Kamis, 09 Agustus 2012

Pesantren dalam Kancah Sosial-Politik Indonesia

Judul buku        : Tradisi Pesantren; Studi Pandangan Hidup Kyai dan Visinya Mengenai Masa
                         Depan Indonesia.
Penulis              : Zamakhsyari Dhofier
Penerbit            : LP3ES
Cetakan           : September 2011
Tebal                : ix + 307 halaman
Harga               : Rp. 48.500,-
Peresensi          : Muhammad Rajab*
Telah diakui bersama bahwa pesantren memiliki peran besar dalam perkembangan sosial-politik Indonesia. Terbukti sejak munculnya hingga sekarang pesantren masih eksis dan terus mengadakan perubahan untuk menjawab tantangan Indonesia sesuai dengan perkembangan zaman.  Tokoh-tokoh inspirasional dalam kancah sosial dan politik Indonesia banyak yang lahir dari pesantren, seperti Gus Dur, Hidayat Nur Wahid, Syafii Ma’arif, Din Syamsuddin, Nurcholis Majid,  dan lainnya.
Pesantren menjadi fondasi dan tiang penyangga paling penting bangunan peradaban dan sosial-politik Indonesia sejak tahun 1200. Kemudian, mulai tahun 1999 pesantren meningkatkan perannya dalam pembangunan peradaban Indonesia hingga memasuki millennium ketiga. Sejak tahun 1999 itu para kyai meningkatkan aktivitasnya agar lebih mampu mewarnai perjalanan sejarah bangsa Indonesia ke masa depan. Tradisi pesantren, sesuai dengan azas ahlu sunnah wal jama’ah yang dianutnya meningkatkan kembali ajakannya agar masyarakat dan bangsa Indonesia tidak hanya pandai bertikai, tetapi bersikap arif dan mampu mendahulukan kebersamaan, kesatuan, dan pemerataan keadilan bagi masyarakat luas dalam hal keagamaan, kebudayaan, ekonomi, sosial dan politik.
Buku yang ditulis oleh Zamakhsyari Dhofier ini berusaha menguatkan kembali peran pesantren yang oleh sebagian kalangan dianggap tidak mampu menjawab tantangan zaman. Tradisi pesantren yang menurut mereka adalah kolot, statis, dan sentralistik dibantah dalam buku ini. Buku ini sebenarnya sudah lama terbit, pertama diterbitkan sekitar tahun 1980-an di USA. Kemudian terjemahannya dalam bahasa Jepang terbit di Tokyo tahun 1984. Buku hasil disertasi doktor antropologi sosial di The Asutralian National University (ANU) ini terbit dalam bahasa Indonesia tahun 1982. Buku yang sekarang hadir kembali di tengah-tengah kita ini merupakan edisi revisi yang sudah banyak mengalami  penambahan bab menyesuaikan dengan perkembangan kehidupan kebudayaan, sosial, ekonomi, dan politik bangsa Indonesia.
            Buku yang ditulis berdasarkan studi lapangan atas lembaga pesantren Tegalsari dan Tebuireng ini bermaksud menggambarkan dan mengamati perubahan-perubahan yang terjadi dalam lingkungan pesantren dan Islam yang dianut oleh para kyai di Indonesia yang dalam Indonesia modern tetap menunjukkan vitalitasnya sebagai kekuatan sosial, kultural dan keagamaan dan aktif membentuk  bangunan kebudayaan Indonesia modern. Karena itu, dalam kancah politik pun pesantren tetap sangat diperhitungkan.
Keberhasilan para kyai dalam menghimpun kekuatan yang besar di Indonesia dewasa ini bukan semata-mata karena jumlah pengikutnya lebih banyak daripada Islamnya, tetap juga karena kuatnya hubungan sosial, kultural dan emosional antara sesama kyai dan dengan para pengikutnya. Dalam situasi peralihan ke sistem pemerintahan demokrasi dewasa ini, organisasi sosial, keagamaan, dan politik yang didukung oleh para kyai memang masih mengalami sejumlah kelemahan, namun ikatan emosional, sosial, dan kultural mereka sangat kuat. Pengikut kyai pada umumnya masyarakat miskin dan mereka itu merupakan kelompok mayoritas. Oleh karena itu, para kyai cenderung dan dapat membagi-bagi suara dominan pengikutnya itu untuk memilih calon-calon DPR atau DPRD yang sesuai dengan kepentingan masyarakat lokal dan pesantrennya masing-masing (halaman 9).

Kyai dan Politik
Para sarjana yang mempelajari kebudayaan dan politik Indonesia pada umumnya mengakui, bahwa Islam di zaman penjajahan Belanda merupakan faktor pemersatu bagi kelompok-kelompok suku bangsa yang tinggal terpencar-pencar di berbagai kepulauan. Bahkan di luar negeri pun, koloni Indonesia di Mekkah (Jawa Community) juga merupakan wadah yang sangat efektif bagi percampurbauran kelompok suku bangsa tersebut.
Sebagai pusat dakwah pengembangan Islam pesantren dengan kepemimpinan seorang Kyai telah mampu membangkitkan ruh persatuan dan kesatuan umat Islam. Karena itu, sampai dengan permulaan tahun 1920-an yang silam, Islam menjadi pendorong tumbuhnya gerakan nasionalisme. Setelah gerakan nasionalisme meluas hingga meliputi kelompok-kelompok suku bangsa yang tidak beragama Islam, seperti di Manado, Maluku, Sumatera Utara, Bali, dan Nusa Tenggara Timur, maka gerakan nasionalisme dijiwai oleh unsur baru yaitu perasaan bersatu sebagai satu bangsa Indonesia. Islam tetap menjadi unsure pemersatu yang sangat kuat bagi kelompok suku bangsa Indonesia yang beragama Islam –yang merupakan sekitar 88 persen penduduk Indonesia –yang dapat mengurangi perasaan ekslusivisme kesukuan. Ini semua tidak bisa dilepaskan dari perjalanan sejarah pesantren yang selama berabad-abad telah menumbuhkan perasaan solidaritas bersama sebagai penghuni wilayah nusantara.
Kini mereka tetap membenahi dirinya untuk tetap memiliki peranan dalam membangun masa depan Indonesia. Mereka tidak mendambakan, apalagi melindungi pandangan hidup tradisional menjadi suatu sistem yang tertutup dan memalingkan diri dari proses modernisasi.
Pendek kata, buku ini ingin menggambarkan semangat Islam para kyai pimpinan pesantren yang dikenal dengan benteng pertahanan umat Islam dan pusat penyebaran Islam. Oleh karena itu, Dhofier di sini berusaha menyoroti sejarah kedua pesantren yang diteliti, terutama mengenai perannya dalam pelestarian dan pengembangan Islam ahlusunnah wal jama’ah di Indonesia kira-kira 1875, sampai dengan masyarakat Indonesia memasuki periode millennium ketiga.

*Peresensi adalah
Penikmat buku dan Penggiat Kajian di PSIF Unmuh Malang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

kOMENTAR ANDA