Minggu, 28 Juni 2009

perbandingan pemikiran pendidikan

Oleh: Muhammad Rajab
NIM: 07110037
(dikumpulakan tanggal: 24 Juni 1986)

1. Di bawah ini adalah pemaparan dan perbandingan pemikiran pendidikan Al-Gazali dengan pemikiran pendidikan ibnu Khaldun;
- Pemikiran Pendidikan Al-Gozali
Pemikiran pendidikan Al-Gozali masuk ke dalam aliran konservatif. Hal ini bisa dilihat dari penjelasan Al-Gozali tentang tujuan pendidikan. Tujuan pendidikan menurut Al-Gazali adalah:
a. Sebagai wujud ibadah kepada Allah SWT.
b. Pembentukan akhlakul karimah
c. Mengantarkan peserta didik mencapai kebahagiaan dunia akhirat.
Selain itu menurut Al-Gazali juga, pendidikan merupakan sarana utama untuk menyiarkan ajaran Islam, memelihara jiwa, dan taqarrub ilallah. Oleh karena itu pendidikan merupakan ibadah dan peningkatan kualitas diri. Sedangkan pendidikan yang baik menurut Al-Gazali merupakan jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah dan mendapatkan kebahagiaan dunia akhirat.
Kaitannya dengan pendidik, Al-Gazali mengatakan bahwa pendidik adalah orang yang berusaha membimbing, meningkatkan, menyempurnakan, dan mensucikan hati sehingga dengan Khaliqnya. Sedangkan peserta didik menurutnya memiliki tugas dan kewajiban, yaitu:
a. Mendahulukan kesucian jiwa
b. Bersedia merantaru untuk mencari ilmu pengetahuan
c. Jangan menyombongkan ilmunya dan menentang guru
d. Mengetahui kedudukan ilmu pengetahuan.
Sedangkan pembagian ilmu menurut Al-Gazali ada dua macam, yaitu ilmu syar’iyah. Sementara dilihat dari sifatnya, ilmu dibagi menjadi dua macam juga, yaitu ilmu mahmudah (terpuji) dan ilmu madzmumah (tercela). Ilmu yang terpuji wajib dicari dan yang tercela wajib dihindari .
- Pemikiran Pendidikan Ibnu Khaldun
Ibnu Khaldun jika digolongkan kepada tiga macam aliran dalam pendidikan, maka ia masuk dalam kategori aliran pragmatis. Aliran yang lebih mengedepankan aspek hasil dan tujuan dari pendidikan tersebut. Sedangkan pendekatan yang digunakan oleh Ibnu Khaldun menurut Rasyidin adalah pendekatan filosofis empiris.
Menurut Ibnu Khaldun paling tidak ada 3 tujuan yang hendak ingin dicapai dalam proses pendidikan, yaitu:
a. Pengembangan kemahiran dalam bidang tertentu.
b. Penguasaan keterampilan profesional sesuai dengan tuntutan zaman.
c. Pembinaan pemikiran yang baik.
Terkait dengan pendidik, Ibnu Khaldun mengatakan, ada 6 prinsip utama yang perlu diperhatikan oleh seorang pendidik, yaitu: prinsip pembiasaan, prinsip tadrij (beransur-ansur), prinsip pengenalan umum (generalistik), prinsip kontinuitas, memperhatikan bakat dan kemampuan peserta didik, dan menghindari kekerasan dalam mengajar.
Sedangkan terkait dengan pembagian ilmu, Ibnu Khaldun membagi ilmu pengetahuan kepada dua bagian, yaitu ilmu pengetahuan syar’iyah dan ilmu pengetahuan filosofis. Ilmu pengetahuan syar’iyah berkenaan dengan hukum dan ajaran agama Islam. Sementara ilmu pengetahuan filosofis meliputi logika, fisika, metafisikan dan matematika.
2. Sebelum menganilis kelemahan kurikulum pendidikan Islam, saya rasa perlu untuk mendifinisikan kurikulum terlebih dahulu. Menurut Al-Syaibany, kurikulum adalah sejumlah pengalaman pendidikan, kebudayaan, sosial, olahraga, dan keseniaan yang disediakan oleh sekolah bagi murid-murid di dalam dan di luar sekolah dengan maksud menolongnya untuk berkembang menyeluruh dalam segala segi dan merubah tingkah laku mereka sesuai dengan tujuan-tujuan pendidikan.
Melihat definisi di atas, Nur Unbiyati mengambil kesimpulan bahwa kurikulum mempunyai empat unsur utama, yaitu:
a. Tujuan-tujuan yang ingin dicapai oleh pendidikan itu. Dengan lebih tegas lagi orag yang bagaimana yang ingin kita bentuk melalui pendidikan.
b. Pengetahuan, informasi-informasi, data-data, aktivitas-aktivitas, pengalaman-pengalaman dari mana terbentuk kurikulum itu. Atau bisa disebut dengan istilah mata pelajaran.
c. Metode dan cara-cara mengajar yang dipakai oleh guru dan mendorong murid-murid untuk belajar dan membawa mereka ke arah yang dikehendaki oleh kurikulum.
