Kamis, 01 Desember 2011

Moralitas Calon Pemimpin Sedang Diuji



Oleh: Muhammad Rajab*

Menjelang pemilihan kepala daerah (Pilkada) merupakan masa di mana sangat rawan terjadi persinggungan dan peperangan politik. Mulai dari ‘peperangan’ mencari massa dengan merebut hati masyarakat. Berbagai cara dilakukan oleh para calon kepala daerah untuk meraihnya, mulai dengan memberikan bantuan seperti pelayanan kesehatan, pembagian kaos dan lain sebagainya, bahkan tak jarang kita temukan yang menggunakan money politik (politik uang).
Pilkada Surabaya yang akan diselenggarakan pada tanggal 02 Juni 2010 sekarang berada pada titik rawan. Dalam artian, persaingan antar calon akan semakin terasa di saat menjelang pemilihan. Di sinilah moralitas calon pemimpin diuji, apakah yang dijalankan adalah politik kotor atau sebaliknya. Moralitas seorang calon pemimpin menjadi pegangan utama untuk menjaga nilai-nilai politik. Jika moralitas yang dimiliki para calon sangat lemah, maka sangat dimungkinkan untuk terjadi pelanggaran-pelanggaran dalam pemilihan yang akhirnya bisa mengotori nilai politik itu sendiri.
Tindakan-tindakan yang dilakukan oleh para calon dan para pendukungnya di saat seperti ini sudah dipenuhi dengan kepentingan politik. Misalnya, melalui bantuan kepada masyarakat, atau yang secara terang-terangan memasang iklan melalui berbagai macam media, baik cetak maupun elektronik atau juga melalui baleho dan selebaran pamflet. Semuanya memang merupakan perjuangan untuk merebut kursi jabatan kepala daerah. Tindakan semacam ini sah-sah saja dilakukan oleh para elite politik untuk konteks negara demokrasi seperti Indonesia. Asalkan tetap sesuai dengan aturan dan ketentuan pemilihan.
Yang terpenting adalah bagaimana nilai moralitas sebagai calon pemimpin harus benar-benar ditunjukkan. Jangan sampai calon pemimpin melakukan praktik politik yang kotor dan tidak bermoral. Sebab hal ini bukan lagi merusak citra dirinya saja, tapi juga dapat merusak citra bangsa ke depannya. Sebab, seorang pemimpin dituntut untuk bisa membawa rakyat kepada nilai-nilai moralitas yang dijunjung tinggi oleh bangsa.
Perilaku amoral yang dilakukan oleh pemimpin akan berakibat fatal untuk bangsa ke depannya. Pasalnya, pemimpin merupakan sorotan utama dalam suatu bangsa. Sebab orang yang pertama dilihat oleh orang lain adalah pemimpin. Jika pemimpinnya baik maka masyarakat juga secara tidak langsung tidak jauh dari pemimpinnya. Jika pemimpinnya bejat maka secara tidak langsung nama bangsa juga akan tergadaikan walaupun pada kenyataannya tidak semua masyarakatnya ikut bejat.

Harus cerdas
Menjelang Pilkada ini masyarakat dihadapkan pada berbagai macam pilihan. Banyak calon yang sudah mencalonkan dirinya untuk menjadi kepala daerah dalam pemilihan tersebut. Setidaknya masyarakat harus cerdas dalam menyikapi masalah ini. Idealnya masyarakat harus melihat para calon pemimpin dari moralitas, kompetensi dan komitmennya. Kejujuran dalam hal ini harus menjadi pertimbangan utama masyarakat dalam memilih seorang pemimpin, dan jangan sampai menjadikan polularitas sebagai alasan memilih. Karena popularitas tidak bisa dijadikan jaminan untuk menjadi pemimpin yang baik.
Saat ini ideologi dan sistem nilai sudah ditanggalkan di atas popularitas. Persuasi politik menjadi bahan olokan hasil-hasil polling popularitas. Tidak hanya kebijakan, para pemimpin juga dipilih dan ditinggalkan menurut arah angin opini publik yang bertiup. Seakan tak ada lagi pegangan kuat dalam menghadapi situasi politik Indonesia. Hal inilah yang setidaknya menjadikan kekhawatiran bagi kita yang mana pemimpin tidak lagi dipilih berdasarkan nilai atau moralitasnya tapi lebih kepada popularitasnya.
Citra seorang pemimpin akan lebih dipertimbangkan ketimbang kemampuan dan intelektualitasnya. Oleh karena itu, proses penyampaian pesan politik menjadi lebih penting daripada isinya sendiri. Pendek kata, integritas politik sudah dinomorduakan. Pencitraan dan popularitas jauh lebih dihargai daripada nilai-nilai integritas dan moralitas.
Di dunia popularitas semacam ini, media massa, terutama televisi, menjadi panglimanya. Seymour (1989) mengatakan bahwa televisi kini merupakan bagian yang sudah terintegrasi dari kehidupan politik. Kemampuan televisi untuk menjangkau pemirsanya secara cepat dan luas, mulai dari yang tinggal di apartemen mewah hingga ke pelosok dusun, membuatnya selalu diburu oleh mereka yang hidup dari popularitas.
Di sinilah juga masyarakat diuji bagaimana bisa memfilter tayangan-tayangan televisi yang berbau politik. Masayrakat tidak boleh lengah dan tertipu dengan situasi media yang telah dibayar untuk kepentingan politik tertentu. Pendirian untuk memilih harus kuat dan benar-benar menjadi pegangan agar tidak terpengaruh oleh polesan media massa.
Dengan demikian, masyarakat dituntut untuk memilih dengan ilmu dan bashirah (penglihatan yang dalam) bukan karena uang atau popularitasnya. Minimal harus bisa mempertimbangkan kekuatan, kelemahan dan potensi serta kompetensi calon yang akan dipilihnya, bukan asal memilih. Sebab, pemimpin yang kita pilih akan menentukan nasib rakyat lima tahun ke depannya. Sehingga, masyarakat benar-benar harus selektif dalam memilih pemimpin demi kebaikan bangsa dan masyarakat ke depannya.
*Penulis adalah
Penulis buku dan Peneliti di Pusat Studi Islam Unmuh Malang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

kOMENTAR ANDA