Sabtu, 24 Januari 2009

HENTIKAN SEKULARISASI PENDIDIKAN

Oleh: Muhammad Rajab*
Sekuler merupakan satu istilah yang sangat popular di tengah-tengah kalangan masyarakat, khususnya di kalangan masyarakat terpelajar. Namun, yang sering kita dengar bukanlah sekuler yang terjadi dalam pendidikan, akan tetapi sekuler dalam agama. Karena istilah ini sering dikaitkan dengan pemisahan agama dari Negara.
Menurut Syekh Taqiyuddin An-Nabhani Sekuler adalah memisahkan agama dari kehidupan. Ada yag mengatakan juga bahwa sekuler adalah pemisahan agama dari politik. Akan tetapi makna yang kedua ini yang lebih populer di kalagan masyarakat. Karena memang munculnya istilah ini diawali dengan kasus pergulatan politik antara gereja dengan para kaum intellektual.
Adapaun jika istilah ini dikaitkan dengan pendidikan, maka kita akan temukan makna yang mirip dengan beberapa makna di atas. Sekularisasi dalam hal ini merupakan satu proses menjadikan pendidikan tersebut sekuler. Yaitu adanya pemisahan antara pendidikan dengan agama.
Sekuler dalam pendidikan bisa terjadi pada beberapa aspek. Di antaranya, pada metode, kurikulum dan media pembelajaran. Namun di sini penulis akan menitiberatkan pada sekuler dalam kurikulum pendidikan.
Sekuler dalam kurikulum pendidikan di sini maksudnya adalah memisah-misahkan atau membatasi seseorang untuk mempelajari satu mata pelajaran tertentu tanpa adanya kebebasan dalam menimba ilmu yang ada.
Ilmu yang terbentang luas di atas muka bumi ini sangat beragam, tidak hanya satu ilmu bahkan jika kita mau menghitung ilmu yang ada di alam semesta ini kita tidak akan pernah dapat menghitungnya. Oleh karena itu perlu adanya keterbukaan atau inklusivitas dalam pendidikan, sehingga manusia dalam menuntut ilmu tidak hanya terfokus pada ilmu tertentu.
Manusia adalah makhluk yang diberikan banyak potensi. Seperti akal dan kekuatan berpikir serta merasakan apa yang dilihat dan tidak dilihat. Potensi ini jika tidak dimaksimalkan dengan baik, maka akan terbuang sia-sia dan tidak termanfaatkan.
Selain itu, manusia pula mempunyai multiple intelligence (kecerdasan yang beragam). Kecerdaasan ini jika dibatasi dalam proses pencarian dan pengembangannya, maka akan terjadi kebekuan bahkan yang tidak kita inginkan bersama akan terjadi intellectual deadlock.
Realita
Kondisi pendidikan di Indonesia saat ini sungguh mengkhawatirkan. Menurut laporan yang dikeluarkan oleh UNDP pada Human Development Report 2005, ternyata Indonesia menduduki peringkat 110 dari 177 negara di dunia. Bahkan yang lebih mencemaskan, peringkat tersebut justru sebenarnya semakin menurun dari tahun-tahun sebelumnya, di mana pada tahun 1997 HDI Indonesia berada pada peringkat 99, lalu menjadi peringkat 102 pada tahun 2002, kemudian peringkat ke 112 tahun 2003, dan menjadi peringkat 111 pada tahun 2004.
Indonesia jauh berada di bawah Filipina yang berada di urutan 85, Thailand berada di urutan 74, Malaisia berada di urutan 58, Brunai Darusslam berada di urutan 31, Korea Selatan berada di urutan 30, dan Singapura berada di urutan 28. Organisasi International Educational Achievement (IEA) menguatkan hal tersebut dengan menyatakan bahwa kemampuan membaca siswa Sekolah Dasar (SD) di Indonesia berada di urutan 38 dari 39 negara yang di Survei (Nurhadi dalam Khozin, 2006).
Terkait dengan hal ini, salah seorang pakar pendidikan dan ilmu politik Indonesia Prof. Dr. Deliar Noer (dalam Khozin, 2006) mengatakan bahwa kualitas pendidikan saat ini masih sangat rendah dan masih banyak hal yang harus dibenahi dan direformasi. Dengan menurunnya kualitas pendidikan ini berdampak pula pada seluruh aspek kehidupan bangsa, sehingga terjadilah yang namanya krisis multidimensi (krisis dalam berbagai bidang). Semua itu berawal dan bersumber dari rendahnya kualitas pendidkan di Indonesia.