d. Metode dan cara penilaian yang digunakan dalam mengukur dan menilai kurikulum serta hasil proses pendidikan yang direncanakan oleh kurikulum seperti Ujian Akhir (UN), Ujian Akhir Sekolah (UAS) dan lainnya.
Berdasarkan uraian tentang definisi di atas, saya menemukan beberapa kelemahan dalam kurikulum pendidikan Islam, khususnya pada 4 unsur kurikulum yang telah disebutkan oleh Nur Unbiyati di atas, yaitu:
a. Tujuan pendidikan Islam pada dasarnya adalah menciptakan manusia yang berakhakul karimah dan bertakwa kepada Allah (insan kamil). Tujuan ini menurut saya harus dikembangkan sesuai dengan perkembangan zaman. Sehingga titik kelemahan tujuan pendidikan Islam saat ini menurut saya pada sifatnya yang statis. Untuk itu perlu dirumuskan kembali tujuan pendidikan Islam yang benar mencakup tidak hanya hubungan dengan Allah, akan tetapi juga dengan diri sendiri, dan masyarakat sesuai dengan kebutuhan manusia pada zamannya.
b. Dari segi mata pelajarannya, mata pelajaran pendidikan Islam terlihat stagnan. Tidak ada pengembangkan sesuai dengan perkembangan permasalahan di era modern. Akibatnya, anak didik tidak dapat meecahkan permasalahan-permasalahan yang berkembang saat ini disebabkan materi pelajaran yang diberikan sangat statis dan tidak menyentuh aspek permasalahan masa kini.
c. Metode pengajarannya yang tidak aktif (pasif) atau sangat monotone. Sehingga terlihat kaku dan tidak dinamis, seperti pembicaraan yang satu arah (ceramah). Murid hanya diam mendengarkan apa yang dikatakan oleh guru. Akibatnya murid juga ikut pasif dan tidak bisa mengaktualisasikan kemampuannya baik di kelas maupun di luar kelas.
d. Sistem evaluasi yang kurang tepat, seperti tidak adanya kontrol terhadap murid ketika dala lingkungannya. Keberhasilan pendidikan Islam tidak bisa diukur dengan nilai ujian yang tinggi. Akan tetapi keberhasilan pendidikan Islam harus diukur dari tingkat moralitas anak. Dan guru tentnya harus bekerja sama dengan wali murid melakuakan evaluasi terhadap peserta didiknya.
Sebagai salah contoh hasil penerapan kurikuum tersebut, Banyak siswa-siswa yang di sekolah terlihat baik. Namun ternyata dilingkungannya bertindak amral, seperti minu-minuan keras, mencuri, melakukan kekerasan, terlibat Narkoba dan lainnya. Hal ini sebagai akibat dari sistem kontrol (evaluasi) kurikulum pendidikan Islam yang salah.
3. Dalam dualisme payung pengelolaan lembaga pendidikan Islam mempunyai kelemahan (kekurangan) dan kekuatan (kelebihan). Adapun kelemahannya adalah adanya kerancuan atau kebingungan dalam pengembangan kurikulumnya. Apaah lembaga tersebut akan mengikuti Depag atau Diknas. Karena antara Depag dan Diknas di beberapa sisi banyak perbedaan.
Adapun kekuatannya adaah bahwa lembaga pendidikan pendidikan Islam yang berada di bawah payung dualisme tersebut mempunyai kekuatan hukum yang kuat. Hal ini berbeda ketika lembaga pendidikan Islam hanya berada di bawah Depag atau Diknas saja. Selain itu, menurut Abdul Aziz, ketika pendidikan Islam juga berada di bawah naungan Diknas, maka hal ini membuka ruang gerak bagi pendidikan agama untuk lebih mengembangkan metode dan kurikulum pendidikan agama yang telah ada. Hal lain dari kekuatan tersebut adalah dualisme payung kelembagaan akan lebih banyak peluang untuk mendapatkan dana pengembangan pendidikan dibanding dengan hanya berada di bawah payung Depag atau Diknas saja.
Pada Bagian Kesembilan dari Undang-Undang Sisdiknas disebutkan, religiusitas ditampilkan dalam bentuk akomodasi terhadap Pendidikan Keagamaan sebagai komponen pendidikan nasional. Ada empat hal penting berkaitan dengan Pendidikan Keagamaan yang diatur dalam Pasal 30 dari UU Sisdiknas ini, yaitu kewenangan, fungsi, jalur, dan bentuk pendidikan keagamaan. Tentang fungsi pendidikan keagamaan pasal ini menyebutkan tiga kompetensi yang harus dicapai peserta didik, yaitu 1) memahami nilai-nilai ajaran agama, 2) mengamalkan nilai-nilai ajaran agama, dan 3) menjadi ahli ilmu agama.

