Jumat, 23 Oktober 2009

BENCANA “CAMBUK” KEMAJUAN

Oleh: Muhammad Rajab*
dimuat di Harian Malang Post, 18 Oktober 2009

Tidak asing lagi di telinga kita, sering terdengar berita bencana alam, mulai dari tsunami, tanah longsor, banjir, dan akhir-akhir ini adalah gempa. Dalam satu bulan September kemarin terhitung terjadi tiga kali gempa di negeri ini, yakni di Tasik Malaya, Sumatera Barat dan Jambi. Bencana alam seakan menjadi hidangan khas bagi Indonesia dan tidak bisa lepas dari bumi pertiwi ini.
Jumlah korban meninggal dunia akibat gempa 7,6 skala Richter di Sumbar terus bertambah. Berdasarkan data Satkorlak Sumatera Barat, tercatat 608 warga Sumatera Barat meninggal dunia. Data yang diperoleh VIVAnews pada Senin 5 Oktober 2009, pukul 09.45, tercatat korban tewas terbanyak berada di Kabupaten Padang Pariaman sebanyak 285 jiwa. Di Kota Padang sebanyak 242 jiwa, Kota Pariaman 32 jiwa, Kabupaten Agam 32 jiwa, Kabutapen Pesisir Selatan 10 jiwa.
Sebuah bencana tidak selamanya mendatangkan kehancuran walaupun secara kasat mata bencana selalu memporak-porandakan lingkungan. Namun bisa saja bencana menjadi pemicu kita untuk maju. Sebagai perumpamaan adalah, cambuk yang digunakan untuk memacu kuda akan dapat mempercepat lari kuda. Begitu juga dengan bencana, ia bisa menjadi sebuah cambuk bagi Indonesia menuju kemajuan. Hal itu tergantung pada pemaknaan kita terhadap bencana.
Namun demikian, setidaknya ada beberapa kemungkinan yang bisa diambil dari peristiwa bencana alam yang sering terjadi di Indonesia. Pertama, bencana bisa sebagai bentuk kemurkaan Tuhan terhadap manusia yang selalu berbuat dosa dan melakukan pelanggaran terhadap alam semesta. Akibat pelanggaran-pelanggaran tersebut akhirnya alam menjadi tidak lagi mau bersahabat dengan manusia. Terkait dengan itu Allah SWT berfirman: “nampaknya kerusakan di darat dan di laut diakibatkan oleh tangan manusia,” (QS. Ruum: 41)
Sebagai contoh adalah kisah Qorun yang ingkar tidak mau menginfakkan hartanya serta selalu sombong di hadapan masyarakatnya. Akibat kesombongannya tersebut Allah SWT menenggelamkannya beserta harta benda yang dimilikinya ke dalam bumi. Oleh sebab itulah ketika seseorang mendapatkan harta terpendam saat ini disebut dengan harta karun. Pasalnya, harta yang dimiliki oleh Qorun pada zaman Nabi Musa tersebut ditenggelamkan oleh Allah ke dalam perut bumi. Dan banyak lagi kisah-kisah bencana alam yang menimpa umat terdahulu akibat perbuatan dosa yang mereka lakukan, seperti bencana kaum Sodom, dan kaum Nuh yang ditimpa dengan banjir bandang dan lain sebagainya.
Kedua, bencana datang sebagai bentuk ujian dari Tuhan untuk menguji keimanan seseorang. Ada sebuah ungkapan semakin tinggi keimanan seseorang maka cobaan yang datang juga semakin tinggi. Hal ini sesuai dengan apa yang difirmankan Allah SWT dalam ayatnya, “Allah tidak akan memberikan beban kepada seseorang kecuali sesuai dengan kemampuannya,”.
Ketiga, kedatangan bencana alam merupakan “cambuk” bagi seseorang untuk lebih cepat lagi atau lebih giat lagi dalam mencapai satu cita-cita. Ibarat kuda pacu yang harus dicambuk agar larinya lebih kencang. Intinya musibah atau bancana yang datang bisa dijadikan sebagai alat untuk memicu diri menuju keadaan yang lebih baik dari pada sebelumnya.
Dari beberapa kemungkinan tersebut maka setidaknya bencana yang datang secara bertubi-tubi di negeri ini bisa jadi merupakan peringatan dari Tuhan atas perbuatan dosa yang sering dilakukan oleh manusia, atau hanya sebagai cobaan, atau mungkin juga sebagai “cambuk” kemajuan bagi negeri tercinta ini. Boleh jadi di balik bencana yang datang tersebut ada “gunung emas” yang akan muncul setelahnya.
Kita tidak tahu Indonesia masuk ke ranah yang mana dari ketiga kemungkinan tersebut. Yang jelas ketiga kemungkinan di atas semuanya bisa benar jika dikaitkan dengan kondisi Indonesia yang semakin kacau balau ini. Dikatakan peringatan karena bangsa kita telah banyak melakukan kerusakan dan dosa. Dikatakan cobaan juga bisa benar untuk menguji sejauh mana kemampuan Indonesia dalam mengatasi masalah.
Terlepas dari ketiga kemungkinan di atas, kita sebagai bangsa Indonesia hendaknya bisa mengambil pelajaran dari peristiwa bencana yang sering terjadi di negeri tercinta ini. Banyak sekali pelajaran yang bisa diambil oleh kita agar kita menjadi bangsa yang lebih baik dari sebelumnya. Salah satunya adalah introspeksi diri bagi bangsa, kenapa selama ini sering terjadi bencana. Apakah negeri kita ini sering lengah terhadap peristiwa bencana. Sehingga dengan peristiwa gempa yang terjadi bulan September lalu yang hingga saat ini belum terselesaikan merupakan peringatan bagi bangsa untuk lebih waspada terhadap bencana.
Boleh jadi di balik terjadinya bencana tersebut akan menjadikan Indonesia lebih baik di masa yang akan datang. Jepang menjadi negara maju harus dicambuk dulu dengan bom atom yang dahsyat di Nagasaki dan Hirosima, begitu juga dengan Cina, dan negara-negara maju lainnya. Maka sudah selayaknya kita belajar dari negara-negara tersebut, yakni bagaimna menjadikan suatu bencana sebagai awal dari kemajuan.
Namun demikian, untuk menjadikan bencana sebagai cambuk kemajuan tidak semudah mebalikkan telapak tangan. Karena kebanyakan bencana yang terjadi di Indonesia hanya menghasilkan prasangka buruk semata, yakni bahwa dengan adanya bencana Tuhan menginginkan sesuatu yang tidak baik. Padahal seyogyanya kita berprasangka baik terhadap Sang Pencipta.
Untuk mengawali agar bencana yang menimpa bangsa ini dapat menjadi titik awal kebangkitan bangsa Indonesia dari krisis multidimensional, khususnya krisis lingkungan adalah dengan berperasangka baik terhadap Sang Pencipta alam ini. Dalam artian kita harus mampu menganggap bahwa di balik kejadian dan bencana alam yang terjadi ada hikmah yang bisa diambil untuk kemudian dijadikan sebagai sarana introspeksi diri demi kemajuan bangsa ke depan.
Kita tentunya tidak ingin berada dalam keterbelakangan secara terus menerus. Pasalnya, rakyat kita tidak mungkin terus hidup dalam keterbelakangan. Kita menginginkan Negara yang maju, makmur, damai dan aman sentosa, atau dalam istilah al-Quran disebut sebagai baldatun thoyyibatun warobbun ghafuur.

*Penulis adalah
Peneliti di Pusat Studi Islam (FORSIFA) Unmuh Malang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

kOMENTAR ANDA