Kamis, 09 Agustus 2012

CATATAN KRITIS SEORANG AKTIVIS

Judul buku        : Soe Hok-Gie….Sekali Lagi
Editor               : Rudi Badil
Penerbit            : KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)
Cetakan I         : Desember 2009
Tebal                : 512 halaman
Peresensi          : Muhammad Rajab*
            Soe Hok-Gie adalah seorang cendekiawan muda yang hidup di masa Orde Lama. Dialah yang meneruskan karakter independensi para cendekia lama. Pikirannya bak air bah yang tak terbendung . Semuanya mengalir bebas tanpa pernah menenguk berbagai batasan, baik politik, sosial, ekonomi, maupun budaya. Saat dia masih remaja canggung misalnya, dia sudah menunjukkan independensi melalui tulisan yang cukup berani untuk pemuda seusianya. Dia mengkritik kesenjangan ekonomi yang semakin lebar pada masa Orde Lama. Gie kesal dengan perilaku para pemimpin saat itu.
            Gie memang sosok yang keras baik dalam sikap intelektual dan politik. Hal itu tidak dapat dilepaskan dari petualangan intelektual yang dilakukan secara otodidak. Buku-buku dari hasil pujangga dunia mulai dari Albert Camus sampai Paramoedya Ananta Toer habis dilahapnya. Surat kabar kritis seperti Indonesia Raya dan Pedoman pun menjadi sarapan paginya.
            Aktivis yang meninggal di puncak Semeru ini pun semakin tertarik masuk dalam pusaran politik Republik. Posisi politik Gie sangat jelas yakni demokrasi. Hal tersebut ditunjukkan dalam sikap kritisnya terhadap rezim Orde Lama yang membungkam kebebasan ekspresi secara semena-mena. Pembelaan politik Gie terhadap demokrasi  demikian kuat bahkan terhadap posisi ideologis yang memiliki persoalan dengan demokrasi.
            Selain seorang pemikir  Gie juga adalah seorang aktivis, man in the action. Selain gelisah dan terus menggugat Gie adalah seorang demonstran. Dia aktivis angkatan 66, arsitek Long March mahasiswa dari Rawamangun  ke Salemba yang menuntut harga bensin turun. Dia jarang pulang ke rumah di Kebun Jeruk. Hampir seluruh waktunya ada di kampus atau di jalan. Di kampus selain mengikuti kuliah, juga merencanakan, mengorganisasi demonstrasi dan menghimpun kekuatan.
            Dalam buku yang diedit oleh Rudy Badil ini dicantumkan beberapa catatan kritis Gie terhadap pemerintah yang pernah dimuat di beberapa media atau koran saat itu. Salah satunya adalah tulisan yang berjudul, ‘Orang-orang Indonesia di Amerika Serikat’, dimuat di Koran Sinar Harapan (13/03/1969). Dalam tulisannya ia mengkritik kebiasaan para pembesar Indonesia di Amerika Serikat. Dia menulis guyonan salah seorang temannya yang bertanya kepadanya, “Soe kamu mau naik kuda putih?” teman itu tertawa terbahak-bahak. Pasalnya, dahulu kalau pembesar-pembesar Indonesia datang ke Amerika Serikat mereka selalu mencari “kuda putih”. Mumpung di Amerika mereka mau merasakan nikmatnya menunggangi “kuda putih”. Dan mereka selalu mencari orang Indonesia yang tahu keadaan setempat. (hal. 496)
            Catatan lainnya yang daya kritisnya lebih dalam lagi adalah ‘Pelacuran Intelektual’. Saat itu kebebasan untuk berpendapat sangat dikekang. Pemikir-pemikir Indonesia kemudian dihadapkan pada keadaan yang sangat buruk sehingga mereka dituntut untuk mengambil sikap dalam menghadapi situasi pemerintahan saat itu.
            Pada intinya, buku ini merupakan sebuah kesaksian tentang catatan kritis seorang aktivis yang hidup di masa Orde Lama. Buku ini sangat layak dibaca oleh mahasiswa dan masyarakat luas, khususnya bagi mereka yang ingin benar-benar menjadi aktivis yang ingin mempunyai idealisme yang kuat.

1 komentar:

kOMENTAR ANDA