REFERENSI
Asy-Syaibany. 1997. Falsafah Pendidikan Islam. Bandung: Bulan Bintang
Aziz, Abdul. 2007. Konfigurasi Politik Pendidikan Nasional. Yogyakarta: Pustaka Fahmi
http://lpmpalmuhajirin.blogspot.com/2009/03/pendidikan-islam-dalam-sisdiknas-part_8418.html

Unbiyati, Nur. 1999. Ilmu Pendidikan Islam. Bandung: CV Pustaka Setia

Pendidikan Islam dan Perubahan Sosial (Suatu Teori tentang Pendidikan Islam dalam Pengembangan Masyarakat)

Oleh: Muhammad Rajab

Pendahuluan
Kondisi masyarakat Indonesia saat ini sungguh sangat memprihatinkan. Berbagai macam kasus atau perilaku sosial yang amoral sering kali terjadi, mulai dari perampokan, pelecehan seksual, pencurian, minum-minuman keras, narkoba, kekerasan dan lain sebagainya. Padahal, di Indonesia banyak lembaga-lembaga pendidikan. Seharusnya dengan adanya lembaga pendidikan maka kondisi bangsa juga akan menjadi baik.
Hal di atas sungguh sangat paradoks. Di satu sisi Indonesia mempunyai banyak lembaga pendidikan, mulai dari tingkat Taman Kanak-Kanak hingga perguruan tinggi (PT). Namun di sisi lain, Indonesia mengalami dekadensi moral. Sehingga menjadikan situasi sosial masyarakat sangat tidak kondusif.
Lebih-lebih masyarakat Indonesia adalah mayoritas muslim, dan juga mayoritas pelaku kejahatan sosial juga mengaku dirinya muslim. Satu hal yang menjadi tanda tanya besar. Kenapa bangsa Indonesia yang mayoritas muslim masih banyak ditemukan kejahatan-kejahatan di masyarakat?.
Menurut penulis letak kesalahannya adalah pada pendidikan moralnya yang kurang optimal. Dalam hal ini, pendidikan Islam memegng peranan penting untuk merubah kondisi sosial masyarakat Indonesia. Karena Islam adalah agama yang telah menyebarkan nilai-nilai sosial mulia, seperti nilai moralitas, humanitas dan religiusitas. Maka sudah saatnya pendidikan Islam sadar akan perannya di tengah kondisi bangsa yang morat-marit ini.
Oleh karena itu penulis tertarik untuk mengangkat judul Pendidikan Islam dan Perubahan Sosial; Suatu Teori tentang Pendidikan Islam dalam Pengembangan Masyarakat. Dengan harapan, pendidikan Islam bisa lebih diperhatikan lagi oleh para praktisi pendidikan. Karena peran pendidikan Islam dalam perubahan dan pengebangan kualitas sosial Indonesia sangat besar. Sehingga saya rasa pembahasan ini sangat perlu diulas, walaupun sudah banyak akademisi yang telah mengkaji tentang pendidikan dan perubahan sosial.

Definisi Pendidikan Islam, Perubahan Sosial dan Masyarakat
1. Pendidikan Islam
Ki Hajar Dewantara mengartikan pendidikan adalah daya upaya untuk memajukan budi pekerti (kekuatan batin), pikiran dan jasmani anak-anak selaras dengan alam dan masyarakatnya. Sedangkan Sismono La Ode mengatakan, pendidikan merupakan proses pendewasaan anak melalui berbagai program dan kegiatan dalam konteks, baik formal maupun non formal. Dan hasil akhir pendidikan adalah pembentukan insan yang berkualitas, berakhlak mulia, beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, mandiri dan berguna bagi sesama manusia, masyarakat dan bangsanya.
Di dalam Islam terdapat tiga istilah pendidikan Islam, yatiu tarbiyah, ta’lim dan ta’dib. Pertama, kata raba yarbu, yang berarti bertambah atau tumbuh. Kedua, kata rabia yarba, yang berarti tumbuh dan berkembang. Ketiga, kata raba yarubbu yang berarti memperbaiki, menguasai, memimpin, menjaga dan memelihara. Firman Alah yang mendukung istilah tarbiyah antara lain terdapat pada surat Al-Isra’ ayat 24.
Istilah kedua adalah ta’lim. Menurut Abdul Fatah Jalal, ta’lim adalah proses pembelajaran secara terus menerus sejak manusia lahir melalui pengembangan fungsi-fungsi pendengaran, penglihatan dan hati. Adapun istilah ta’dib menurutnya berasal dari kata adab yang berarti berarti pengenalan dan pengakuan tentang hakikat bahwa pengetahuan dan wujud bersifat teratur secara hirarkis sesuai dengan berbagai tingkatan dan derajat tingkatannya serta tempat seseorang yang tepat dalam hubungannya dengan hakikat itu serta dengan kapasitas dan potensi jasmani, intelektual, maupun rohani seseorang. Dengan demikian ini, kata adab mencakup pengertian ilmu dan amal.
Sedangkan menurut Yusuf al-Qardawi, Pendidikan Islam adalah pendidikan manusia seutuhnya, yakni akal dan hatinya, rohani dan jasmaninya, akhlak dan keterampilannya, karena itu, pendidikan Islam menyiapkan manusia untuk hidup baik dalam keadaan damai maupun perang, dan menyiapkan untuk menghadapi masyarakat dengan segala kebaikan dan kejahatannya, manis dan pahitnya.
Adapun Nur Unbiyati mendefinisikan pendidikan Islam sebagai suatu sistem kependidikan yang mencakup seluruh aspek kehidupan yang dibutuhkan oleh hamba Allah. Oleh karena itu Islam memberikan pedoman kepada seluruh manusia baik di dunia maupun di akhirat.
2. Perubahan Sosial
Kingsey Davis mendefinisikan perubahan sosial sebagai perubahan-perubahan yang terjadi dalam struktur dan fungsi masyarakat. Sedangkan Mac Iver sebagaimana yang dikutip oleh Arifin, mengartikan perubahan sosial adalah perubahan-perubahan dalam hubungan sosial sebagai perubahan terhadap keseimbangan (equilibrium) hubungan sosial.
Gillin mengatakan perubahan-perubahan sosial sebagai variasi dari cara-cara hidup yang telah diterima, baik karena perubahan-perubahan kondisi geografis, kebudayaan material, komposisi penduduk, ideologi maupun karena adanya difusi ataupun penemuan-penemuan baru dalam masyarakat.
Sementara Selo Soermarjan merumuskan perubahan sosial merupakan segala perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan di dalam suatu masyarakat, yang mempengruhi sistem sosialnya, termasuk di dalamnya nilai-nilai, sikap dan pola perilaku di antara kelompok-kelompok dalam masyarakat.
Menurut Kuntowijoyo, ada tiga tahapan perubahan masyarakat. Pertama, tahap masyarakat ganda, yakni ketika terpaksa ada pemilahan antara masyarakat madani (civil society) dengan masyarakat politik (political society) atau antara masyarakat dengan negara. Karena adanya pemilahan ini, maka dapat terjadi negara tidak memberikan layanan dan perlindungan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakatnya. Kedua, tahap masyarakat tunggal, yaitu ketika masyarakat madani sudah berhasil dibangun. Ketiga, tahap masyarakat etis (ethical society) yang merupakan tahap akhir dari perkembangan tersebut. Masyarakat etis, yakni masyarakat yang dibentuk oleh kesadaran etis, bukan oleh kepentingan bendawi.
3. Masyarakat
Masyarakat adalah suatu kehidupan bersama di suatu wilayah dan waktu tertentu dengan pola-pola kehidupan yang terbentuk oleh antarhubungan dan inteaksi warga masyarakat itu dengan alam sekitar. Menurut Ogburn dan Nimkoff dalam bukunya Sosiology , mengatakan, suatu masyarakat ialah suatu kelompok atau sekumpuan kelompok yang mendiami suatu daerah. Sedangkan Prof. Robert memberi batasan masyarakat, bahwa istilah masyarakat dapat diartikan sebagai suatu kelompok manusia yang hidup bersama di suatu wilayah dengan tata cara berpikir dan bertidak yang relatif sama yang membuat warga masyarakat itu menyadari diri mereka sebagai suatu kesatuan (kelompok).
Sedangkan menurut Ishomuddin, masyarakat adalah kumpuan sekian banyak individu baik kecil maupun besar yang terikat oleh satuan, adat, ritus, atau hukuman khas, dan hidup bersama. Ada beberapa kata yang digunakan al-Quran untuk menunjuk arti masyarakat atau kumpulan manusia, yaitu qaum, ummah, syu’ub, dan qabail. Di samping itu al-Quran juga memperkenalkan masyarakat dengan sifat-sifat tertentu seperti, al-mustakbirun, al-mustadh’afun dan lain sebagainya.

