Jumat, 23 Oktober 2009

RAMADHAN BULAN KEMERDEKAAN

Oleh: Muhammad Rajab*
Dimuat di Harian Suara Karya

Tepatnya 17 Agustus 2009 lalu Indonesia memperingati Hari Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-64. Hari Ulang Tahun (HUT) Kemerdekaan yang digelar setiap tahun ini merupakan momen penting bagi sejarah Indonesia. Pasalnya, saat itulah Indonesia menggapai kemerdekaan dari para penjajah. Seperti, Belanda yang telah menjajah Indonesia selama kurang lebih tiga setengah abad.
Di bulan yang sama pula, tepatnya 22 Agustus 2009, umat Islam juga melakukan ibadah puasa. Suatu ibadah yang dinanti-nanti umat Islam. Ibadah puasa ini dilaksanakan setahun sekali selama satu bulan penuh, yaitu pada bulan suci Ramadhan. Perintah untuk melaksanakan puasa ini telah diabadikan dalam al-Quran. “Hai orang-orang yang beriman telah diwajibkan atas kalian berpuasa (di bulan Ramadhan) sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa,” (QS. al-Baqarah: 183)
Satu hal yang sangat menakjubkan bagi Indonesia adalah dua peristiwa besar yaitu HUT Kemerdekaan dan bulan Ramadhan (bulan puasa) sama-sama bertepatan pada bulan Agustus 2009. Bagi muslim Indonesia hal ini merupakan peristiwa sangat luar biasa. Pasalnya, bulan puasa juga merupakan bulan kemerdekaan bagi umat Islam. Kemerdekaan dari hawa nafsu dan perbuatan-perbuatan dosa.
Secara bahasa makna puasa berasal dari bahasa arab yakni shiyam yang berarti al-imsaak (menahan). Secara istilah menurut Sayyid Sabiq dalam bukunya fiqhus Sunnah, menahan dari segala sesuatu yang membatalkan puasa sejak terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari yang disertai dengan niat. Menahan di sini juga berarti membebaskan diri atau memerdekakan diri kita dari segala hal yang dapat merusak dan menghilangkan nilai-nilai puasa tersebut.
Dalam potongan hadits, Nabi Muhammad SAW bersabda: “puasa itu tameng seperti tameng kalian saat berperang,”. Itu artinya, bahwa dengan puasa yang sungguh-sungguh kita benar-benar akan bebas dan merdeka dari segala perbuatan yang dilarang, seperti minum-minuman keras, mencuri, melakukan aksi kekerasan, perkosaan dan lain sebagainya.
Maka kalau boleh saya katakan bahwa bulan puasa merupakan bulan kemerdekaan. Pasalnya, pada bulan tersebut kita benar-benar diberi peluang untuk memerdekakan diri dari segala perbuatan yang tidak baik, dari segala perbuatan yang dapat menyakiti orang lain, serta dari perbuatan yang merusak diri sendiri.
Makna kemerdekaan tidak hanya berkisar pada aspek fisik saja, akan tetapi lebih dari itu makna merdeka juga mencakup kemerdekaan diri seseorang dari segala sesuatu yang mengikat dan menjerumuskan dirinya kepada kerusakan dan kehancuran (merdeka ma’nawi). Kemerdekaan yang pertama secara historis, Indonesia benar telah merdeka dari penjajahan Belanda, Jepang dan Sekutu. Akan tetapi yang menjadi pertanyaan adalah benarkah Indonesia telah merdeka secara ma’nawi?. Artinya secara moral telah benar-benar jauh dari hal-hal yang merusak dan menghancurkan moral bangsa.
Puasa merupakan sebuah bentuk perlawanan terhadap penjajah yang bernama hawa nafsu. Upaya perlawanan ini merupakan salah satu pengantar diri kita agar benar-benar menjadi orang yang merdeka dan tidak diperbudak oleh hawa nafsu. Pasalnya, telah banyak bukti menunjukkan, bahwa hawa nafsu telah menghancurkan manusia dan menjerumuskan manusia pada derajat yang rendah.
