oleh Houle di atas.
Apabila tuntutan tersebut tidak segera direspon oleh semua pihak yang berkecimpung dalam dunia pendidikan, khususnya para guru dan calon guru, maka bangsa Indonesia akan tertinggal jauh di tengah peradaban bangsa menuju era global. Karena guru merupakan faktor terpenting dalam upaya mendorong kualitas pendidikan nasional, sedangkan kualitas pendidikan merupakan faktor penentu kualitas seluruh aspek kehidupan seperti ekonomi, moral, sosial dan politik. Oleh karena itu profesionalisme bagi guru merupakan satu keniscayaan, khususnya di era modern.
Untuk itu, saat ini sekolah-sekolah keguruan (yang mempersiapkan calon guru) dituntut untuk mampu menyiapkan guru-guru yang handal dan berkualitas. Karena jalan terbaik untuk menciptakan guru profesional dan berkualitas adalah melalui pendidikan keguruan seperti IKIP. Jika tidak, maka bersipalah untuk menghadapi keterbelakangan di segala bidang. Sebab pendidikan adalah kunci utama untuk menciptakan kestabilan seluruh aspek kehidupan.
Untuk mempersiapkan guru yang berkualitas dan profesional menurut Sismono adalah penggunaan paradigma input-process-product-income. Dari segi input, kualitas guru yang akan datang haruslah berasal dari siswa-siswa SMA atau sederajat yang berkualitas dan memnuhi kriteria yang ada. Dari segi process, jajaran Kanwil Diknas didorong untuk memberi kontribusi pada pembentukan sikap profesionalisme mahasiswa calon guru, khususnya ketiaka mereka hendak melakukan Praktek Kerja Lapangan (PPL). Sedangkan dari segi product dan income, setelah membuat kerja sama kita perlu menentukan apa sajakah ciri-ciri guru berkualitas dan bagaimana cara mewujudkannya.
Selain itu, guru saat ini juga dituntut untuk menguasai teknologi (IT). Karena seiring dengan perkembangan zaman IT khususnya teknologi pembelajaran terus berkembang. Dengan demikian, untuk menjadi guru profesional di era digital saat ini, maka guru juga harus menguasai teknologi, seperti teknologi informasi, lebih-lebih teknologi pembelajaran.
*Penulis adalah
Peneliti di Bestari UMM dan Pengajar di Al-Izzah International Islamic School, Kota Batu