Perubahan Sosial dalam Islam
Islam sebagai agama rahmat bagi seluruh alam, tentu sangat memperhatikan keadaan masyarakat. Hal ini terlihat dari bukti sejarah, bagaimana Nabi Muhammad SAW membangun masyarakat Arab. Kemudian terus berkembang hingga Islam tersebar ke seuruh penjuru dunia. Dan sudah barang tentu, Islam membangun masyarakat melalui pendidikan. Karena proses pendidikan merupakan saah satu cara yang efektif dalam membangun umat. Allah SWT berfirman:
”Sesungguhnya Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum hingga mereka mau merubah diri mereka sendiri”

Untuk meakukan sebuah perubahan, maka ada dua hal yang perlu diperhatikan oleh manusia sebagai pelaku perubahan, yaitu:
1. Membangun kecerdasan dan memperluas wawasan
Manusia sebagai makhluk yang luar biasa mempunyai potensi yang luar biasa besarnya sehingga dapat mendayagunakan alam dan sesama manusia dalam rangka mebangun peradaban. Kemajuan suatu bangsa pada umumnya ditentukan oleh bangsa itu dalam mendayagunakan sumber daya manusia melalui pergumulannya mengembangkan ilmu pengetahuan. Maka sudah barang tentu di dalam proses pendidikan manusia menempati sebagai subjek dan objek pendidikan itu sendiri.
Banyak indikasi di dalam al-Quran yang memerintahkan supaya manusia, khususnya umat Islam bersikap cerdas dan selalu menambah wawasan keilmuannya, di antaranya, pertama, Allah memerintahkan manusia agar senntiasa berpikir dan menggunakan pikirannya untuk memecahkan permasalahan-permasalahan hidup yang dihadapi. Dan potensi untuk menambah wawasan tersebut sudah Allah sediakan untuk manusia, seperi penglihatan, pendengaran dan perasaan.
Perkebangan keintelektualan manusia menurut konsep Islam tidak hanya hanya dengan usaha manusia akan tetapi Tuhan-lah yang menentukan. Namun demikian manusia keturunan Adam haruslah bekerja dan belajar keras untuk memanfaatkan otak dan akal pemberian Tuhan demi kepentingan manusia sendiri. Dan Allah akan memberikan pengetahuan yang diinginkan manusia baik secara langsung maupun tidak jika manusia mau berusaha.
Kedua, Allah SWT memberikan kebebasan untuk menuntut ilmu, kalau bahasanya Malik Fajar adalah Allah telah melakukan liberalisasi dalam bidang ilmu. Semua manusia (khususnya muslim) baik laki-laki maupun perempuan diwajibkan mencari ilmu kepada siapa saja, kapan saja dan di mana saja. Kemudian orang-orang yang sudah mendapatkan ilmu diperintahkan oleh Allah SWT untuk menyebarkan ilmu tersebut serta tidak menyembunyikannya. Hal ini dimaksudkan untuk kemaslahan umat manusia.
Ketiga, Dengan akal manusia diperintahkan untuk membuktikan kekuasaan Allah dengan cara mengkaji dan mengelola alam demi keperluan hidupnya, tetapi juga dilarang untuk berbuat kerusakan dan pertumpahan darah. Keempat, manusia diperintahkan untuk fantasyiru fil ’ardh (bertebaran di muka bumi) dalam rangka mencari ilu pengetahuan. Karena setiap bangsa diberi ilmu keistimewaan sendiri-sendiri. Dan ilmu pengetahuan atau perkembangan pemikiran umat manusia tidak berhenti, apalagi mundur, melainkan terus berputar dan berpindah dari suatu bangsa pada kurn waktu tertentu.
Kelima, kecintaan terhadap informasi atau ilmu pengetahuan yang akhirnya menumbuhkan pada kecintaan kegiatan belajar. Sebagaimana yang telah diketahui, bahwa al-Quran pertama diturunkan adalah perintah untuk membaca, yaitu mengkaji tentang hakikat Tuhan, manusia, alam, hubungan antara ketiganya, serta fungsi masing-masing.
2. Membangun etos kerja
Untuk menuju kepada sebuah perbahan sosial yang signifikan, Islam sangat memperhatikan etos kerja. Karena etos kerja-lah yang akan menjadi pendorong bagi manusia untuk bergerak menuju arah perubahan. Hal ini telah dibuktikan oleh sejarah, bagaimana nabi Muhammad SAW bisa menguasai daerah Arab dan sekitarnya dan kemudian akhirnya Isam tersebar di seluruh penjuru dunia serta dapat mengubah peradaban manusia. Semua itu karena etos kerja umat Islam sangat kuat. Untuk itu, menurut Malik Fadjar ada beberapa hal penting yang perlu kita ketahui, yaitu:
Pertama, Di dalam Islam, motivasi dasar yang harus diletakkan oleh setiap muslim dalam menjalankan hidup ini adalah pengabdian kepada Allah semata. Islam mengajarkan dalam hidup dan segala aspeknya termasuk dalam mengelola pendidikan dan melakukan perubahan sosial harus diniatkan sebagai pengabdian kepada Allah.
Kedua, al-Quran menegaskan bahwa cara terbaik untuk mendapatkan prestasi dalam hidup adalah dengan bekerja. Karena pada dasarnya seseorang tidak akan memperoleh sesuatu kecuali sesuai dengan apa yang ia usahakan. Ketiga, Dalam hidup dan bekerja, Islam menganjarkan akan pentingnya berorientasi pada masa depan, kerja keras, teliti, hati-hati, menghargai waktu, penuh rasa tanggung jawab, dan berorientasi pada prestasi.
Artinya menurut Malik Fadjar adalah hidup harus punya cita-cita, hidup dalam Islam harus hemat dan berpola sederhana seta tidak konsumtif dan berlebihan atau tidak kikir. Selain itu, kerja santai, tanpa rencana, malas, boros tenaga, waktu dan biaya adalah bertentangan dengan nilai-nilai ajaran Islam. Dan semua masalah yang menjadi tanggung jawabnya harus dihadapi dengan penuh rasa tanggung jawab (responsibility) dan penuh perhitungan. Islam juga menilai, sebaik-baik pekerjaan adalah yang dikerjakan dengan sebaik-baiknya (ahasana ’amala).

