Rabu, 01 Februari 2012

Maaf, Aku Hanya Bisa Menuliskan (nya?)

Sedih, cemas, takut, dan prihatin, mungkin itulah yang kurasakan sebagai seorang penulis “gadungan”. Aku tak tau apa yang harus ku katakan pada orang tertinggi di negari kaya alam tapi miskin ini. Akhirnya dengan penuh kecemasan, karena aku tak bisa berbuat apa-apa, maka hadirlah tulisan ini di hadapan pembaca semua.

Aku tak punya kekuasaan untuk berontak, juga tak punya power untuk mendobrak, apalagi jabatan yang mendukungku untuk mengungkapkan kekesalan ini. Tapi aku hanya bisa menekan keyboard net book mungil yang sudah setia menemaniku sejak dua tahun yang lalu ini. Ku berharap dengan satu dua tekanan yang aku lakukan minimal bisa membuat kita semua melek dan membaca sebuah keadaan untuk mengadakan perubahan. Mungkin Anda kenal Soe Hok Gie, seorang aktivis yang meninggal di puncak Semeru. Goresan penanya, walaupun hanya dalam catatan hariannya, bisa menggetarkan tirani kekuasaan pada masanya.

Langsung aja,,,,,,,,,

Hatiku mulai gelisah saat aku mengadakan perjalanan pulang ke tanah kelahiranku, Pulau Kangean. Pada awalnya aku tidak menyadari bahwa banyak keganjalan yang aku temukan ketika naik kapal dalam perjalanan baik pulang ke rumah maupun saat berangkat ke pulau seberang, Kalianget. Memang, waktu itu aku masih belum begitu “melek” dan belum bisa membaca kritis sebuah keadaan. Maklumlah anak pesantren yang katanya sebagian orang, anak pesantren adalah anak “kuper”- walaupun aku sebenarnya gak setuju dengan kata-kata itu-.

Sekitar tiga tahun lebih aku tidak menyadarinya, tapi semenjak aku mulai kuliah dan mulai memahami bagaimana bisa membaca keadaan yang tidak hanya sekedar membaca, tapi membaca secara kritis, aku mulai sadar. Ketika itu aku hendak pulang pada bulan Ramadhan, hatiku mulai berontak dan berontak, seakan tak mau menerima keadaan. Bagaimana tidak, kondisi kapal yang aku naiki bersama para konsulat Pulau Bekisar itu sangat memprihatinkan.

Tak perlu kusebutkan nama kapal itu, yang jelas kapal itu dua kali dalam seminggu mengadakan perjalanan ke Kangean. Aku sengaja keliling kapal untuk membenarkan apa yang selama ini menjadi keganjalan hatiku. Aku tak mau mengatakan tanpa pencarian terlebih dahulu. Terus aku keliling, ke depan, belakang, samping kanan, samping kiri, lengkap semua kujelajahi.

Di sinilah hatiku mulai berani berkata kalau kapal ini tak layak jalan untuk ditumpangi oleh para penumpang. Mengapa demikian, dalam pencarianku aku tak menemukan pelampung yang disediakan untuk para penumpang sama sekali. Bayangkan, perjalanan selama 9 jam, tapi tak tersedia pelampung untuk para penumpang. Yang ada hanya 3 atau 4 skoci di atas kapal. Tapi itu sangat tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan para penumpang yang jumlahnya ratusan itu.

Padahal tak jarang perjalanan ke pulau Kangean itu dihantam ombak sampai mencapai empat atau lima meter, atau mungkin lebih. Kebetulan waktu aku pulang, saat itu gelombang laut tidak begitu dahsyat alias cedhu (bahasa Kangean).

Saat itu aku bertemu dengan seorang Jurnalis –aku lupa namanya– ,ia adalalah wartawan salah satu Koran harian di Jakarta. Masih ingat waktu itu, aku berusaha ngobrol setelah aku juga mempernalkan diri bahwa aku juga seorang wartawan kampus. Aku paham jiwa seorang jurnalis, jurnalis tak akan pernah tenang hatinya melihat ketidakberesan yang ada di depannya.

“Pak, kapal penumpang ini tak layak berlayar,” ungkapku memulai pembicaraan berharap si Jurnalis tadi mau menanggapi pernyataanku.

“Kenapa mas,,” ia berttanya.

“Alhamdulillah ungkapanku ditanggapi,” gumam ku dalam hati.

Segera ku tanggapi pertanyaan pria yang umurnya kira-kira 40 an tahun itu –aku tak sempat tanya–.

“Gini pak, setelah aku keliling kapal ini, aku tak menemukan satu pelampungpun yang disediakan buat para penumpang, ada skoci tapi tu Cuma sedikit,” jawabku. Segera muka bapak tadi gelisah, maklum jurnalis. Ia hanya geleng-geleng kepala mendengar jawabanku.

Mungkin saudara-saudaraku dari Kangean yang pernah naik kapal ini pernah juga berpikiran sama seperti aku, namun tak ada kesempatan dan kekuatan untuk memberontak. Atau mungkin juga di antara mereka ada yang merasa nyaman-nyaman saja alias cuek terhadap masalah ini. Dan atau banyak juga di antara mereka yang benar-benar tidak menyadari ini. Gak tau ah….

Aku tak mengerti dengan pemerintah di negeri ini. Mengapa hal-hal yang demikian tak pernah terpikirkan. Atau mungkin terpikirkan tapi tak lagi perhatian. Transportasi akhirnya bukannya tambah membaik, tapi malah sebaliknya, semakin buruk dan semakin buruk. Akibatnya, banyak korban yang bertaburan akibat terjadinya kecelakaan transportasi, khususnya transportasi laut.

Memang tak semua kapal yang berlayar ke Kangean demikian kondisinya. Tentunya ada juga kapal yang bagus dan tersedia dengan fasilitas lengkap. Semoga transportasi Kalianget-Kangean semakin membaik. Amin… Mungkin tak hanya di Kangean yang mengalami kenyataan ini, tapi di tempat-tempat lain juga mungkin ada kenyataan yang sama.

1 komentar:

kOMENTAR ANDA