Runtuhnya Benteng Kejujuran

Oleh: Muhammad Rajab*

Terungkapnya kasus nyontek massal Ujian Nasional (UN) di SDN Gadel II Surabaya adalah bukti bahwa kejujuran mulai runtuh. Dalam pendidikan, kejujuran adalah nilai mulia yang harus diperjuangkan. Kejujuran adalah harga mati yang tidak bisa ditawa-tawar lagi. Pasalnya, kejujuran adalah kunci moralitas bangsa. Dengan kejujuran semua permasalahan bangsa termasuk korupsi bisa teratasi. Hal ini yang banyak tidak disadari oleh praktisi pendidikan kita. Sehingga, wajar kalau kejujuran tak lagi dipegang demi mengejar kelulusan semata.
Mayoritas masyarakat Indonesia memahami prestasi anak didik hanya dinilai dari tinggi rendahnya nilai raport dan ijazah. Tak dapat dipungkiri bahwa ketika seorang murid mendapatkan nilai yang tinggi maka para orang tua berbangga diri dengan hasil tersebut. Akan tetapi sebaliknya, ketika nilai raport dan ijazah mereka mendapatkan nilai yang rendah, mereka putus asa dan merasa rendah diri.
Fenomena ini adalah sebuah kesalahan. Hal ini juga pernah digambarkan oleh seorang budayawan, Zawawi Imran dalam sebuah seminar. Budayawan asal Tanah Garam ini menyampaikan tentang sebuah perumpamaan nilai yang substansial dalam pendidikan. Ia mencontohkan dua orang, Si A dan Si B. Nilai agama Si A di sekolah mendapatkan 9, tapi dia tidak pernah solat subuh berjama’ah bahkan bolong-bolong. Sedangkan si B mendapatkan nilai 6, tapi dia rajin solat subuh, santun, ramah. Mana di antara keduanya yang secara substansial harus mendapatkan nilai 9?. Tentunya jawabannya adalah yang kedua. Ini sebenarnya adalah sindiriran terhadap praktik pendidikan di Indonesia saat ini.
Memang wajar, bahwa setiap orang ingin mendapatkan yang terbaik. Tapi perlu diingat, nilai-nilai dan prestasi pendidikan bukan hanya dinilai dari tinggi rendahnya angka raport dan ijazah. Padahal dalam bukunya tentang Kecerdasan Ganda (Multiple Intelligences), Daniel Goleman mengingatkan kepada kita bahwa kecerdasan emosional dan sosial dalam kehidupan diperlukan 80%, sementara kecerdasan intelektual hanyalah 20% saja.
Perspektif yang mengedepankan aspek kognitif dan nilai nominal raport semata dalam dunia pendidikan merupakan sebuah kesalahan yang fatal. Hal ini berdasar pada UU No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 3, yang menyebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Perlu disadari oleh semua pendidik, bahwa mendidik bukan hanya memberikan materi dan mata pelajaran semata. Akan tetapi lebih dari itu, mendidik merupakan aktivitas mulia yang berusaha menekankan dan menanamkan moralitas kepada peserta didik. Jika mendidik hanya diartikan dan dipahami sebagai aktivitas mengajar saja, maka ini adalah sebuah kesalahan yang besar karena telah menyempitkan makna pendidikan.
Dalam taksomoni Bloom dijelaskan bahwa ada tiga pilar utama yang perlu disentuh oleh pendidikan, yaitu kognitif, afektif, dan psikomotorik. Ketiganya harus benar-benar ditanamkan kepada peserta didik agar mereka sanggup menghadapi tantangan budaya yang semakin carut-marut. Dalam hal ini, mental kejujuran memegang peranan penting untuk mendapatkan ketiga aspek tersebut. Baik kejujuran kepada diri sendiri, orang tua, guru, masyarakat, dan bangsa Indonesia.

Bibit korupsi
Virus kebohongan dan kecurangan dalam pelaksanaan UN adalah cikal bakal dan bibit subur karakter korupsi. Mengapa orang-orang pintar yang saat ini duduk di kursi kepemimpinan banyak melakukan tindakan korupsi?. Padahal, jika dilihat secara keilmuan, mereka sangat mumpuni, gelarnya pun tidak tanggung-tanggung minimal magister. Jawabannya hanya satu, yaitu hilangnya mental kejujuran dalam diri mereka. Maka dari itu, jika anak didik sejak saat ini sudah mulai diajari untuk tidak jujur maka jangan disalahkan kalau generasi mendatang akan lebih banyak lagi muncul para koruptor.
Jika lembaga pendidikan kita sudah mulai mengajarkan kebohongan kepada para murid, maka siapa lagi yang akan merubah karakter bangsa yang kian murat-marit ini. Padahal pendidikan memegang peranan penting untuk melakukan perubahan di masa yang akan datang. Anak-anak yang didik di dalamnya adalah generasi penerus bangsa di masa mendatang.
Perlu diingat bahwa kejujuran harus benar-benar menjadi pegangan bagi para pendidik. Nilai ini harus tetap menjadi prioritas utama dalam aktivitas pendidikan. Pasalnya, kejujuranlah yang akan menentukan nasib bangsa Indonesia ke depan. Rusaknya bangsa, bobroknya moral para penguasa, korupsi, nepotisme, dan semacamnya merupakan akibat dari pendidikan yang salah. Sebuah pendidikan yang mengenyampingkan kejujuran. Tapi malah sebaliknya, virus kebohongan dan kecurangan selalu ditebarkan, khususnya ketika pelaksanaan ujian.
Menurut Soemarno Sudarsono (2009), ada beberapa hal penting yang bisa dijadikan pijakan untuk membangun karakter bangsa, yaitu kejujuran, keterbukaan, keberanian mengambil resiko, bertanggung jawab, memenuhi komitmen, dan kemampuan berbagi. Di sini Soemarno meletakkan kejujuran pada urutan pertama dikarenakan pentingnya kejujuran dalam membangun karakter bangsa. Untuk itu, saatnya kita sadar dan mengehentikan perilaku kecurangan dan kebohongan untuk menciptankan generasi bangsa yang jujur di masa yang akan datang.

*Penulis adalah
Aktivis IMM dan Redaktur Koran Bestari Universitas Muhammadiyah Malang