Menuju Masyarakat Madani
Dalam bahasa Arab, kata “madani” tentu saja berkaitan dengan kata “madinah” atau ‘kota”, sehingga masyarakat madani bisa berarti masyarakat kota atau perkotaan . Meskipun begitu, istilah kota di sini, tidak merujuk semata-mata kepada letak geografis, tetapi justru kepada karakter atau sifat-sifat tertentu yang cocok untuk penduduk sebuah kota. Dari sini kita paham bahwa masyarakat madani tidak asal masyarakat yang berada di perkotaan, tetapi yang lebih penting adalah memiliki sifat-sifat yang cocok dengan orang kota, yaitu yang berperadaban. Dalam kamus bahasa Inggris diartikan sebagai kata “civilized”, yang artinya memiliki peradaban (civilization), dan dalam kamus bahasa Arab dengan kata “tamaddun” yang juga berarti peradaban atau kebudayaan tinggi.
Adapun menurut di Suharto, ada beberapa kriteria masyarakat madani, yaitu:
1. Terintegrasinya individu-individu dan kelompok-kelompok ekslusif kedalam masyarakat melalui kontrak sosial dan aliansi sosial.
2. Menyebarnya kekuasaan sehingga kepentingan-kepentingan yang mendominasi dalam masyarakat dapat dikurangi oleh kekuatan-kekuatan alternatif.
3. Dilengkapinya program-program pembangunan yang didominasi oleh negara dengan program-program pembangunan yang berbasis masyarakat.
4. Terjembataninya kepentingan-kepentingan individu dan negara karena keanggotaan organisasi-organisasi volunter mampu memberikan masukan-masukan terhadap keputusan-keputusan pemerintah.
5. Tumbuhkembangnya kreatifitas yang pada mulanya terhambat oleh rezim-rezim totaliter.
6. Meluasnya kesetiaan (loyalty) dan kepercayaan (trust) sehingga individu-individu mengakui keterkaitannya dengan orang lain dan tidak mementingkan diri sendiri.
7. Adanya pembebasan masyarakat melalui kegiatan lembaga-lembaga sosial dengan berbagai ragam perspektif.
Dari beberapa ciri tersebut, kiranya dapat dikatakan bahwa masyarakat madani adalah sebuah masyarakat demokratis dimana para anggotanya menyadari akan hak-hak dan kewajibannya dalam menyuarakan pendapat dan mewujudkan kepentingan-kepentingannya, di mana pemerintahannya memberikan peluang yang seluas-luasnya bagi kreatifitas warga negara untuk mewujudkan program-program pembangunan di wilayahnya.
Melihat beberapa definisi di atas, penulis bisa menyimpulkan bahwa inti dari semuanya bahwa masyarakat madani adalah masyarakat yang berperadaban. Namun, peradaban dalam Islam lebih ditekankan pada aspek moralitas. Dan moralitas tersebut tentunya dibentuk melalui ilmu pengetahuan yang memiliki nilai-nilai universal.
Sehingga pendidikan Islam dalam pembentukan masyarakat madani atau dalam merubah suatu kondisi sosial masyarakat mempunyai peranan penting. Oleh karen itu pendidikan Islam memerlukan inovasi-inovasi baru dan menyesuaikan dengan perkembangan teknologi untuk menciptakan sebuah peradaban di masanya.
Untuk itu tujuan pendidikan Islam sekarang tidak hanya untuk pembentukan akhlakul karimah atau bertakwa kepada Allah (IMTAQ). Akan tetapi juga bagaimana pendidikan Islam saat ini juga diarahkan untuk menguasai imu pengetahuan dan teknologi (IPTEK). Hal ini dimaksudkan untuk mengadakan perubahan yang signifikan di tengah-tengah masyarakat melalui pendidikan Islam.
Secara teoritis, menurut John Dewey, pendidikan merupakan metode fundamental untuk mewujudkan dan meperbaharui masyarakat. Maka dalam hal ini pendidikan benar-benar merupakan sarana yang sangat signifikan untuk melakukan perubahan di masyarakat.
Untuk itu, yang perlu diperhatikan lagi adalah pendidikan yang mana?. Apakah pendidikan yang tidak dikelola dengan baik dan benar bisa membawa sebuah perubahan. Namun demikian, pada dasarnya pendidikan merupakan metode yang efektif dalam mengadakan sebuah perubahan sosial. Karena hal ini sudah benar-benar teruji.
Secara historis, pendidikan Islam yang telah dilakukan oleh nabi Muhammad melalui dakwahnya kepada masyarakat Arab saat itu benar-benar telah menghasilkan sebuah perubahan sosial, baik di Makkah lebh-lebih di Madinah. Sebagian pakar ada yang mengatakan, masyarakat madani diambil dari kata Madinah, kota tempat Rasulullah hijrah. Karena di sana Rasulullah benar-benar telah memajukan peradabannya, seperti mengadakan perdamaian walaupun masyarakat Madinah terdiri dari berbagai macam suku dan agama.
Oleh karena itu membuat sebuah perubahan masyarakat melalui pendidikan Islam merupakan satu keniscayaan. Sekarang tergantung pada manusia sebagai pelaku pendidikan bagaimana mengelola pendidikan Islam menuju pendidikan Islam yang berkualitas dan benar-benar mampu menghailkan manusia-manusia yang siap mengadakan perubahan di daerah masing-masing.

