Selasa, 24 Januari 2012

Konflik Jerusalem dalam Interpretasi Sejarah



Judul buku : Jerusalem 33; Imperium Romanum, Kota Para Nabi, dan Tragedi di Tanah Suci
Penulis : Trias Kuncahyono
Penerbit : Buku Kompas
Cetakan I : April 2011
Tebal : xxxviii + 330 halaman
Peresensi : Muhammad Rajab*

Siapa yang memasukkan kejahatan ke dalam dunia ini?. Siapa yang memasukkan kejahatan ke tanah Palestina?. Mengapa di sebuah wilayah di sebut Tanah Suci justru kejahatan, keangkaramurkaan, ketamakan manusia, dan peperangan tidak pernah berhenti, bahkan menjadi perang yang tiada ujung?. Benarkah perdamaian akan muncul di Tanah Palestina apabila kiamat akan tiba?.
Itulah beberapa pertanyaan yang digunakan oleh Trias Kuncahyono untuk mengawali penulisan buku ini. Sebuah pertanyaan ringan tapi membutuhkan jawaban kompleks. Tidak semua orang dengan mudah akan mendapatkan jawaban dari beberapa pertanyaan di atas, karena untuk mendapatkan jawabannya dibutuhkan kajian, penelusuran, dan penelitian yang mendalam. Seperti yang dilakukan oleh penulis buku ini, ia harus melakukan penelusuran fakta-fakta sejarah ke Jerusalem Palestina dan mengkaji beberapa buku Jerusalem serta wawancara dengan beberapa tokoh yang kompeten di Jerusalem.
Kehadiran Buku “Jerusalem 33; Imperium Romanum Kota Para Nabi, dan Tragedi di Tanah Suci” ini untuk membedah tragedi konflik di Jerusalem dengan menggunakan sudut pandang sejarah dan ploitik yang sekaligus memberikan jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan di atas. Menariknya,walaupun dengan menggunakan penelitian dan kajian yang mendalam, tapi buku ini menyajikan data-data dan fakta-fakta sejarah dengan bahasa yang mengalir dan mudah dicerna. Buku ini juga dikuatkan dengan gambar-gambar sebagai bukti sejarah yang ada di Jerusalem Palestina.
Buku ini merupakan buku kedua Trias Kuncahyono setelah buku sebelumnya, Jerusalem:Kesucian, Konflik dan Pengadilan Akhir (2008). Buku tersebut menerangkan bahwa Jerusalem paling tidak mengalami beberapa kali penaklukan. Di dalam buku ini dijelaskan gambaran-gambaran peristiwa bersejarah yang terjadi di awal tahun Masehi. Dalam hal ini termasuk kondisi sosial politik zaman itu ketika tanah palestina berada di bawah kekuatan Imperium Romanum. Orang Romawi tidak hanya menduduki wilayah itu, mereka juga membawa serta hukum dan kebiasaan ke tanah jajahannya, terasuk Palestina. Penguasa Romawi juga membangun jalan-jalan dn banyak rumah ibadah.
Dalam pandangan sejarah, Jerusalem merupakan kota yang banyak menyaksikan para nabi berkarya, yang menyediakan airnya untuk diminum oleh para nabi, yang menyaksikan kelahiran para utusan Allah. Di tanah suci ini muncul tiga agama samawi yaitu, Yahudi, Kristen dan Islam. Tiga penganut agama tersebut tak henti-hentinya terlibat konflik. Saking seringnya terjadi konflik sampai-sampai mendapat label sinis sebagai rumpun agama Ibrahimi yang senang bertengkar (Religius quarrel of Abrahimic religions).
Komaruddin Hidayat menganggap buku ini penting karena buku ini akan menunjukkan bahwa banyak persoalan agama yang telah diikutcampurkan dalam urusan selain agama, yaitu salah satunya politik yang mengakibatkan terjadinya konflik atas nama agama. Kita juga akan dipahamkan kepada kematian atau penyaliban Kristus dalam konteks masa lalu.
Buku ini bisa dikatakan sebagai catatan dan protes terhadap penodaan dan penghianatan manusia kepada kasih dan pesan suci Tuhan yang telah menjadikan ajaran agama yang pada mulanya ajakan kasih dan damai, namun nyatanya agama telah terdegradasi menjadi sumber konflik yang berdarah-darah.

Persinggungan Politik
Perang memang sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari bangsa-bangsa yang pernah hidup dan menguasai wilayah Jerusalem. Sampai saat ini kita tidak melihat adanya tanda-tanda akan berakhirnya konflik antara Israil dan Pelestina. Ketika Trias menulis buku ini, konflik bersenjata juga tengah terjadi antara Israil dan Hamas yang menguasai wilayah Gaza. Dalam tempo sepekan, gempuran Israil telah menewaskan lebih dari 400 orang Palestina. Sementara setelah perang usai lebih dari 1000 orang Gaza tewas di tangan Israil.
Padahal dalam perjalanan sejarah Romawi dijelaskan bahwa Imperium Romanum atau kekaisaran Romawi pernah mencapai zaman keemasan pada masa pemerintahan Kaisar Augustus (21 SM-14 SM). Itulah masa di mana segenap warganya menikmati hidup yang sejahtera, aman, dan damai. Karenanya Kasisar Augustus sering disebut-sebut sebagai “Pangeran Perdamaian”.
Namun, kedamaian itu ternyata tidak sampai ke Jerusalem, yang waktu itu menjadi bagian daerah taklukkan Romawi di Timur Tengah. Di sana para penguasa Roma memerintah secara otoriter, bahkan kejam. Tak ada sedikitpun rasa damai di kota itu. Bagi warga Jerusalem, perjalanan sejarah bersama imperium Romanum justru meninggalkan luka yang dalam, terutama setelah peristiwa konspirasi Triumvirat Pontius Pilatus, Raja Herodes Antipas, Serta Imam Agung Hanas dan Kayafas pada tahun 33 SM.
Menurut Trias, kisah perselingkuhan politik dan agama tersebut barangkali tidak akan terjadi kalau saja Palestina dengan Jerusalemnya tidak jatuh ke tangan kekuasaan Roma. Pada tahun 63 SM, dimulai dengan direbutnya menara Strato di Strato, di bawah pimpinan Jenderal Pompey atau Pompius, Pelestina dijajah Imperium Romanum. Sejarah menceritakan pada tahun 30 SM, Kaisar Augustus menyerahkan kota itu kepada Herodes Agung yang kemudian membangun kembali Strato. Oleh Herodes, nama Kota itu diubah dari Strato menjadi Kaisarea untuk menghormati Kaisar Augustus, yang menjadi penguasa Kekaisaran Romawi antara tahun 27 SM hingga 14 SM. (hal. 13)
Buku ini banyak memberikan pelajaran bagi kita. Seperti kasus perselingkuhan agama dan politik pada masa Imperium Romawi yang dijelaskan dalam buku ini patut dijadikan pelajaran berharga bagi umat manusia, khususnya dalam kondisi sekarang yang marak terjadi aksi terorisme atas nama agama.

*Peresensi adalah
Penikmat Buku & Penggiat Kajian di Pusat Studi Islam dan Filsafat (PSIF) Unmuh Malang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

kOMENTAR ANDA