Senin, 28 November 2011

Runtuhnya Benteng Kejujuran

Oleh: Muhammad Rajab*

Terungkapnya kasus nyontek massal Ujian Nasional (UN) di SDN Gadel II Surabaya adalah bukti bahwa kejujuran mulai runtuh. Dalam pendidikan, kejujuran adalah nilai mulia yang harus diperjuangkan. Kejujuran adalah harga mati yang tidak bisa ditawa-tawar lagi. Pasalnya, kejujuran adalah kunci moralitas bangsa. Dengan kejujuran semua permasalahan bangsa termasuk korupsi bisa teratasi. Hal ini yang banyak tidak disadari oleh praktisi pendidikan kita. Sehingga, wajar kalau kejujuran tak lagi dipegang demi mengejar kelulusan semata.
Mayoritas masyarakat Indonesia memahami prestasi anak didik hanya dinilai dari tinggi rendahnya nilai raport dan ijazah. Tak dapat dipungkiri bahwa ketika seorang murid mendapatkan nilai yang tinggi maka para orang tua berbangga diri dengan hasil tersebut. Akan tetapi sebaliknya, ketika nilai raport dan ijazah mereka mendapatkan nilai yang rendah, mereka putus asa dan merasa rendah diri.
Fenomena ini adalah sebuah kesalahan. Hal ini juga pernah digambarkan oleh seorang budayawan, Zawawi Imran dalam sebuah seminar. Budayawan asal Tanah Garam ini menyampaikan tentang sebuah perumpamaan nilai yang substansial dalam pendidikan. Ia mencontohkan dua orang, Si A dan Si B. Nilai agama Si A di sekolah mendapatkan 9, tapi dia tidak pernah solat subuh berjama’ah bahkan bolong-bolong. Sedangkan si B mendapatkan nilai 6, tapi dia rajin solat subuh, santun, ramah. Mana di antara keduanya yang secara substansial harus mendapatkan nilai 9?. Tentunya jawabannya adalah yang kedua. Ini sebenarnya adalah sindiriran terhadap praktik pendidikan di Indonesia saat ini.
Memang wajar, bahwa setiap orang ingin mendapatkan yang terbaik. Tapi perlu diingat, nilai-nilai dan prestasi pendidikan bukan hanya dinilai dari tinggi rendahnya angka raport dan ijazah. Padahal dalam bukunya tentang Kecerdasan Ganda (Multiple Intelligences), Daniel Goleman mengingatkan kepada kita bahwa kecerdasan emosional dan sosial dalam kehidupan diperlukan 80%, sementara kecerdasan intelektual hanyalah 20% saja.
Perspektif yang mengedepankan aspek kognitif dan nilai nominal raport semata dalam dunia pendidikan merupakan sebuah kesalahan yang fatal. Hal ini berdasar pada UU No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 3, yang menyebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Perlu disadari oleh semua pendidik, bahwa mendidik bukan hanya memberikan materi dan mata pelajaran semata. Akan tetapi lebih dari itu, mendidik merupakan aktivitas mulia yang berusaha menekankan dan menanamkan moralitas kepada peserta didik. Jika mendidik hanya diartikan dan dipahami sebagai aktivitas mengajar saja, maka ini adalah sebuah kesalahan yang besar karena telah menyempitkan makna pendidikan.
Dalam taksomoni Bloom dijelaskan bahwa ada tiga pilar utama yang perlu disentuh oleh pendidikan, yaitu kognitif, afektif, dan psikomotorik. Ketiganya harus benar-benar ditanamkan kepada peserta didik agar mereka sanggup menghadapi tantangan budaya yang semakin carut-marut. Dalam hal ini, mental kejujuran memegang peranan penting untuk mendapatkan ketiga aspek tersebut. Baik kejujuran kepada diri sendiri, orang tua, guru, masyarakat, dan bangsa Indonesia.

Bibit korupsi
Virus kebohongan dan kecurangan dalam pelaksanaan UN adalah cikal bakal dan bibit subur karakter korupsi. Mengapa orang-orang pintar yang saat ini duduk di kursi kepemimpinan banyak melakukan tindakan korupsi?. Padahal, jika dilihat secara keilmuan, mereka sangat mumpuni, gelarnya pun tidak tanggung-tanggung minimal magister. Jawabannya hanya satu, yaitu hilangnya mental kejujuran dalam diri mereka. Maka dari itu, jika anak didik sejak saat ini sudah mulai diajari untuk tidak jujur maka jangan disalahkan kalau generasi mendatang akan lebih banyak lagi muncul para koruptor.
Jika lembaga pendidikan kita sudah mulai mengajarkan kebohongan kepada para murid, maka siapa lagi yang akan merubah karakter bangsa yang kian murat-marit ini. Padahal pendidikan memegang peranan penting untuk melakukan perubahan di masa yang akan datang. Anak-anak yang didik di dalamnya adalah generasi penerus bangsa di masa mendatang.
Perlu diingat bahwa kejujuran harus benar-benar menjadi pegangan bagi para pendidik. Nilai ini harus tetap menjadi prioritas utama dalam aktivitas pendidikan. Pasalnya, kejujuranlah yang akan menentukan nasib bangsa Indonesia ke depan. Rusaknya bangsa, bobroknya moral para penguasa, korupsi, nepotisme, dan semacamnya merupakan akibat dari pendidikan yang salah. Sebuah pendidikan yang mengenyampingkan kejujuran. Tapi malah sebaliknya, virus kebohongan dan kecurangan selalu ditebarkan, khususnya ketika pelaksanaan ujian.
Menurut Soemarno Sudarsono (2009), ada beberapa hal penting yang bisa dijadikan pijakan untuk membangun karakter bangsa, yaitu kejujuran, keterbukaan, keberanian mengambil resiko, bertanggung jawab, memenuhi komitmen, dan kemampuan berbagi. Di sini Soemarno meletakkan kejujuran pada urutan pertama dikarenakan pentingnya kejujuran dalam membangun karakter bangsa. Untuk itu, saatnya kita sadar dan mengehentikan perilaku kecurangan dan kebohongan untuk menciptankan generasi bangsa yang jujur di masa yang akan datang.

*Penulis adalah
Aktivis IMM dan Redaktur Koran Bestari Universitas Muhammadiyah Malang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

kOMENTAR ANDA