Kesimpulan
Dari beberapa penjelasan di atas dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa kondisi sosial umat Islam saat ini sungguh sangat memprihatinkan. Untuk itu diperlukan pembangunan sosial melalui pendidikan Islam. Tentu pendidikan tersebut harus dikelola dengan baik manajemen, kurikulum dan segala aspek yang terkait dengan pendidikan. Karena sejarah telah membuktikan bahwa Islam ternyata pernah menciptakan perubahan besar-besaran pada abad pertengahan.

Daftar Pustaka
Arifin. 2007. Konfigurasi Politik Pendidikan Nasional. Yogyakarta: Pustaka Fahima.
Fadjar, Malik. 1999. Reorientasi Pendidikan Islam. Jakarta: Yayasan Pendidikan Islam Fajar Dunia
http://islamkuno.com/2008/01/16/masyarakat-madani-civil-society-dan-pluralitas-agama-di-indonesia/, (diakses, 20 Juni 2009)
Ishomuddin. 2005. Sosiologi Perspektif Islam. Malang: UMM Press
Jalal, Abdul Fatah. 1998. Azas-azas Pendidikan Islam. Bandung: Diponegoro.
Jalal, Faisal & Supriadi, Dedi. 2001. Reformasi Pendidikan Dalam Konteks Otonomi Daerah. Yogyakarta: Adicita Karya Nusa
Ode, Sismono La. 2006. Di Belantara Pendidikan Bermoral. Yogyakarta: UNY Press.
Ridwan. 2009. Pendidikan Islam dan Moralitas. http://ridwan202.wordpress.com/2008/04/16/pendidikan-islam-dan-moralitas/, (diakses, 27 Juni 2009)
Soeanto, Soerjno. 1999. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Suharto, Edi. 2009. Masyarakat Madani: Aktualisasi Profesionalisme Community Workers dalam Mewujudkan Masyarakat Yang Berkeadilan, http://www.policy.hu/suharto/modul_a/makindo_16.htm, (diakses, 20 Juni 2009)
Syam, Muhammad Nur. 1998. Filsafat Pendidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan Pancasila. Suarabaya: Usaha Nasional
Unbiyati, Nur. 1999. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: CV Pustaka Setia.

