Minggu, 01 November 2009

TKI DAN PELUANG KERJA DALAM NEGERI


Oleh: Muhammad Rajab*

Kasus kekerasan terhadap tenaga kerja wanita (TKW) Indonesia kini terjadi lagi. Kekerasan kali ini menimpa Modesta Rengga Kaka yang diiris telinganya dan bahkan gajinya selama 19 bulan belum dibayarkanTKW. Padahal belum satu bulan kasus serupa menimpa Siti Hajar asal Limbang Barat RT 02/05, Limbangan Garut Jawa Barat. Kekerasan yang dilakukan oleh majikan Siti Hajar, Michelle di Lanai Kiara Condominium, Jl Kiara 3 Bukit Kiara Kuala Lumpur tersebut sudah berkali-kali, kebetulan baru terungkap sekarang. Menurut pengakuan Siti, ia bekerja untuk majikannya itu sejak 2 Juli 2006 dan tidak digaji sehingga pada Senin (8/6) dini hari ia melarikan diri dari majikannya dengan menumpang taksi dan minta diantar ke Kedutaan Besar RI setelah sempat bersembunyi di pepohonan di dekat kondominium.
Kasus kekerasan di atas merupakan salah satu contoh penganiayaan yang dilakukan oleh para majikan TKI kita di luar Negeri. Belum lagi kekerasan yang dilakuakan oleh majikan TKI di luar negara Malaysia, seperi Arab Saudi dan lainnya. Lain halnya dengan kekerasan terhadap TKI yang belum terungkap, karena tidak menutup kemungkinan masih banyak kasus kekerasan yang belum terungkap. Hal ini melihat banyaknya TKI Indonesia yang ada di luar. Misalkan saja, di Malaysia jumlah tenaga kerja asing yang bekerja di Malaysia tercatat 1,8 juta orang. Sementara 60 persen atau 1,2 juta orang berasal dari Indonesia. Sedangkan jumlah TKI di Saudi Arabia pada tahun 2007 sebanyak 626.895 orang dan 2,55% di antaranya bekerja di sektor formal sedangkan pada 2008 jumlah TKI formal telah naik menjadi 4,52%.
Coba sekarang kita sebagai bangsa Indonesia introspeksi diri, kenapa warga kita lari keluar negeri hanya untuk mencari pekerjaan, apalagi pekerjaannya hanya sebagai kuli bangunan atau sebagai pembantu rumah tangga saja?. Pertanyaan ini selayaknya direnungkan oleh kita, khususnya para pemimpin negeri ini.
Setidaknya ada beberapa hal penting menurut saya kenapa warga Indonesia lari ke luar negeri hanya untuk mendapatkan pekerjaan. Pertama, minimnya lapangan kerja yang ada. Hal ini terlihat dari besarnya angka pengangguran di Indonesia. Ironisnya, pengangguran di Indonesia sudah menjadi ancaman di ASEAN, di mana kontribusi Indonesia pada angka pengangguran di wilayah itu sudah mencapai 60%. Bayangkan, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat pengangguran terbuka di Indonesia pada Februari 2009 mencapai 9,26 juta atau 8,14 persen dari total angkatan kerja.
Adapun jumlah angkatan kerja di Indonesia pada Februari 2009 mencapai 113,74 juta orang, bertambah 1,79 juta orang dibanding Agustus 2008 yang mencapai 111,95 juta orang, sedangkan dibanding Februari 2008 bertambah 2,26 juta. Sementara, penduduk yang bekerja mencapai 104,49 juta orang, bertambah 1,94 juta orang dibanding Agustus 2008, atau bertambah 2,44 juta orang dibanding setahun sebelumnya 102,05 juta orang.
Kedua, Upah (gaji) yang diberikan kepada pekerja atau karyawan di perusahaan sangat sedikit, khususnya kepada kaum buruh. Hal ini juga yang memicu pelarian warga Indonesia untuk bekerja di luar negeri sebagai TKI. Pasalnya, gaji di Indonesia untuk karyawan lebih sedikit dibandingkan dengan gaji yang ada di luar negeri. Apalagi melihat harga-harga bahan pokok semakin melonjak tinggi.
Kita seharusnya merasa malu kepada bangsa asing khususnya negeri Jiran Malaysia, karena di Indonesia sumber daya alam (SDA) sangat melimpah. Tapi mengapa lapangan kerja sangat sedikit, dan kenapa warga Indonesia lari ke Malaysia untuk mencari pekerjaan. Hal ini tentu menunjukkan akan lemahnya SDM Indonesia, sehingga tidak bisa mengelola kekayaan alamnya sendiri.
Kelemahan ini bertahun-tahun kurang disadari oleh bangsa Indonesia, hingga akhirnya banyak dampak negatif yang terjadi terhadap warga negara Indonesia, khususnya yang ada di luar negeri sebagai TKI. Mereka mendapatkan perlakuan yang tidak manusiawi dari penduduk negeri asing, seperti pemukulan, penyiksaan, pemerkosaan dan tindakan anarkis lainnya.
Maka sudah saatnya bangsa Indonesia sadar diri akan kelemahan yang ada. Dan tentunya bukan hanya sekedar sadar tanpa ada usaha untuk memperbaiki ekonomi bangsa. Akan tetapi harus diimplementasikan dalam tindakan nyata di tengah-tengah masyarakat, seperti penyediaan lapangan kerja yang memadai. Namun, ironisnya, para pemimpin kita terkadang lupa diri terhadap permasalahan-permasalahan negeri ini karena sibuk mengurus politiknya.
Kasus kekerasan yang terjadi terhadap TKW Siti Hajar tersebut setidaknya menjadi pelajaran berharga bagi pemimpin kita. Paling tidak para pemimpin negeri ini membuka mata hati melihat rakyat yang saat ini sangat membutuhkan pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-harinya. Mereka (para TKI) menangis dan disiksa di luar sana, sementara para pemimpin kita duduk santai di ruangan ber-AC sibuk mengurusi kekuasaan, akhirnya hak rakyat menjadi terabaikan.
Adapun jika pemerntah mau memperketat para TKI untuk kerja di Malaysia atau di negara lainnya, maka pemerintah harus benar-benar mampu menangani kasus pengangguran dan yang ada di dalam negeri. Hal ini dimaksudkan agar masyarakat yang tidak mempunyai pekerjaan bisa memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Jika tidak, maka rakyat miskin dan yang tidak mendapatan pekerjaan akan merintih nangis. Hal ini perlu sangat diperhatikan.
Hal terperting dalam menangani agar masyarakat Indonesia tidak lari ke luar negeri dan menjadi TKI di sana adalah penyediaan lapangan pekerjaan harus mnyeluruh. Atau bisa dengan memberikan modal kepada rakyat untuk mengembangkan usaha secara mandiri dan berkelanjutan. Jika tidak, maka jangan saahkan kalau penduduk negeri yang tidak mendapatkan pekerjaan di dalam negeri lari dan menjadi TKI di luar.

*Penulis adalah,
Pengamat Sosial dan Peneliti di Bestari Unmuh Malang, Jawa Timur

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

kOMENTAR ANDA