Hal ini terbukti pada manusia pertama yang diciptakan Allah SWT yakni Adam as. Nabi Adam beserta istrinya Hawa dilarang oleh Allah SWT untuk memakan buah Khuldi, akan tetapi dengan bujukan setan. Setan merayu dengan mengatakan pohon itu akan dapat mengekalkannya di dalam surga-Nya. Karena keinginan atau hawa nafsu Adam dan Hawa untuk mendapatkan kekekalan di surga, akhirnya mereka berdua memakan buah yang dilarang tersebut. Akibatnya mereka malah dikeluarkan dari surga-Nya kemudian diturunkan ke bumi.
Bukti yang lain bahwa hawa nafsu dapat mengantarkan kepada kehancuran adalah kisah Qarun. Qarun adalah seorang saudagar kaya raya yang kemudian ditenggelamkan oleh Allah bersama hartanya dikarenakan kesombongannya.
Puasa yang dapat diartikan menahan, merupakan upaya untuk membebaskan diri kita dari segala bentuk kerusakan dan kehancuran. Baik kehancuran individu dan sosial masyarakat. Kehancuran individu yang dimaksud adalah kehancuran diri kita sendiri dengan perbuatan-perbuatan dosa yang telah kita kerjakan. Karena diri kita sebenarnya masih dijajah oleh keinginan-keinginan jahat yang dapat mengantarkan diri kita kepada kehancuran dan penyesalan.
Maka dengan demikian, ada juga yang menyebut bulan puasa sebagai bulan tazkiyatun nafs (bulan penyucian jiwa). Penyucian jiwa kita dari segala bentuk perbuatan dosa yang telah kita lakukan sebelum dan sesudah bulan puasa. Artinya, bagi kita yang mengerjakan puasa dengan sungguh-sungguh dan penuh ikhlas kepada Allah dan tidak mengharap pujian dari orang lain, maka kita benar-benar akan menjadi orang-orang yang merdeka dan kembali ke fithrah (suci) seperti bayi lahir. Hal ini sesuai dengan tujuan puasa sendiri untuk menjadikan orang yang bertakwa sebagaimana yang telah dijelaskan pada ayat al-Quran sebelumnya.
Sedangkan kehancuran sosial yang dimaksud adalah kehancuran hubungan sosial masyarakat. Hawa nafsu jelek kita selalu ingin mengajak diri kita untuk berbuat yang mungkar dan ingin merusak hubungan sosial dengan masyarakat. Misalnya, sifat pelit, serakah, sombong, mengejek, menghina dan merendahkan orang lain. Sifat-sifat tersebut semuanya bisa dikendalikan dengan puasa. Karena bagi orang yang berpuasa dilarang untuk melakukan sikap buruk tersebut. Bahkan, di dalam puasa dianjurkan untuk memperbanyak sodaqoh, infak kepada orang lain terutama orang-orang yang membutuhkan. Itu artinya puasa juga merupakan suatu upaya untuk merdeka dalam aspek sosial.
Dengan demikian, kemerdekaan yang baru saja dirayakan oleh bangsa Indonesia sebenarnya hanya menyentuh aspek fisik saja. Karena masih banyak penjajah yang menyelinap dalam diri dan masyarakat kita, seperti hawa nafsu untuk berbuat jahat dan merusak tatanan sosial. Puasa sebagai bulan kemerdekaan merupakan salah satu upaya untuk melawan penjajah yang non fisik tersebut. Maka, bulan puasa yang kebetulan jatuh pada bulan Agustus ini merupakan momen terpenting bagi Indonesia untuk lebih memaknai bahwa kemerdekaan hakikatnya bukan hanya kemerdekaan dari penjajah secara fisik saja, akan tetapi juga merdeka dari penjajah non fisik.

*Penulis adalah
Peneliti di Pusat Studi Islam (Forsifa) Unmuh Malang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

kOMENTAR ANDA