Jumat, 26 Juni 2009

Politikus Perlu Belajar dari Pak Natsir

Oleh Muhammad Rajab

Dimuat di Suara Karya,
Jumat, 26 Juni 2009
Kondisi politik Indonesia saat ini makin panas. Perang partai politik (parpol) pra dan pascapemilu legislatif April lalu masih terasa hingga saat ini. Gesekan-gesekan antarparpol makin keras. Bahkan tidak jarang ditemukan politikus yang membawa masalah partai atau golongan ke dalam masalah personal seperti saling membenci dan menjatuhkan satu sama lain.
Apalagi saat ini Indonesia sedang diramaikan dengan masalah kampanye calon presiden (capres) dan wakil presiden (cawapres) sehingga menjadikan kondisi politik makin hari makin memanas. Ibarat bensin yang disiramkan ke api yang menyala sehingga tidak jarang terjadi permusuhan di antara para polikus, padahal semula adalah sahabat. Kondisi demikian bertambah panas ketika antara satu capres dan capres lainnya saling mengkritik.
Kritik sebenarnya adalah sesuatu yang positif dan sangat berarti untuk introspeksi diri. Kritik juga berguna untuk meningkatkan kinerja ataupun prestasi. Orang yang berpikiran positif dan punya semangat untuk belajar menjadi lebih baik dan meningkatkan kualitas diri tentunya akan sangat menghargai kritik. Sebaliknya, seseorang yang menganggap dirinya yang paling baik dan sempurna akan alergi terhadap kritik.
Akan tetapi, yang sekarang terlihat dari para politikus kita adalah kritik diarahkan bukan lagi untuk membangun, melainkan lebih pada menjatuhkan dan menyalahkan orang lain. Hal ini tentunya akan memicu terjadinya konflik, dari konflik batin (mental) bahkan bisa sampai pada konflik fisik. Tindakan semacam ini sungguh tidak beretika.
Coba kita melihat pada tradisi Natsir dalam berpolitik. Sebagai pemikir Islam, dia juga telah terjun ke dalam dunia politik dengan etika yang indah, dewasa, dan tanpa dendam. Dia termasuk salah seorang yang berperan penting dalam Masyumi yang saat itu mendapatkan perlakuan diskriminatif dari penguasa, baik pada masa Orde Lama maupun Orde Baru.
Muhammad Natsir sebagai Ketua Masyumi sungguh mempunyai etika berpolitik yang perlu dijadikan sebagai panutan. Pak Natsir biasa berdebat dengan Ketua Partai Komunis Indonesia (PKI) Aidit. Ideologi keduanya berlawanan. Setelah bersitegang mempertahankan prinsip, keduanya minum teh bersama. Dalam tulisan Nasir, Hamka dan Etika Berpolitik, Asro Kamal Rokan mengutip pernyataan Natsir dari sebuah majalah, "Sebagai tokoh Masyumi, saya biasa minum teh bersama tokoh-tokoh PKI. Kami memusatkan diri kepada masalah, bukan kepada person," kata Pak Natsir kepada Editor, 23 Juli 1988. (Republika, 6/5).
Pak Natsir akhirnya terbebaskan dari rezim Soekarno. Namun, ia tetap tidak mendapatkan kebebasan dalam mengembangkan partai yang dipimpinnya (Masyumi). Bahkan ulama dan cendekiawan santun tersebut dicekal Soeharto. Meski begitu, Pak Natsir tetap membantu Soeharto memulihkan hubungan dengan Malaysia lewat suratnya kepada Perdana Menteri (PM) Malaysia, Tengku Abdurrahman.
Ketika pemerintah Soeharto menghadapi kesulitan mendapatkan modal dari Jepang, Pak Natsir menulis surat kepada sahabatnya, Takeo Fukuda, Perdana Menteri Jepang saat itu. Atas saran Pak Natsir, Fukuda bersedia membantu Indonesia. Dalam suratnya Fukuda menuliskan bahwa yang meyakinkan dia tentang masa depan Indonesia adalah Pak Natsir.
Jika para politikus Indonesia saat ini mencontoh Pak Natsir dalam berpolitik, sungguh keindahan politik Indonesia akan mendapat apresiasi yang luar biasa baik dari rakyat maupun orang asing. Indonesia akan penuh dengan kedamaian dan ketenteraman. Para petinggi negara tidak akan saling menyalahkan. Mereka saling menghormati, bersikap dewasa, tidak saling menjatuhkan dan menyalahkan.
Hal inilah yang juga akan mengantarkan bangsa Indonesia bisa mencapai salah satu cita-cita bangsa, yaitu persatuan Indonesia. Sebab, persatuan merupakan tuntutan utama untuk membangun bangsa. Tanpa persatuan, negara Indonesia akan guncang dan tak akan bisa mempertahankan eksistensinya. Bayangkan saja, Indonesia terdiri dari berbagai macam suku, ras, etnis, budaya, pulau, bahkan agama. Kondisi ini kalau tidak didasari dengan rasa persatuan, Indonesia akan hancur terpecah belah.
Apalagi saat ini Indonesia mengalami banyak masalah, mulai masalah pendidikan, ekonomi, ekologi hingga masalah kekuasaan dengan Malaysia. Untuk menyelesaikan permasalahan tersebut diperlukan ketenangan dan kerja keras serta persatuan. Bagaimana bisa kalau para politikus kita terjebak dalam perbedaan politik (saling bermusuhan).
Oleh karena itu, di tengah kondisi politik Indonesia yang karut-marut ini, para politikus dituntut untuk lebih profesional. Artinya, kita boleh berbeda dalam partai atau politik, namun perkara tersebut jangan sampai dibawa ke ranah individu. Dalam arti yang lebih spesifik lagi, perbedaan politik jangan sampai menyebabkan perpecahan dan permusuhan antarindividu, khususnya bagi praktisi politik.
Tak dapat dimungkiri seandainya perbedaan dalam politik dibawa ke ranah individu, akan terjadi perpecahan yang nantinya akan membawa bangsa pada kebobrokan yang berkelanjutan serta kondisi politik yang terus-menerus menjadi momok yang dapat menghancurkan bangsa.
Sekarang, kalau kita melihat kampanye para capres dan cawapres, ini tentunya akan membuka peluang terjadinya gontok-gontokan antarpendukung masing-masing pasangan tersebut, atau bahkan antarcapres dan cawapres sendiri. Sebagai antisipasi agar tidak terjadi demikian, hendaknya melihat sejarah Natsir bagaimana dia berpolitik dan menghadapi perbedaan dalam politik. Jika politikus kita dan para pendukungnya seperti Pak Natsir, tak akan ada "pertengkaran" antarparpol. Artinya, permasalahan politik jangan sampai dibawa ke dalam urusan pribadi yang nantinya akan dapat memecah belah persatuan dan kesatuan Indonesia.***

