Senin, 28 November 2011

MEMBANGUN GENERASI BEBAS KORUPSI

Oleh: Muhammad Rajab*

Korupsi masih menjadi bahaya laten di negeri ini. Hampir setiap sendi kehidupan terjangkit penyakit berbahaya ini. Bahkan korupsi sepertinya sudah menjadi ‘tradisi’. Salah satu daerah yang terjangkit virus berbahaya ini adalah Jawa Timur.
Ketua Jaringan Kerja Anti Korupsi (JKAK) Jatim, Luthfi Kurniawan. mengungkapkan, tren kasus korupsi di Jatim antara tahun 2007 hingga 2010 cukup tinggi. Berdasarkan data yang dihimpun JKAK, kasus korupsi pada 2007 dan 2008 jumlahnya masih puluhan. Tahun 2009 jumlahnya mencapai 98 kasus. Dari jumlah itu, sembilan kasus korupsi mandeg, 17 kasus divonis penjara, 63 kasus sedang diproses, dan sembilan kasus divonis bebas. Sedangkan pada semester pertama tahun 2010 (Januari-Juni) terdapat 82 kasus. Dari jumlah itu, 17 kasus prosesnya mandeg di tengah jalan, satu kasus divonis bebas, delapan kasus berujung hukuman penjara, dan 56 kasus masih dalam proses.
Kasus korupsi tersebut merupakan salah satu indikator kemerosotan moral di tingkat para pejabat negara di Jawa Timur. Anehnya, mereka yang melakukan korupsi justru yang secara kemampuan intelektual dan berijazah tinggi. Bukankah tingginya tingkat pendidikan seseorang dapat menciptakan manusia yang cerdas dan bermoral?. Mungkinkah pendidikan kita selama ini telah mengenyampingkan nilai-nilai moralitas dan hanya mengedepankan aspek intelektualitas semata?.
Dalam teori Bloom, semestinya pendidikan harus menyentuh tiga ranah yaitu, ranah kognitif, afektif dan psikomotorik. Tiga aspek tersebut merupakan satu kesatuan yang tak boleh terpisahkan dalam menjalankan tugas mulia pendidikan. Jika tidak, maka akan terjadi kepincangan dalam hasil pendidikannya. Seperti, aspek intelektualitas bagus, namun moralitas hancur seperti para koruptor yang tidak punya hati nurani tersebut.
Sepertinya susah untuk memberantas korupsi dalam waktu yang singkat. Apalagi para pelakunya memiliki kekuasaan dan uang. Mengendalikan penguasa dalam waktu singkat tidak semudah membalikkan telapak tangan. Namun kita harus tetap optimis, karena Indonesia mempunyai generasi penerus yang mungkin bisa dijadikan sebagai energi positif untuk membangun generasi baru yang bersih. Waktu yang dibutuhkan tentu sangat panjang. Sebab bibit-bibit generasi tersebut perlu ‘digodok’ dan dibina dengan pendidikan moral yang berkelanjutan.

Pendidikan Moral di Segala Bidang
Anak merupakan aset bangsa. Sebagai generasi penerus, mereka harus dididik dengan pendidikan yang baik dan benar. Pendidikan yang lebih menekankan pada pendidikan moral. Pendidikan semacam ini seyogyanya dimasukkan ke dalam setiap bidang pelajaran di sekolah.
Sementara ini, pendidikan moral hanya dibebankan kepada pendidikan agama. Hal tersebut sangat tidak maksimal. Waktu yang dialokasikan untuk mata pelajaran pendidikan agama pun sangat terbatas. Apalagi minat belajar anak terhadap pelajaran agama lebih rendah dibandingkan dengan pelajaran umum di sekolah, seperti matematika, fisika, kimia, biologi, ekonomi , bahasa dan lainnya. Pendidikan moral tersebut ditujukan untuk membangun generasi yang jujur dan bermoral. Dalam jangka waktu panjang diharapkan dapat mengurangi atau menghapus budaya korupsi di Jawa Timur.
Walaupun pendidikan moral tidak harus menjadi bagian bab atau sub bab dalam materi pelajaran dalam semua mata pelajaran yang ada, minimal dalam prosesnya guru memberikan suntikan moral kepada siswanya, guru bidang apapun. Dalam hal ini, maka peran guru sangat penting. Guru di kelas diharapkan tidak hanya menjelaskan mata pelajaran yang termaktub dalam buku kepada siswa, tapi juga perlu melakukan penyadaran kepada siswa tentang hakikat pendidikan sebenarnya yaitu pembentukan mental moralitas. Diaharapkan anak didik nanti bisa menjadi manusia yang berani melawan mental korupsi dan ketidakadilan. Kalau meminjam istilah Moh. Yamin (2009) adalah sebagai Innovator and risk taker, yakni sebagai pembaharu dan berani mengambil resiko, terbuka terhadap perspektif yang luas dan kemungkinan-kemungkinan esensial dalam menentukan trend an menentukan pilihan.

Kerjasama
Membangun generasi yang mapan dan bebas dari korupsi dengan pendidikan tidak bisa dilakukan sendirian. Tapi membutuhkan kerjasama yang intensif dan kolaboratif. Masing-masing pihak, instansi pendidikan, masyarakat, dan keluarga semuanya dituntut untuk bersinergi dalam membangun generasi penerus yang baik melalui pembinaan terhadap anak. Ki Hajar Dwantara menyebutnya sebagai Trilogi Pendidikan.
Pendidik di sekolah harus menanamkan nilai-nilai moralitas. Keluarga di rumah juga dituntut memberikan pembinaan moral berbasis keluarga di rumah. Seperti dengan membiasakan anak untuk mengemban amanah dengan baik, atau dengan mengajari untuk bersikap jujur, dan lain sebagainya. Sementara masyarakat atau pemerintah juga dituntut untuk memberikan dukungan kepada praktisi pendidikan dalam menjalankan tugas mulianya. Dukungan tersebut bisa berupa matriil atau non materiil.
Hal ini karena menurut Ki Supriyoko (2006) Pendidikan moral dapat berperan maksimal dalam mencegah timbulnya mental korupsi anak bangsa apabila dilakukan dengan memperhatikan empat hal. Yaitu, penanaman aspek yang terukur, adanya koordinasi antar sentra pendidikan, penampilan keteladanan panutan, dan aksi kolektif masyarakat.
Dengan ini diharapkan Jawa Timur di masa yang akan datang bisa benar-benar menghasilkan generasi yang bebas dari korupsi. Generasi yang pintar, cerdas dan terampil serta bermoral tinggi.
*Penulis adalah
Redaktur Koran Bestari Unmuh Malang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

kOMENTAR ANDA