Kalau kita melihat sejenak terhadap apa yang sedang menimpa negara kita tersebut, maka kita akan temukan beberapa kesalahan yang terjadi dalam pendidikan kita. Di antaranya adalah pembatasan atau ketertutupan ilmu pengetahuan dan kurikulum yang disajikan di sekolah. Kurikulum di sekolah ditentukan oleh birokrat. Seharusnya ada otonomi atau kebebasan bagi guru untuk memberikan materi yang sekiranya dianggap cocok dan sesuai dengan kemampuan peserta didiknya. Selain itu harus ada kebebasan kepada peserta didik untukberkembang secara mandiri dan kreatif.
Adanya aturan-aturan dan ketentuan-ketentuan seperti ini menjadikan guru tidak dapat bergerak luas dalam memberikan mata pelajaran dan menyalurkan ilmu pengetahuan yang dimilikinya kepada peserta didiknya. Karena mereka (para guru) hanya berpegang pada standart atau kurikulum yang telah ditentukan.
Selain itu, pemisahan kurikulum pendidikan yang ada juga menjadikan anak bangsa atau peserta didik tidak dapat menguasai ilmu berbagai bidang. Misalanya saja, dalam sebuah pembelajaran yang berbasis agama, di dalamnya tidak boleh masuk pendidikan umum yang kaitannya dengan teknologi. Begitu juga sebaliknya, pendidikan yang berbasis teknologi di dalamnya tidak diajarkan tata moral atau pendidikan agama. Inilah yang menyebabkan tidak adanya keseimbnagn dalam diri peserta didik.
Ada orang pintar dalam teknologi dan perpolitikan misalnya, namun perilaku dan budi pekertinya tidak mencerminkan nilai-nilai moralitas. Sehingga muncullah para pencuri berdasi yang pada hakikatnya dia adalah orang pintar, akan tetapi nilai-nilai moralitas yang ada dalam dirinya kosong. Dan juga ada yang ahli agama, tapi buta akan teknologi, ini menjadikan orang selalu kolot dan tidak mau mengikuti perkembangan teknologi yang ada. Sehingga metode-metode yang digunakan dalam menyampaikan ilmu yang dimilikinya adalah metode-metode tradisional yang cenderung membosankan dan tidak menarik untuk anak modern saat ini. Nah, sekarang indonesia membutuhkan orang-orang yang benar-benar menguasai IMTAQ dan IPTEK.
Untuk memnuhi keinginan tersebut, maka hendaknya peserta didik dijauhkan dari sekularitas pendidikan. Karena jika mereka masih terkekang dan tidak mempunyai kebebasan dalam menuntut ilmu, maka perkembangannya tidak akan berjalan dengan maksimal dan hanya terbatas pada satu disiplin ilmu saja, sehingga multiple intelgence yang dimilikinya tidak terfasilitasi dengan baik dan benar.
Prospek ke Depan
Sekarang bagaimana supaya Indonesia bisa keluar dari berbagai macam krisis tersebut, khususnya krisis pendidikan?. Sehingga kondisinya tidak terus berada dalam keterpurukan dan keterbelakangan.
Salah satu yang dapat dilakukan adalah dengan menghentikan sekularisasi pendidikan, yang selama ini masih ada di tengah-tengah pendidikan kita. Dalam artian bahwa membuka peluang selebar-lebarnya kepada peserta didik untuk mencari dan menimba ilmu sesuai dengan kemampuan mereka, tanpa memberikan batasan tertentu.
Selain itu, yang perlu diperbaiki adalah metode pembelajaran yang salah dan berusaha mengembangkan metode-metode baru yang sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan anak modern. Sekarangmuncul konsep CTL (Contextual Teaching And Leraning). Ini sebanarnya merupakan konsep bagus karena salah satu komponennya adalah memberikan peluang besar kepada peserta didik untuk kreatif dan inovatif dalam mengembangkan potensinya dan tidak ada sekularisasi pendidikan di dalamnya (pembatasan atau pemisahan) antara satu disiplin ilmu dengan disiplin ilmu yang lain. Namun kesadaran para guru untuk mengaplikasikan konsep ini masih minim.

Penulis adalah Mahasiswa Tarbiyah (PAI) dan Aktivis Pers Kampus Universita Muhammadiyah Malang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

kOMENTAR ANDA