Senin, 28 November 2011

Membangun Profesionalisme Guru di Era Digital

Oleh: Muhammad Rajab*
Prof. Amudi Pasaribu mengatakan bahwa kondisi kehidupan seorang guru di Indonesia saat ini dibandingkan dengan kondisinya setengah abad lalu telah banyak berubah. Gambaran guru yang dihormati karena banyak jasanya dalam mendidik orang, berpakaian perlente, dan termasuk masyarakat yang ekonominya di atas rata-rata, makin sulit ditemukan saat ini. Gaji guru bantu di Indonesi kurang lebih sekitar 500.000 rupiah perbulan, sedangkan di Jepang setara dengan 17 juta rupiah, sementara tunjangan penganggur di Belanda 9,1 juta rupiah.
Masalah gaji memang bukanlah tujuan utama dalam mengajar, akan tetapi kesejahteraan guru juga perlu diperhatikan, tidak boeh diabaikan. Karena bagaimanapun ia adalah orang yang sangat berjasa kepada bangsa. Seorang presiden bisa jadi presiden karena ia dulu dididik oleh seorang guru, demikian pula para tokoh yang saat ini duduk di atas dulunya dididik oleh guru juga. Menurut Sismono La Ode, diakui atau tidak rendahnya gaji guru merupakan salah satu penyebab menurunnya kualitas guru.
Maka tidak boleh disalahkan juga ketika guru mengambil kerja sampingan di luar mengajar, seperti berbisnis atau kerja-kerja lainnya. Karena memang para guru juga dituntut untuk bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari. Bagaimana tidak, mereka juga butuh biaya untuk menyekolahkan anak-anak mereka. Sedangkan gaji guru sangat minim sekali dan tidak bisa diandalkan. Hal ini sangat mempengaruhi profesinalitas guru dalam menjalankan tugasnya. Karena pikirannya harus memikirkan banyak hal dan tidak terfokus pada bagaimana mengembangkan dan meningkatkan kualitas peserta didik di sekolah.
Di satu sisi guru harus mampu memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari, dan di sisi lain dia dituntut tetap profesional dalam menjalankan tugasnya sebagai guru. Dua hal ini sangat paradoks, apalagi melihat kondisi peserta didik di era modern ini berbeda dengan peserta didik yang hidup sebelumnya. Sekarang guru tidak lagi mendapatkan perlakuan seperti perlakuan murid dulu, seperti dihormati sebagaimana yang dikatakan oleh Prof. Amudi di atas.
Menurut pendapat C.O. Houle, ada sembilan ciri orng bisa dikatakan profesional, yaitu (1) memiliki landasan pengetahuan, (2) harus berdasarkan asas kompetensi individual, (3) memiliki sistem seleksi dan sertifikasi, (4) ada kerja sama dan kompetisi, (5) memiliki kesadaran profesional, (6) memiliki prinsip-prinsip etik, (7) memiliki sistem sangsi profesi, (8) memiliki militansi individual, (9) memiliki organisasi profesi.
Ciri-ciri di atas perlu diperhatiakan, khususnya bagi sekolah-sekolah yang akan mempersiapkan calon guru. Karena tantangan profeionalisme guru ke depan akan semakin dahsyat. Oleh karena itu menurut Sismono La Ode (2006) dalam bukunya, Di Belantara Pendidikan Bermoral, komponen-komponen utama kegiatan belajar-mengajar (KBM) di perguruan tinggi (PT) yang terdiri dari mahasiswa, dosen dan kurikulum dapat dipersipkan serta dikebangkan secara sistematis dan integratif, agar dalam proses tersebut dapat melahirkan calon guru yang kelak memiliki profesionalisme yang tinggi.
Disadari atau tidak, di era global ini guru dihadapkan pada murid yang tidak lagi menunggu informasi dan pelajaran dari guru. Mereka sudah bisa mengakses informasi dengan mudah melalui iternet, bahkan mata pelajaranpun bisa didapat melalui media internet tersebut. Dengan demikian guru dituntut untuk betul-betul profesional. Artinya, bahwa guru harus benar-benar mempunyai kompetensi individual yang mumpuni dan beberapa ciri profeionalisme yang telah dijelaskan oleh Houle di atas.
Apabila tuntutan tersebut tidak segera direspon oleh semua pihak yang berkecimpung dalam dunia pendidikan, khususnya para guru dan calon guru, maka bangsa Indonesia akan tertinggal jauh di tengah peradaban bangsa menuju era global. Karena guru merupakan faktor terpenting dalam upaya mendorong kualitas pendidikan nasional, sedangkan kualitas pendidikan merupakan faktor penentu kualitas seluruh aspek kehidupan seperti ekonomi, moral, sosial dan politik. Oleh karena itu profesionalisme bagi guru merupakan satu keniscayaan, khususnya di era modern.
Untuk itu, saat ini sekolah-sekolah keguruan (yang mempersiapkan calon guru) dituntut untuk mampu menyiapkan guru-guru yang handal dan berkualitas. Karena jalan terbaik untuk menciptakan guru profesional dan berkualitas adalah melalui pendidikan keguruan seperti IKIP. Jika tidak, maka bersipalah untuk menghadapi keterbelakangan di segala bidang. Sebab pendidikan adalah kunci utama untuk menciptakan kestabilan seluruh aspek kehidupan.
Untuk mempersiapkan guru yang berkualitas dan profesional menurut Sismono adalah penggunaan paradigma input-process-product-income. Dari segi input, kualitas guru yang akan datang haruslah berasal dari siswa-siswa SMA atau sederajat yang berkualitas dan memnuhi kriteria yang ada. Dari segi process, jajaran Kanwil Diknas didorong untuk memberi kontribusi pada pembentukan sikap profesionalisme mahasiswa calon guru, khususnya ketiaka mereka hendak melakukan Praktek Kerja Lapangan (PPL). Sedangkan dari segi product dan income, setelah membuat kerja sama kita perlu menentukan apa sajakah ciri-ciri guru berkualitas dan bagaimana cara mewujudkannya.
Selain itu, guru saat ini juga dituntut untuk menguasai teknologi (IT). Karena seiring dengan perkembangan zaman IT khususnya teknologi pembelajaran terus berkembang. Dengan demikian, untuk menjadi guru profesional di era digital saat ini, maka guru juga harus menguasai teknologi, seperti teknologi informasi, lebih-lebih teknologi pembelajaran.
*Penulis adalah
Peneliti di Bestari UMM dan Pengajar di Al-Izzah International Islamic School, Kota Batu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

kOMENTAR ANDA