Jumat, 10 Agustus 2012

Menapak Jejak Kepahlawanan Sang Kyai

 Telah dimuat di Malang Post
Judul buku        : Damai Bersama Gusdur
Editor               : Rumadi
Penerbit            : Kompas
Cetakan I         : Februari 2010
Tebal                : xxxiv + 158 hlm.
Peresensi          : Muhammad Rajab*  
            Ketokohan seseorang menonjol ketika yang bersangkautan meninggal. Begitu yang terjadi pada KH. Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. Pejuang kemanunisiaan yang meninggal 30 Desember 2009 ini telah banyak mencurahkan pikiran-pikiran bahkan tenaganya untuk bangsa. Maka tak salah kalau banyak masyarakat memberinya gelar sebagai seorang pahlawan karena jasa-jasanya yang begitu banyak terhadap bangsa.
            Salah satu yang menonjol dari Gus Dur adalah perannya sebagai penyeimbang gerakan keagamaan dan politik di Indonesia. Ia tidak pernah berada di satu ekstrem ke ekstrem lainnya. Dengan sadar ia menentang arus besar dengan mental dan legitimasi yang kuat. Ditambah dengan garis keturunan dari keluarganya telah mewariskan kemampuan intelektual dan modal kepemimpinan yang membuat ia bertahan.
            Gus Dur merupakan sosok yang sangat gigih memperjuangkan perdamaian melalui gerakan pluralismenya.  Sebelum meninggal ia berpesan, “saya ingin di kuburan saya ada tulisan; di sinilah dikubur seorang pluralis”, (hal. 69). Mantan Ketua Permusyawaratan Rakyat Amin Rais sangat setuju apabila Gus Dur dianugerahi gelar pahlawan nasional. Amin Rais menilai Gusdur adalah ikon pluralisme. Ia berpendapat, Gus Dur merupakan tokoh yang diterima segenap bangsa Indonesia.
            Buku “Damai Bersama Gus Dur” ini memuat kumpulan berita, artikel, tajuk rencana, hasil jejak pendapat, dan analisis yang dimuat harian Kompas. Buku ini merupakan lanjutan dari buku “Gus Dur: Santri Par Excellence” yang sudah terbit pertengahan Januari. Buku setebal 158 halaman ini menggoreskan benang merah; Gus Dur yang tampil merakyat dan memiliki obsesi perdamain, kepeninggalannya meninggalkan rasa hampa dan sepi bagi bangsa.
            Ruh perdamaian yang diperjuangkan Gus Dur melalui ide-ide pluralismenya merupakan tindakan tepat untuk kondisi masyarakat Indonesia yang plural. Walaupun menurut pandangan Nahdlatul Ulama (NU), pluralisme yang diperjuangkan adalah pluralisme dalam perspektif sosiologis, bukan pluralisme dalam perspektif teologis. Karena menurut Ketua Umum PBNU, K.H. Hasyim Muzadi, pluralisme teologis justru dapat merugikan teologi semua agama karena hanya akan menghasilkan keimanan dan keyakinan beragama yang campur aduk.
            Wafatnya Gus Dur merupakan kehilangan besar bagi NU dan bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia menurut Hasyim, kehilangan dua hal besar dan mahal dengan kepergian Gsu Dur, yaitu demokrasi dan humanisme. Humanisme Gus Dur benar-benar berangkat dari nilai-nilai Islam yang paling dalam, tetapi melintasi agama, etnis, teritorial dan negara.
            Umat Islam yang menjadi mayoritas kelompok agama di Indonesia difasilitasi dan didorong agar mampu melaksanakan otontesitas ajaran agamanya yang menyeru kepada perdamaian yang menjadi kekuatan yang mengayomi kebhinekaan bangsa. Sementara yang mereka menebar kebencian atas nama agama, dibatasi atau bahkan dihentikan geraknya.
            Tasarruful imam ala ar-ra’iyah manuutun bil mashlahah, kebijakan seorang pemimpin haruslah mengacu pada kesejahteraan rakyat yang dipimpinnya. Itulah kaedah fiqih yang dipergunakan Gus Dur dalam mengibarkan sayap perdamaian di tengah-tengah masyarakat plural Indonesia.

Man of peace
            Buku ini adalah sebuah kesaksian tertulis untuk sang pahlawan pluralisme. Dengan sangat komprehensif, buku ini menyajikan sebuah bukti pengakuan dari berbagai tokoh nasional bahwa Gus Dur adalah sosok man of peace (pencinta damai) juga sebagai bapak pluralisme dan multikulturalisme. Bagi perdamaian, keikhlasan dan kejujuranlah pahlawan kelahiran Jombang ini mempersembahkan seluruh hidupnya. Kecintaan pada bangsa ini mengatasi kecintaannya pada pada dirinya, sehingga dalam kondisi fisik yang sudah sangat rapuh pun ia masih saja berpikir untuk rakyat dan bangsa Indonesia.
            Winston Churchil salah satu tokoh favorit Gus Dur, pernah mengatakan, history will be kind to me for I intend to write it, sejarah akan berlaku baik kepadaku karena akulah yang akan menuliskannya. Sepanjang hidupnya Gus Dur telah melukiskan sejarahnya sendiri, dan tulisan di makamnya hanyalah untuk mengabadikan apa yang selama ini telah disaksikan, bahwa Gus Dur adalah orang yang sepanjang hidupnya berjuang untuk kemanusiaan.
            Menjadi orang yang berjuang untuk kemanusiaan, memang seolah garis yang sudah ditetapkan untuknya. Seluruh hidupnya, ia mengabadikan dirinya untuk membela mereka yang papa dan terpinggirkan. Sejak pukul lima pagi, rumahnya sudah terbuka untuk semua. Mulai dari warga yang teraniaya datang mengadukan nasibnya, atau mereka yang datang meminta doa, tak kurang pula yang datang mengharap lebih dari sapa. Semua dibantu dengan terbuka. Bahkan menurut pengakuan anaknya Yenny Zannuda Wahid, tak jarang membuat iri anak-anaknya sendiri. (hal. xv)
            Keberagaman bangsa Indonesia diyakini oleh Gus Dur akan mendatangkan kemaslahatan bangsa, bukan memecah bangsa. Karena baginya perbedaan adalah rahmat. Dalam sebuah wawancara untuk penyususnan disertasi Benyamin F. Intan di Boston College, Gus Dur menandaskan perlunya tiga nilai universal, yaitu kebebasan, keadilan dan musyawarah untuk menghadirkan pluralisme sebagai agen pemaslahatan bangsa dan terciptanya perdamaian di tengah perbedaan hidup.           
            Buku ini merupakan jawaban bagi yang ingin mengetahui lebih mendalam mengapa begitu banyak orang yang mencintai Gus Dur?, apa saja yang telah ia lakukan dalam memperjuangkan nasib bangsa, terutama mereka yang lemah, tertindas dan tersingkirkan?, apa saja bentuk penghargaan yang telah diberikan masyarakat kepadanya?.
*Peresensi adalah
Penulis Buku dan Peneliti di Pusat Studi Islam
Universitas Muhammadiyah Malang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

kOMENTAR ANDA