*Penulis adalah peneliti di Bestari Unmuh Malang, Jawa Timur

Sabtu, 13 Juni 2009

PENDIDIKAN DAN KEPENTINGAN POLITIK

Oleh: Muhammad Rajab*
Secara umum tujuan pendidikan adalah untuk mencerdaskan bangsa. Baik dari segi moral maupun intelektualnya. Hal ini telah lama dirumuskan dalam undang-undang No. 20 tahun 2003 yaitu, bahwa tujuan pendidikan adalah mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.
Melihat tujuan pendidikan tersebut sungguh pendidikan merupakan tindakan mulia yang pernah ada dalam kehidupan manusia. Dan apabila tujuan pendidikan sebagaimana yang telah dirumuskan oleh undang-undang tersebut ditempatkan dalam tatanan yang lebih luas maka bisa dikatakan bahwa tujuan pendidikan adalah untuk memperbaiki peradaban manusia.
Daoed Joesoef mengatakan bahwa pendidikan merupakan alat yang menentukan sekali untuk mencapai kemajuan dalam segala bidang penghidupan, dalam memilih dan membina hidup yang baik yang sesuai dengan martabat manusia.
Dan hal itu telah dibuktikan oleh sejarah. Misalnya dalam perjalanan sejarah Arab pra-Islam terdapat suatu masa yang disebut dengan masa jahiliyah (zaman kebodohan). Yang pada saat itu nilai-nilai kemanusiaan sangat rendah sekali. Yang kaya memperbudak yang miskin, yang kuat menindas yang lemah, Kekerasan terjadi di mana-mana, perempuan tidak dihargai dan ditempatkan pada derajat yang sangat rendah. Bahkan dalam tradisi Arab sebelum datangnya Islam bayi perempuan yang lahir langsung dikubur hidup-hidup.
Dalam kondisi Arab yang demikian diutuslah seorang rasul yang bernama Muhammad untuk menyerukan kebenaran dan perdamaian di tengah-tengah masyarakat yang kondisinya morat-marit dan berperadaban rendah. Dalam hal ini Nabi melakukan dakwah yang mana pendidikan merupakan salah satu bagian dari padanya.
Bagaimana Nabi Muhammad mendidik setiap individu mulai dari keluarganya kemudian dilanjutkan kepada masyarakatnya. Yang kemudian bias mengantarkan mereka ke dalam manusia dan masyarkat yang berperadaban tinggi. Yaitu masyarakat yang cinta kedamaian serta menjunjung tinggi nilai-nilai moralitas dan humanitas. Sehingga atas dasar itu Muhammad dicatat dalam urutan nomor satu oleh Michael H. Hart sebagai tokoh yang paling berpengaruh di dunia.
Namun realitas yang terjadi saat ini sungguh mengkhawatirkan. Tujuan mulia pendidikan sudah berbalik menjadi tujuan-tujuan politis yang sifatnya hanya sementara. Tujuan pendidikan tidak lagi seutuhnya ditujukan untuk memperkuat dan memperbaiki moral bangsa serta menciptakan manusia yang beriman.
Apalagi pada musim kampanye pemilu legislatif bulan April kemarin. Pendidikan menjadi alat permainan para politikus. Mulai dari janji-janji untuk menggratiskan pendidikan. Toh, sebenarnya menggratiskan pendidikan merupakan program pemerintah bukan untuk dikampanyekan.
Maka tidak salah apa yang dikatakan oleh William Godwin, bahwa menempatkan pendidikan di tangan agen-agen pemerintah akan membuka kesempatan bagi mereka untuk memanfaatkan pendidikan demi memperkuat kekuasaan mereka. Dia juga mengatakan dalam tulisannya Enquiry Concerning Political Justice and It's Influence on Moral and Happiness, pandangan-pandangan mereka sebagai para pelembaga pendidikan takkan jauh dari pandangan-pandangan dalam kapasitas politis mereka.
Tidak jauh berbeda dengan Godwin, Fransico Ferrer juga mengemukakan sebuah gagasan, Pemerintah-pemerintah itu tahu, lebih tahu disbanding pihak-pihak lain, bahwa kekuasaan mereka sepenuhnya hampir didasarkan pada pendidikan. Artinya apa?. Bahwa ternyata pendidikan memang sangat sensitif untuk dijadikan sebagai sarana pengembangan politik atau kekuasaan.
Yang ditakutkan adalah pendidikan sekarang dijadikan sebagai alat strategis bagi politikus untuk mendukung partai politiknya. Jika hal ini terjadi kemungkinan besar pendidikan di Indonesia semakin hari akan mengalami dekadensi yang luar biasa utamanya dalam pembentukan moral bangsa.
Apalagi pendidikan di Indonesia saat ini sudah benar-benar berada dalam kondisi yang sangat mengkhawatirkan. Misalkan saja pada tahun 2003, mutu pendidikan Negara kita menurut penelitian Human Development Index (HDI), pendidikan Indonesia mencapai urutan ke-112 dari 175 negara. Kemudian sedikit naik pada tahun 2005 pada urutan ke-107 dari 177 negara.
Kondisi demikian tentu dapat membuka mata kita bersama untuk lebih meningkatkan kinerja kita dalam perbaikan pendidikan Indonesia ke depan. Tak mungkin kita tinggal diam dan terus berpangku tangan jika memnginginkan sebuah perubahan.
Oleh karena itu, perlu diadakan usaha-usaha perbaikan pendidikan, sebab pendidikan merupakan tampuk pengembangan kualitas bangsa Indonesia. Jika pendidikannya rusak maka bisa dipastikan peradaban juga akan ikut ambruk. Siapa yang mau berada dalam keterpurukan secara terus menerus?.
Sebagai langkah awal untuk memperbaiki keadaan demikian adalah netralisasi pendidikan dari tujuan-tujuan politis yang sifatnya hanya menguntungkan satu pihak saja. Tujuan utama pendidikan untuk mencerdaskan bangsa dan memperbaiki moral harus tetap dijunjung tinggi dan dijadikan sebagai arah dari perjuangan dan pengembangan pendidikan di Indonesia.
Jangan sampai kepentingan-kepentingan politik disuntikkan ke dalam pendidikan itu sendiri. Sebab hal ini akan menjadi racun yang dapat merusak dan mengkaburkan tujuan pendidikan yang sebenarnya. Salah dalam menentukan tujuan juga akan dapat berpengaruh terhadap langkah dalam perjalanan dan proses pendidikan tersebut.